Kompor Tenaga Surya, Cuma Numpang Lewat
Didorong pemikiran bahwa minyak bumi semakin habis, Subianto Sutopo (29 tahun) asal Solo, Jawa Tengah, menciptakan alat pemanas yang sepenuhnya memanfaatkan sinar matahari. Alat yang diciptakan selama tiga bulan itu digunakan untuk membantu para ibu memasak.
Kompor tenaga surya itu hanya terdiri dari komponen penyangga reflektor dari kayu jati. Di sumbu reflektor yang berlapis kertas timah terdapat pipa yang melepaskan sinar matahari. Sinar matahari itu terserap secara sentral. Biaya untuk membuatnya Rp 12.000. Sayangnya, kompor itu hanya dapat digunakan bila matahari bersinar penuh dan harus digerak-gerakkan mengikuti perputaran panas matahari.
Berita tersebut dimuat di harian Kompas yang terbit pada 19 Mei 1979 atau 38 tahun lalu.
Tenaga matahari sebagai sumber energi yang melimpah di Tanah Khatulistiwa ini sampai sekarang belum optimal penggunaannya. Berbagai percobaan untuk mendapatkan energi dari sinar matahari, silih berganti dilakukan anak-anak bangsa. Namun hingga kini bisa dikatakan masih “jalan di tempat”.
Untuk kompor yang pasti diperlukan setiap rumah tangga, penggunaan panas matahari diyakini bisa menghemat biaya sekaligus lebih ramah lingkungan. Namun faktanya, sampai sekarang hanya sebagian kecil masyarakat saja yang memanfaatkan kompor tenaga surya. Walaupun kompor tenaga surya sudah mulai dikembangkan sejak sekitar 38 tahun yang lalu!
Sebagian besar masyarakat pun mengakui menggunakan kompor tenaga surya lebih menguntungkan secara ekonomi maupun untuk lingkungan hidup. Namun untuk mau menggunakannya, relatif tak banyak warga yang bersedia. Alasan utama yang dikemukakan, menggunakan kompor tenaga surya tidak praktis dan dianggap merepotkan.
Kompor tenaga surya yang diciptakan Subianto Sutopo misalnya, hanya memerlukan biaya sekitar Rp 12.000 untuk membuatnya (Kompas, 19 Mei 1979). Namun untuk menggunakannya, kita memang harus rajin menggerak-gerakkan reflektor penangkal panas tersebut mengikuti perputaran matahari.
Gagasannya untuk menciptakan kompor tenaga surya itu, antara lain karena setidaknya ada 3 keuntungan yang bisa dipetik, yakni lebih hemat uang, tidak menimbulkan polusi karena tak berasap, dan mencegah bahaya kebakaran.
Tak berhenti sampai di situ, Subianto dengan biaya dari kocek sendiri, berusaha memodifikasi reflektor dalam bentuk payung agar praktis dan mudah dibawa. Gagasan tersebut juga dia lakukan dengan pertimbangan agar dapat mengajak serta para perajin pembuat kerajinan payung yang banyak terdapat di daerah Juwiring, Kabupaten Klaten.
Untuk mengajak masyarakat mau menggunakan kompor tenaga surya, Subianto juga berbagi ilmu tentang cara membuat kompor tenaga surya. Dia menuliskan bahan-bahan yang diperlukan, langkah-langkah pembuatan maupun cara menggunakannya. Tulisannya yang dimuat di harian Kompas, 9 Juni 1979 itu, dilengkapi pula dengan gambar-gambar langkah demi langkah.
Sekitar setahun kemudian, Subianto mendesain kompor kertas terutama untuk para pecinta alam, Pramuka, mereka yang bekerja di ruang terbuka, juga untuk keadaan darurat. Berat kompor kertas itu hanya sekitar 800 gram, bisa dilipat seperti kipas dan untuk merakitnya tak lebih dari dua menit. Kompor kertas ini kapasitas memasaknya untuk satu orang (Kompas, 15 Maret 1980).
Untuk menggunakan kompor kipas, orang hanya perlu menyambung daun-daun kipasnya hingga membentuk reflektor dengan kelengkungan tertentu. Setelah itu, tiang penyangga alat memasak dipasang pada titik tengah reflektor, dan letakkan panci pada tiang penyangga. Arahkan reflektor kertas ke matahari, maka memasak apa pun bisa kita lakukan.
