Cahaya-cahaya Cinta dari Malang Raya
Dekat-dekatlah dengan mereka yang membiarkan cahaya cinta terpancar tanpa ditahan-tahan, tanpa menghakimi atau mengharapkan penghargaan, tanpa membiarkan cahaya itu dihalangi rasa takut kalau-kalau dirinya disalahpahami.
(Paulo Coelho)
Negeri ini tidak pernah kekurangan orang-orang ”bercahaya” cinta itu. Hanya, mungkin belum semua kita temukan.
Di Malang, Jawa Timur, bermunculan orang-orang yang mengupayakan pendidikan cuma-cuma untuk sekitarnya. Bukan untuk mencari nama, melainkan menjaga generasi muda negeri ini berliterasi. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap berbagai hal yang sedang berlangsung.
Pedepokan Bait Al-Hikmah adalah salah satu tempat anak-anak dan pemuda bisa mengaji ilmu agama dan ilmu kehidupan tanpa berbayar.
Awalnya, tempat ini hanya untuk belajar menghafal dan memahami Al Quran. Dalam perkembangan, pedepokan itu menjadi tempat belajar banyak hal. Lokasinya di Jalan Tirto Taruno, Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Pedepokan itu dipelopori oleh Pradana Boy Zulian Thobibul Fata, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, bersama istrinya, Lailatul Fitriyah, guru relawan di SD Aisyiyah Dinoyo.
Pedepokan dibangun pada bulan Ramadhan tahun 2014. Awalnya berupa pengajian bertempat di garasi rumah. Kelas pertama berisi 20 orang.
”Sesuai minat istri saya, kami mengajarkan kajian Al Quran. Kelas pertama berisi tahfiz Quran tematik, yakni belajar menghafal dan memahami Al Quran dengan konsep bertema. Intinya, tidak hanya menghafal Al Quran, tetapi juga paham isinya,” kata Pradana.
Sekolah gratis itu berlangsung seminggu dua kali pada pukul 16.00-18.00 serta selepas Isya. Kelas mengaji sore untuk anak usia 8-15 tahun. Kelas malam untuk mahasiswa.
”Kelas mahasiswa lebih banyak mengenai kajian. Ada kuliah singkat sejarah Islam, kajian dalam Islam, fikih, dan sebagainya,” kata Pradana. Kelas malam juga digunakan untuk mendidik calon guru di sekolah itu.
Pembelajaran berbagai hal itu diharapkan membuka wawasan anak-anak muda bahwa ada berbagai aliran dalam agama, dan pengetahuan lain, yang selama ini hanya dikenal lewat internet atau dari mulut ke mulut.
”Saya lebih percaya pada pembelajaran tradisional, yaitu belajar pada guru dan membaca buku. Bertemu guru lalu berdiskusi. Ini lebih baik daripada sekadar pengetahuan yang didapat dari dunia maya,” kata lulusan program doktor National University of Singapore itu.
Pradana sering bertemu mahasiswa atau orangtua siswa yang mendebatnya gara-gara terpengaruh pengetahuan dari dunia maya. Bahkan, pernah Pradana harus berdebat panjang dengan orangtua siswa karena dia berpendapat buku yang digunakan Pradana sesat.
”Ternyata, dia sama sekali belum membaca buku itu dan hanya percaya pada screenshot pesan dari temannya. Seharusnya dia baca isi buku itu lebih dulu untuk mengatakan sesat atau tidak,” katanya.
Hal seperti itu yang membuat Pradana bertekad mendedikasikan diri dan keluarganya untuk mengajak orang belajar agama lebih mendalam. ”Supaya tidak hanya tahu setengah, tetapi omongnya berlembah-lembah. Ujung-ujungnya mencaci maki orang yang tidak sepemikiran. Jauh sekali dari ajaran KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang selalu menekankan doktrin etika welas asih,” katanya lagi.
Hal itu mengusik Pradana sepulang kuliah dari Singapura tahun 2014. Itu sebabnya ia mendirikan Pedepokan Bait Al-Hikmah (rumah hikmah). Pradana memilih berbuat. ”Kata kunci kami adalah moderasi dalam literasi. Mereka yang ’pemarah’ di luar sana mungkin sebenarnya belum tahu kebenaran yang sesungguhnya. Kami ingin membantu orang untuk tahu dan paham sehingga tidak mudah jadi pemarah,” kata ayah tiga anak tersebut.
Tiga tahun berjalan, anak didik Pedepokan Bait Al-Hikmah mencapai empat kelas. Tugas mengajar kini dibantu tiga guru yang digaji dengan zakat dari teman-teman yang dititipkan kepada Pradana. Kini, Pradana merintis pembangunan sekolah gratis.
Semua dilakoni Pradana bukan tanpa kendala. Tidak jarang orang di sekitarnya mencibir, menilai Pradana itu Muslim beraliran liberal. Namun, dosen yang penulis itu terus berjalan.
Rumah bersama
Di tempat berbeda, di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, dedikasi mengajar dilakukan oleh keluarga Iman Suwongso, cerpenis dan pegiat desa setempat. Tahun 1998, istri Iman, Endang, yang seorang guru, mulai mengajar anak-anak di desa itu secara gratis. Di kawasan itu, rata-rata orangtua bekerja sebagai buruh pabrik, antara lain pabrik garmen dan rokok. Mereka jarang punya waktu untuk mendampingi anak mengerjakan PR.
Tahun 2006, untuk memberi ruang lebih luas pada anak-anak berkegiatan, dibangun semacam joglo. Joglo itu berupa teras luas yang dibuat lebih tinggi dibandingkan lantai.
Di tempat itu, selain belajar akademis, anak-anak usia SD sampai SMP juga belajar musik, teater, dan menari. Mereka didorong berani tampil. Anak perempuan diajar menari oleh Ica, anak Iman yang kini mahasiswi Politeknik Negeri Malang. Anak laki-laki bermain musik patrol. Adapun teater sederhana dibimbing sahabat Iman, Demsi.
Rumah itu juga digunakan ibu-ibu untuk belajar menjahit. ”Harapannya, keterampilan ini dapat menjadi usaha rumahan ibu-ibu di sini,” kata Elly, peserta pelatihan menjahit.
Joglo Pandanlandung pada akhirnya berkembang menjadi rumah bersama. Para bapak dan pemuda sering berkumpul di tempat tersebut untuk membahas aneka hal.
Dampaknya, ada saja orang curiga. Iman dituduh hendak maju jadi perangkat desa. ”Mereka salah menduga karena mereka tidak tahu. Begitu dijelaskan, mereka paham,” kata pria yang juga cerpenis itu.
Ketidaktahuan dan salah paham banyak terjadi di Indonesia, terlebih belakangan ini. Hal itu diperparah dengan berlimpahnya berita hoaks.
Di sinilah peran Pradana dan Iman. Mereka merupakan beberapa dari orang-orang yang mencoba menjadi ”cahaya” untuk lingkungan sekitarnya.