Menikmati Indahnya Rasa Indonesia
Malam itu jalanan di sekitar Babakan Ciparay sepi. Tak ada sepeda motor dan mobil yang biasanya ramai melintas di jalan selebar 4 meter. Hanya suara nyaring kentongan kayu yang dibawa setiap peronda meramaikan suasana. Sorotan senter ke sudut gelap tak memperlihatkan tanda mencurigakan.
Sekitar 20 menit kemudian, dua regu yang piket malam itu usai berkeliling. Di pos ronda, sayur asem dan bubur ayam hangat menanti. Berlatar belakang spanduk bertuliskan ”Damai Itu Indah”, Leonard berkisah, ronda tak hanya menjaga keamanan kampung dari pencuri, tetapi juga memastikan kenyamanan hidup warga dalam perbedaan. Warga dari lima agama hadir malam itu.
”Ini lingkungan kita bersama. Rumah tinggal semua,” ujar Leonard yang beragama Katolik.
Berdampingan
Berada di dekat Pasar Induk Caringin, pasar tradisional terbesar di Kota Bandung, hidup dalam keberagaman merupakan keniscayaan di Babakan Ciparay. Banyak warga yang datang dari sejumlah daerah dengan beragam keyakinan hidup di sana.
Ada tiga rumah ibadah di sana, Gereja Katolik Gandarusa, Masjid Al-Amanah Sumber Sari Bandung, dan Yayasan Buddha Cakrawala Dharma Indonesia. Bangunan anyar Gereja Gandarusa, yang sedang dibangun, berjarak sekitar 50 meter dari Masjid Al Amanah.
”Pembangunannya mendapat restu dari masyarakat. Warga berbeda agama mendukung keberadaannya karena bangunan lama tidak cukup menampung umat,” kata Leonard.
Ketua RW 012 Hj Yuyu Rahayu (63) mengatakan, keakraban warga terjalin saat hari raya setiap agama dirayakan. Di bulan Ramadhan, warga Muslim dan non-Muslim kerap berbuka bersama di balai RW. Saat potong kurban pada hari raya Idul Adha, warga non-Muslim menyumbang 2-3 sapi dari total 9-11 sapi untuk dipotong.
Warga keturunan India yang beragama Hindu kerap mengundang warga merayakan beragam hari besar keagamaan pula. Nerej (35), warga beragama Hindhu, mengatakan, undangannya selalu diterima baik oleh warga. Ini membuat dia nyaman tinggal di sana. ”Perbedaan bukan memisahkan, tapi justru menguatkan warga,” ujarnya.
Kepala Bidang Ideologi dan Wawasan Kebangsaan di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Bandung Dadang Setiawan mengatakan, kerukunan dalam keberagaman di Babakan Ciparay menjadi contoh bagi warga daerah lain.
Berkaca dari RW 012 Babakan Ciparay, Pemerintah Kota Bandung kini mendorong 30 kampung toleransi lain. Hal ini akan menjadi embrio munculnya satu kampung toleransi di setiap kecamatan di Kota Bandung. Lewat kampung-kampung itu, Kota Bandung diharapkan menjadi kota toleransi sejati. ”Selain Babakan Ciparay, contoh serupa ada di RW 002 Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong,” ujar Dadang.
Di Paledang, Masjid Al Amanah berada dekat Wihara Girimetta untuk penganut Tao. Tak jauh dari kedua tempat ibadah itu, ada Gereja Pantekosta untuk pemeluk Kristen Protestan.
Ditemui selepas kumandang azan, Jumat (12/5), pengurus Wihara Girimetta, Junior Wong (63), mengatakan, warga di Paledang terbiasa saling menjaga dan menghormati keyakinan antarwarga. Tak ada konflik, yang ada justru saling melindungi.
Saat kerusuhan berlatar belakang etnis di Bandung sekitar 44 tahun lalu, Paledang tak terpengaruh. Warga saling menjaga tetangga yang berbeda etnis agar tak jadi korban. Hingga kini, dia mengatakan, semangat itu masih terjaga. ”Kami leluasa menjalankan sembahyangan tanggal 1 dan 15 tiap bulan,” kata Junior yang lahir di Paledang dan fasih berbahasa Sunda.
Pendeta Daniel Sriyoto dari Gereja Pantekosta mengatakan, warga berbeda agama ikut melancarkan jalannya kebaktian setiap Minggu. Salah satunya, ikut menjaga ketertiban parkir dan lalu lintas di sekitar gereja. ”Kami terbiasa menghormati agama lain. Saat sedang latihan koor di sore hari, latihan akan berhenti sejenak saat azan Maghrib,” katanya.
Rasa Indonesia
Sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Budi Rajab, mengatakan, dua kampung itu merupakan teladan bagus untuk Indonesia. ”Mereka menjadi Indonesia yang seharusnya. Gotong royong dan hormat-menghormati antarsuku dan agama,” ujarnya.
Menurut Budi, kebersamaan seperti itu masih banyak terdapat di daerah lain. Di tataran akar rumput, toleransi dan gotong royong masih kuat terjalin. Namun, di tataran elite politik, agama dikomodifikasi sebagai alat untuk merebut kekuasaan.
”Warga sudah lama kenal dengan tetangga sehingga tidak mudah diprovokasi. Itu menjadi modal kuat merajut persatuan,” ungkap Budi lagi.
Tak terasa, hari pun berganti. Pukul 00.30, warga RW 012 Babakan Ciparay berangsur pulang ke rumah masing-masing.
Sebelum pulang, Leonard mengatakan, keriuhan politik mengatasnamakan kepentingan tertentu tak akan mengganggunya. Ia dan warga RW 012 Babakan Ciparay lain terus menjadi secuil Indonesia yang setia menjaga indahnya keberagaman.