Bila matahari tengah bersinar penuh, hanya dalam 30 detik sampai satu menit panas kompor kertas bisa maksimal. Tetapi kalau mendung, satu telor mata sapi baru matang dalam waktu sekitar delapan menit. Kompor kertas ini dipasarkan dengan harga Rp 8.000.
Tak ada informasi apakah kompor tenaga surya ciptaan Subianto itu banyak dibeli orang. Akan tetapi dia kemudian kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai kesempatan, antara lain pada Lokakarya Pengembangan Energi Non-konvensional di Jakarta.
1997
Hari demi hari berlalu, pengembangan dan penggunaan kompor tenaga surya tak lagi terdengar. Masyarakat umum tetap menggunakan minyak tanah, gas elpiji, atau kayu bakar untuk memasak di rumah. Niat pemerintah untuk menggenjot pengembangan dan penggunaan kompor tenaga surya pun meredup.
Tahun 1997 atau sekitar 18 tahun setelah Subianto Sutopo muncul dengan kompor tenaga surya menggunakan reflektor berlapis kertas timah, Kompas 10 Agustus 1997 menulis tentang seorang guru SD di Madiun, Jawa Timur (Jatim) yang membuat kompor tenaga surya.
Minto, guru SD Negeri Prambon I, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun yang tinggal di Desa Mruwak, Kecamatan Dagangan itu bercerita, dia telah menjual 61 kompor tenaga surya buatannya. Lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang gemar membaca buku-buku tentang teknologi ini memerlukan waktu tiga tahun sebelum kompor tenaga surya ciptaannya terwujud.
Untuk membuat kompor tenaga surya berdiameter 191 sentimeter (cm), Minto memerlukan kaca cermin ukuran 51 cm x 122 cm x 2 mm sebanyak 6 lembar sebagai reflektornya. Selain itu, diperlukan pula antara lain terali aluminium panjang 90 cm sebanyak 60 batang untuk jeruji reflektor, besi beton 10 mm x 12 m sebanyak tiga batang.
“Masih ada lebih 20 jenis bahan lagi untuk membuat kompor tenaga matahari ini. Semua besi siku saya gunakan untuk membuat gantungan reflektor yang dirangkai dengan semua mur baut, kecuali yang ukurannya 3 mm x 3 mm,” kata Minto yang kompor tenaga mataharinya selain dinikmati para tetangga, juga menjadi koleksi Ditjen Listrik dan Pengembangan Energi Departemen Pertambangan dan Energi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Pemda Tingkat II Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT), Kwarda Pramuka Jatim dan Kwarnas Pramuka.
Prinsip kerja kompor tenaga matahari ini berdasarkan pantulan cahaya matahari dari beberapa keping cermin datar. Keping-keping cermin ditata pada kerangka reflektor yang bentuknya seperti parabola. Reflektor diarahkan tegak lurus searah sinar matahari, dan semua pantulan menuju ke satu titik. Kumpulan sinar pantul ini menimbulkan panas.
Dalam cuaca cerah, kompor tenaga matahari dengan reflektor berdiameter 150 cm ini, dapat mendidihkan air satu liter dalam waktu 10-11 menit. Kapasitasnya maksimal empat liter air. Sedangkan kompor dengan reflektor berdiameter 267 cm, dapat mendidihkan satu liter air dalam waktu dua menit. Kapasitas maksimal kompor tersebut 18 liter air.
Kaki Gunung Wilis
Minto bercerita, niatnya membuat kompor tenaga matahari muncul sekitar awal 1988 saat dia melihat warga yang tinggal di desa di kaki Gunung Wilis, Madiun, sangat bergantung pada kayu-kayu hutan untuk memasak. Sementara pohon jati di hutan itu mulai gundul. Untuk mencari kayu bakar, warga harus masuk ke dalam hutan, berjalan kaki sekitar 3,5 km - 8 km.
Dia lalu mencari tahu bagaimana membuat kompor tenaga matahari lewat buku-buku dan mencoba membuatnya sendiri. Hasil utak-atiknya tak hanya membuahkan kompor tenaga matahari, tetapi juga menjadi alat yang bisa dimanfaatkan sebagai antena parabola pada tahun 1991 (Kompas, 21 Januari 1999).
Kompor tenaga surya bisa sekaligus berfungsi sebagai parabola bila dilengkapi dengan Low Noise Block (LNB), Feed Horn, receiver, kabel dan pesawat televisi. Di sini, reflektor yang tegak lurus dengan arah datangnya gelombang elektromagnetik dari satelit, dipantulkan kembali menuju ke fokus. Kumpulan gelombang itu ditangkap LNB (sebagai penguat sinyal) dan diteruskan ke receiver lewat kabel, lalu ke pesawat televisi.
