Mimpi Delapan Siswa Denpasar Menuju Tiga Negara
Karena uang yang terkumpul dari pihak sekolah, orangtua, dan sumbangan sukarela teman-teman sedikit, dua siswa kelas X SMA Negeri 3 Denpasar, Apta Prana Mas Erlangga dan Made Fajar Gautama, yang menemukan alat Smart Scale (pengukur massa manusia otomatis), gagal mengikuti kompetisi sains menuju final ke Amerika Serikat, awal Mei lalu.
Namun, I Wayan Ananta Wijaya dan I Made Adi Sukariawan, pendamping penelitian di sekolah tersebut, tetap menjaga semangat dan kepercayaan diri delapan siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar lainnya untuk tetap berangkat berkompetisi sains ke tiga negara: Nepal, Malaysia, dan Thailand.
Seharusnya, Apta dan Made bertarung di International Sustainable World Energy Engineering Environment Project (I-SWEEEP) Olympiad 2017, di Texas, Amerika Serikat.
”Sedih, tetapi ini kenyataan. Upaya pencarian sponsor dana sudah dilakukan dan ternyata tetap tak cukup untuk membeli tiga tiket pesawat pergi-pulang Amerika Serikat. Setidaknya semua teman serta keluarga dan kedua anak itu berupaya maksimal lebih dari sebulan. Apa daya…,” tutur Ananta sedih.
Ternyata tak semulus bayangan untuk bisa membawa nama bangsa ke ajang kompetisi internasional dari penemuan-penemuan mereka.
Bagi Ananta, hal ini sebenarnya tak adil untuk anak didiknya. Temuan-temuan cemerlang mereka harus pupus di perlombaan dunia hanya karena dana. Seleksi ketat, lanjutnya, sudah dilalui dengan susah payah untuk memberikan yang terbaik kepada negara.
Berat memang jika melihat angka total biaya yang harus dikumpulkan, sekitar Rp 300 juta, untuk keberangkatan 10 siswa ke AS dan tiga negara lain. Biaya itu untuk persiapan, tiket pesawat pergi-pulang, visa, makan, akomodasi, hingga transportasi di keempat negara tersebut.
Padahal, pengumuman kelolosan mereka dari tahapan kejuaraan nasional atau seleksi internasional membuat bangga sekaligus haru. Bangga karena temuan siswa kelas X dan XI tersebut terbukti tak kalah menarik serta layak bersaing di taraf peneliti muda dunia.
Terharu karena mereka sadar akan kemampuan keuangan yang minim. Mau tak mau, anggaran harus segera disediakan. Tidak semua dari 10 siswa itu berlatar keluarga mampu. Seorang siswa menangis. Ia tak tega dan tak mungkin memaksa orangtuanya yang bekerja sebagai pemandu wisata menyediakan uang Rp 20 juta untuk biaya berangkat serta berlomba di Malaysia.
Siswa lain pun hanya mendapatkan sedikit biaya dari orangtua masing-masing. ”Pihak sekolah, dan sebagai pembina, harus bisa mengupayakan biaya ini. Ada yang harus potong tabungan untuk biaya kuliahnya, lho.... Tapi, semangat mereka dari awal itu membuat rasa bangga tiada tara. Jadi, ya, mereka harus berangkat,” ucap Ananta.
Mencari tambahan uang
Tak lama setelah pengumuman kelolosan untuk kompetisi internasional itu, sekitar Maret dan April, Apta dan sembilan siswa itu kompak saling membantu. Mereka berjualan apa saja yang bisa menghasilkan tambahan uang. Jika hari Minggu tiba, misalnya, mereka berjualan buku-buku karya siswa sekolah mereka. Selama program hari tanpa kendaraan bermotor (car free day) di Renon, mereka berkeliling menawarkan buku-buku itu yang rata-rata harganya Rp 10.000 per eksemplar.
Kepala SMA Negeri 3 Denpasar Ketut Suyastra tak kuasa melarang kreativitas siswanya mencari tambahan uang untuk biaya keberangkatan. Sebab, ia tahu, sekolah belum memastikan kesanggupan untuk memenuhi seluruh biaya mereka.
Pihak sekolah pernah mengajukan ke Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Bali agar diupayakan mendapatkan bantuan anggaran. Sayang, hasilnya nihil karena tak ada anggaran lagi. Apalagi, ini masih masa transisi berpindahnya kewenangan SMA/SMK dari kabupaten/kota ke provinsi.
Lima tim
Siswa-siswa itu terbagi dalam lima tim. Siti Nurmalasari dan I Gusti Ngurah Kusadhara Prema Dyotavaro berkompetisi dalam The 3rd ASEAN Student Science Project Competition (ASPC) 2017 di Bangkok, Thailand. Judul penelitian mereka adalah ”Sintesa Material dari Ampas Tahu sebagai Substitusi Styrofoam Kemasan”.
Tim berikutnya, Vira Niyatasya Shiva Duarsa dan I Nyoman Surya Merta Yasa yang menuju Kuala Lumpur, Malaysia, dalam lomba 1st International RMC Young Scientist Conference and Exhibition (I-RYSCE) 2017. Penelitian mereka berjudul ”Pemetaan Tingkat Polusi Cahaya di Kota Denpasar Berdasarkan Kenampakan Bintang Menggunakan Kamera DSLR”.
