Berjumpa Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak di Cannes
Oleh
Ambrosius Harto
·4 menit baca
Informasi penugasan baru datang saat saya sedang meliput pengumuman pemenang Fly Your Ideas 2017, kompetisi antartim mahasiswa untuk pengembangan dunia penerbangan di Kompleks Airbus, Toulouse, Perancis, Rabu (17/5/2017) jelang pukul 11.00 atau 16.00 WIB.
Rabu itu hari terakhir saya liputan di Kompleks Airbus sesuai jadwal acara yang disusun oleh pengundang. Selepas acara saya berencana pergi ke Lourdes untuk ziarah dan kembali ke Jakarta pada Kamis (18/5) pukul 17.00 dari Bandar Udara Toulouse-Blagnac.
Namun, informasi penugasan baru datang dari editor Desk Minggu Harian Kompas bahwa sedang berlangsung edisi ke-70 Festival Film Internasional di Cannes, 545 Kilometer di tenggara Kompleks Airbus tempat saya berada. Redaksi meminta saya memperpanjang masa tugas untuk pergi ke Cannes.
Penugasan ini penting karena ada film Indonesia yang akan diputar di festival paling bergengsi itu. Film itu Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak yang disutradari oleh Mouly Surya. Inilah film panjang keempat asal Indonesia yang diputar di hadapan sineas dunia di Cannes.
Saya tak bisa menyembunyikan rasa kaget, bingung, sekaligus gembira. Jujur, rasanya gado-gado atau campur aduk. Kalangan jurnalis dari Indonesia, Australia, Perancis, dan Inggris yang bersama saya untuk meliput Fly Your Ideas 2017 turut gembira. Mereka membesarkan hati dan mendukung saya untuk melanjutkan tugas. Tugas baru itu saya terima dan coba saya laksanakan dengan sebaik-baiknya.
Selepas menulis laporan di Kompleks Airbus, saya mengantar jurnalis MetroTV Fauzan Dahlan dan jurnalis NetTV dari Montpellier, Dini Massabuau ke Stasiun Toulouse-Matabiau. Dini akan kembali Montpellier sedangkan Fauzan memesan tiket untuk ke Paris. Saya hendak memesan tiket ke Cannes tetapi tak bisa membeli dengan uang tunai karena waktu amat mepet.
Di sisi lain, seusai mendapat tugas baru, saya berkoordinasi dengan tim film Indonesia yakni Fauzan Zidni, produser Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak dan stafnya, Giovanni Rahmadeva. Saya memutuskan untuk berangkat ke Cannes pada Kamis (18/5) dengan bus dari Terminal Pierre Semard yang berada di samping stasiun. Di kios terminal, saya membeli tiket keberangkatan ke Cannes senilai 40 Euro.
Menurut tiket, saya berangkat pada Kamis pukul 10.30 dan akan tiba di Cannes pukul 18.45. Wih, delapan jam perjalanan yang akan melelahkan. Di Cannes, saya sudah dipesankan oleh Fauzan untuk menginap di sebuah hotel yang setelah saya mendapatinya ternyata sederhana tetapi tenang, nyaman, resik, dan apik. Sempurna.
Kamis pagi, saya mengantar Fauzan ke stasiun karena dia berangkat terlebih dahulu yakni pukul 08.30. Selepas itu saya ke terminal dan menghabiskan waktu hampir dua jam menunggu dengan membaca berbagai brosur, majalah, dan buku latihan bahasa Perancis. Saya sempat keluar sebentar untuk jeprat jepret suasana sekitar terminal dan stasiun yang pada Kamis pagi itu cukup ramai dalam udara yang sejuk.
Bus tujuan ke Nice (lewat Montpellier-Aix-en Provence-Cannes) tiba pukul 10.15 di jalur tujuh. Sopir bus merangkap kondektur yang memeriksa tiket dan mengatur letak bagasi penumpang berdasarkan jauh dekat tujuan.
Bus yang saya naiki cukup nyaman, bersih, dan sejuk. Yang saya cemaskan bagaimana saya akan membunuh waktu sepuluh jam agar tidak bosan? Teman saya cuma buku, brosur, majalah, sebungkus wafer, dan sebotol air. Cukupkah? Entahlah.
Seperti kebanyakan orang yang pergi ke daerah baru, sepanjang perjalanan, saya sulit untuk tidur. Pemandangan sepanjang perjalanan membius saya sehingga sulit tidur dan tangan selalu gatal untuk memotret dengan kamera dan telepon seluler. Di kota-kota perhentian untuk naik turun penumpang saya isi dengan jeprat jepret lagi dan senam kecil agar tubuh tidak capek dan letih akibat terlalu lama duduk.
Saya tiba di Cannes pukul 18.45. Sungguh perjalanan yang tepat waktu, sesuatu yang nyaris mustahil terjadi di Indonesia untuk perjalanan bus antarkota antarprovinsi (AKAP). Saya turun di halte depan hotel Radisson Blu. Dari halte sana berjalan menyusuri dermaga menuju tempat pertemuan dengan Fauzan, Mouly, dan produser Rama Adi dekat Palais Des Festival.
Di Restoran Le Petit Paris saya menjumpai mereka, kalangan sineas muda yang bersemangat untuk membangun perfilman Indonesia ke panggung dunia. Selepas mengobrol sekaligus perkenalan, saya pamit untuk pulang ke hotel. Masih banyak hari yang harus dilalui, film-film yang patut ditonton dan diapresiasi, dan orang-orang hebat perfilman yang perlu ditemui atau sekadar cuma bisa dilihat saat melangkah di karpet merah atau panggung apresiasi.