RIYADH, KOMPAS — Kemitraan negara-negara berpenduduk Muslim dan Amerika Serikat menjadi tumpuan dalam menghadapi ancaman terorisme. Tanpa hal itu, sulit menghadapi persoalan yang telah merenggut banyak korban di sejumlah negara. Membangun kemitraan strategis menjadi harapan sebagian besar pemimpin negara yang hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi Arab, Islam, Amerika di kota Riyadh, Arab Saudi, Minggu (21/5).
Isu ini mengemuka sejak acara dibuka Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud di Gedung King Abdulaziz International Conference Center. Para pemimpin dunia memberikan pandangan dan gagasan secara bergiliran dalam upaya melawan terorisme. Presiden AS Donald Trump menyampaikan bahwa KTT Arab, Islam, Amerika merupakan babak penting perlawanan terhadap terorisme.
”Saya ingin membangun kemitraan baru demi masa depan dunia yang lebih baik. Kemitraan itu bisa dibangun dengan prinsip saling percaya di antara kita,” kata Trump di hadapan peserta KTT, kemarin petang waktu setempat atau Minggu malam WIB, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Andy Riza Hidayat, dari Riyadh.
Para pemimpin negara yang hadir memandang adanya kebutuhan mendesak untuk menggalang kerja sama dan keterbukaan menghadapi terorisme di seluruh dunia. Arab Saudi mengundang lebih dari 50 pemimpin negara Islam atau negara berpenduduk Muslim hadir di KTT ini untuk bertukar pikiran mengenai upaya memerangi terorisme.
Dalam kunjungan dua hari di Arab Saudi, selain hadir dalam KTT Arab, Islam, Amerika, Trump juga menghadiri KTT Arab Saudi-AS dan KTT Negara-negara Teluk-AS.
Gagasan Indonesia
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyerukan kemitraan melawan terorisme dan radikalisme harus diwujudkan. Kesatuan antarnegara-negara Muslim menjadi modal utama untuk melawan terorisme. ”Persatuan antarumat merupakan kunci membangun kemitraan. Karena itu, penting untuk membangun pemahaman antarumat Islam lebih dahulu,” kata Presiden Joko Widodo.
Menurut Presiden, pemahaman yang salah hanya bisa disembuhkan dengan pemikiran yang benar. Indonesia percaya, penting artinya untuk menyeimbangkan pendekatan hukum dan pendekatan persuasif (soft power approach). Pendekatan persuasif menjadi prioritas dengan mengedepankan pendekatan agama dan kebudayaan.
Karena itu, lanjut Presiden, Indonesia melibatkan mantan teroris yang bertobat serta organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. ”Tindakan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru,” kata Presiden.
Di tengah persoalan yang sedang terjadi, Presiden memandang adanya potensi yang dapat dimanfaatkan. Potensi yang dimaksud adalah dengan mendorong terwujudnya perekonomian inklusif. Dengan cara ini, akan lebih banyak orang yang memiliki kesempatan meningkatkan kesejahteraan ekonominya.
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana tiba di kota Riyadh, Sabtu (20/5) pukul 20.30 waktu setempat. Presiden hadir di KTT ini didampingi Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius.
Suhardi mengatakan, kemitraan global menjadi tulang punggung dalam memberantas terorisme. Khusus dengan Arab Saudi, Indonesia telah menyepakati kerja sama program deradikalisasi yang ditandatangani di Bogor, 1 Maret lalu.
Meski ada kerja sama, akar terorisme kedua negara berbeda. ”Meskipun ini ancaman global, setiap negara mempunyai latar belakang yang berbeda-beda,” kata Suhardi.
Indonesia mengharapkan peran Arab Saudi ikut mereduksi paham radikal yang berkembang. BNPT telah memetakan patron paham radikal di Tanah Air dan yang ada potensi terhubung dengan jaringan yang terdapat di Arab Saudi. Pihak Arab Saudi, kata Suhardi, siap mendatangkan tenaga ahlinya untuk mereduksi pemahaman radikal di Tanah Air.
Senada dengan Suhardi, AM Fachir mengatakan, pertemuan ini merupakan momentum menggalang kerja sama antarnegara. Kerja sama yang dimaksud dibuat atas prinsip keseimbangan antara pendekatan hukum dan pendekatan persuasif.
Isu perang melawan terorisme menjadi tema konferensi di Riyadh. Bagi Trump, kunjungannya selama dua hari di Arab Saudi itu mengawali tur kunjungan kenegaraan pertamanya setelah dilantik menjadi presiden AS, Januari. Kunjungan Trump ke Arab Saudi juga berfungsi sebagai upaya memperbaiki hubungan dengan dunia Muslim menyusul retorika-retorikanya yang anti-Islam selama kampanye pemilu presiden AS, tahun lalu. (AP/REUTERS/SAM)