Selanjutnya, Cok Istri Putri Krisna Widnyani, Ni Luh Putu Hardy Lestari, dan Ni Nyoman Maylina Triastuti yang berlomba pada ajang 1st International RMC Young Scientist Conference and Exhibition (I-RYSCE) 2017, di Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka menemukan kombinasi daun cemcem, daun dadap serep, air kelapa, dan gula aren sebagai minuman obat anti-insomnia.
Tim lainnya, Apta Prana Mas Erlangga dan Made Fajar Gautama yang menemukan alat Smart Scale (pengukur massa manusia otomatis). Keduanya bertarung di International Sustainable World Energy Engineering Environment Project (I-SWEEEP) Olympiad 2017, di Texas, Amerika Serikat.
Sementara itu, Ni Kadek Adnya Kusuma Sari meneliti ”Comparison Test Leaves and Flowers of Frangipani (Plumeria acuminata) Extract as Biolarvacide on Mosquito Larvae”. Temuan ekstrak bunga kamboja menjadi cairan pembunuh jentik nyamuk ini lolos menuju Asia Pacific Conference of Young Scientist (APCYS) 2017 di Nepal.
Ke-10 peneliti muda berusia 16 tahun itu antusias menjelaskan temuan masing-masing saat ditemui di ruang guru. Satu per satu mereka memaparkan mulai dari ide, pengalaman unik, hingga curahan hati mereka menghadapi lomba di mancanegara bersaing dengan negara lain.
”Ya, pastinya deg-degan. Karena keberangkatannya berbeda-beda waktunya. Kami semua saling mendukung dan menyemangati. Semua penelitian masih terus disempurnakan, hingga tiba waktunya nanti berlomba,” tutur Vira.
Mengukur polusi cahaya
Vira mencoba menemukan cara mengukur polusi cahaya menggunakan kamera DSLR milik ayahnya. Bagaimana bintang-bintang tertutup cahayanya karena polusi. Lampu-lampu yang menyala pada malam hari, berdasarkan kesimpulan penelitiannya itu, ujar Vira, tidak sehat, baik bagi lingkungan maupun bagi makhluk hidup.
Bersihnya lingkungan dari cahaya lampu pada malam hari itu menyehatkan. Vera bersama satu temannya menjadikan delapan titik di Kota Denpasar serta beberapa titik di pinggiran hutan Bangli dan pantai sebagai sampel. Termasuk saat Nyepi menjadi pembanding.
Selama mengambil sampel penelitian, Vera ke mana-mana dikawal sang ayah. Ia dan temannya memasang kamera di waktu yang sama untuk setiap pengambilan, pukul 10 malam sampai pukul 11 malam.
”Berdasarkan referensi dan pertimbangan, itu adalah waktu yang tepat mengukur terangnya bintang. Selama sejam, sampel yang diambil ada 100 jepretan dan hasilnya akan membentuk grafik,” jelas Vira.
Berbeda dengan Vira, Apta dan Made menemukan alat sekaligus program yang otomatis mampu mengukur massa tubuh manusia. Kemunculan hasilnya pun dapat otomatis terkirim ke pesan singkat telepon genggam milik orang yang diukur.
Apta menunjukan contoh hasil di pesan singkat telepon genggamnya. Hasilnya tak hanya berapa massa tubuh seseorang, tetapi juga menunjukkan saran seperti olahraga hingga jaga kesehatan lain sesuai massa idealnya, berdasarkan tinggi dan berat badan orang tersebut. Alat ini berupa beberapa pipa paralon kecil dan portabel.
Temuan lain tak kalah seru. Limbah ampas tahu dimanfaatkan oleh Siti dan Prema yang mampu mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih berguna. Mereka menjadikannya bubuk, lalu mencampurkan dengan beberapa bahan ramah lingkungan sehingga mirip styrofoam kemasan.
Beberapa waktu lalu, keduanya ditawari membantu membuat pabrik pembuatan kemasan dari ampas tahu itu. Penawaran datang dari negara lain saat ada kunjungan ke sekolah mereka. Namun, dengan spontan mereka menolak tawaran itu. ”Takut saja, ketika benar jadi pabrik, bisa jadi negara lain mengaku penemunya,” ujar Siti.
Penelitian daun cemcem menjadi obat anti-insomia oleh Cok Istri, Lestari, dan Maylina membawa mereka ke Malaysia. Sementara ekstrak daun bunga kamboja sebagai pembunuh jentik nyamuk tak kalah menarik sehingga membawa Kadek Adnyana ke Nepal.
Sayang jika temuan-temuan yang bermanfaat dan memanfaatkan hal-hal sekitar kita dari para peneliti muda ini terkendala hanya karena biaya yang minim.
”Percaya dan usaha. Jalan pasti ada, dan mereka anak-anak yang membanggakan. Saat ini hanya itu yang sekolah bisa maksimalkan agar semangat mereka terjaga,” ucap Suyastra.
Seorang pengusaha pun tergerak untuk membantu seusai membaca berita di Kompas yang memuat ketidakberdayaan para peneliti muda tersebut untuk berangkat. Ia menawarkan bantuan untuk pembelian tiket serta pesangon meraka. Namun, hanya satu penelitian yang sanggup dia biayai. Bagi Ananta dan Suyastra, ini merupakan hal yang luar biasa.
”Andaikan ada beberapa lagi pengusaha yang bersedia datang dan membantu, anak-anak pasti bisa membanggakan Indonesia di dunia internasional,” kata Ananta dengan nada lirih.