Sama seperti Subianto Sutopo, karena kompor tenaga matahari ciptaannya itu, Minto kemudian kerap diminta bicara sebagai narasumber dalam berbagai pertemuan ilmiah, terutama di kampus-kampus. Minto juga menerima 14 penghargaan, antara lain dari Direktur Energi Terbarukan, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS), Bappeda NTT, Pemda Tingkat II Kupang NTT, dan dari Universitas Udayana Denpasar Bali.
Meski kompor tenaga matahari ciptaannya diapresiasi banyak pihak, tetapi Minto tetap menjadikan hasratnya mengotak-atik teknologi sebagai “tugas kedua”. Tugas utamanya sebagai guru tetap dilakoninya sebagai hal yang utama. Dia kemudian juga menciptakan alat pengering gabah bertenaga surya, yang juga bisa digunakan untuk mengeringkan jgung, kacang tanah dan cengkeh.
“Prinsip kerja alat pengering ini adalah mengubah sinar matahari menjadi udara panas. Udara panas itu kemudian dialirkan lewat rak-rak pengering,” katanya. Dengan menggunakan alat pengering ciptaan Minto, petani bisa menghemat waktu pengeringan gabah sekitar dua jam.
2005
Tahun 2005 Minto mendapat pesanan untuk membuat contoh rumah tenaga surya dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi dan Ketenagalistrikan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Riset dan Teknologi. Proyek dengan dana pemerintah sebesar Rp 90 juta ini, selain berfungsi sebagai hunian, juga memiliki keuntungan lain.
“Rumah ini tersusun dari bahan pengantar panas. Keuntungannya bisa untuk memasak, sebagai pengering, juga tempat penyulingan air. Dan semuanya bertenaga surya,” kata Minto seperti dikutip Kompas, 31 Maret 2005. Sebelumnya, tahun 2003 dia membuat penyulingan air bertenaga surya yang menghasilkan air suling dengan kadar oksigen tinggi.
Meskipun bertenaga surya, tetapi pada musim hujan, alat pengering dan penyuling air bisa tetap berfungsi. Saat langit terlihat mendung, kemampuannya sekitar 30-50 persen.
Sementara ciptaan Minto yang pertama, kompor tenaga surya (tahun 1991), mengalami berbagai modifikasi. Kompor itu dijual dengan harga Rp 1,75 juta dengan daya tahan sekitar 30 tahun. Dia tak mengambil untung dari penjualan kompor tenaga surya. Harga itu sama dengan ongkos yang dikeluarkan Minto untuk membeli bahan bakunya.
Dalam kurun waktu sekitar 14 tahun, (cuma) ada 100 unit kompor tenaga surya yang dibuat Minto. Dia hanya membuat kompor tenaga surya sesuai dengan pesanan yang diterima.
2010
Fakta, kompor tenaga surya belum umum dipakai masyarakat. Entah karena memang sulit meminta masyarakat beralih dari kompor minyak, gas dan kayu bakar ke kompor tenaga surya, atau memang pemerintah belum menjadikannya sebagai program utama.
Namun bagi sebagian kalangan, potensi energi matahari tetap menarik untuk dilirik. Kali ini kompor bertenaga matahari dikembangkan oleh Muhammad Nurhuda, peneliti dari Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, Malang, Jatim (Kompas, 11 Juni 2010).
Sejak tahun 2003 Nurhuda dan tim mengembangkan teknologi energi bersih, antara lain untuk kompor dan pemanas air dengan sinar matahari. Selanjutnya mereka juga mengembangkan kompor dengan biomassa. Setidaknya sudah lima jenis kompor biomassa yang ramah lingkungan menjadi temuannya (Kompas, 1 November 2011).
Pengembangan riset tersebut dimungkinkan berkat dukungan Yayasan Inovasi Teknologi Indonesia, yang menginduk pada Recognition and Mentoring Program (RAMP), sebuah program filantropis dari AS. Aktivitasnya adalah menunjang kesejahteraan masyarakat melalui inovasi teknologi.
Melimpahnya sinar matahari di Tanah Air, janganlah menjadi mubazir. Keinginan kita untuk bebas dari ketergantungan pada energi fosil, semoga tak berhenti sekadar dalam ranah yang terbatas. Dengan kompor tenaga surya yang mudah penggunaannya, tak ada lagi alasan masyarakat untuk membiarkan kompor tenaga surya sekadar “numpang lewat”.