JAKARTA, KOMPAS — Wayang sebagai mitos yang disenikan tidak hanya menyuguhkan keindahan, permainan bentuk, keterampilan, ritual, festival, klangenan atau kegemaran semata, tetapi juga perenungan mendalam untuk mengungkap hal-hal esensial dalam realitas kehidupan supaya mendapatkan pencerahan batin. Sayangnya, di Indonesia wayang masih cenderung dianggap sebagai karya seni semata.
Fenomena semakin terpinggirkannya kekayaan budaya wayang diakui Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto.
”Kemodernan memang lebih spektakuler, lebih menarik secara visual dan pragmatis. Hanya saja, ketika kita semua sampai pada pertanyaan besar tentang identitas, baru kita berpikir kembali tentang kekayaan kita sebenarnya itu apa,” ujarnya dalam Seminar Nasional Filsafat Wayang ”Merajut Keindonesiaan dalam Perspektif Filsafat Wayang” di Grha STR, Jakarta, Senin (22/5). Seminar ini digelar dalam rangka Lustrum X dan Dies Natalis Ke-50 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Negara maju
Meski demikian, yang cukup mengherankan, menurut dia, di negara-negara maju justru muncul gerakan untuk kembali menggali kekayaan budaya lokal mereka, seperti di Irlandia orang kembali menggali kekayaan Keltik, juga di Denmark orang kembali menggali Viking. Di negara-negara maju, ada gerakan dari logos atau sains ke mitos, seni, dan mistik. Sebaliknya, di Indonesia orang baru belajar bergerak dari mitos ke logos, sains, dan filsafat meski tertatih-tatih dan bingung.
”Kita baru tahu siapa kita selama kita berelasi dengan banyak pihak. Penolakan terhadap apa yang berbeda itu primitif dan tidak akan membawa kita ke mana-mana. Ini zaman relasional,” kata Bambang.
Dalam hal pewarisan budaya wayang, ada sebagian kalangan yang bersikap defensif, tidak mau tergerus budaya lain. Namun, ada pula pihak yang bersemangat partisipatif, antara lain dengan mengupayakan agar filsafat wayang dapat memperkaya filsafat dunia.
Prof Joko Siswanto yang juga Ketua Senat Fakultas Filsafat UGM mengatakan, wayang memiliki watak terbuka dalam menghadapi berbagai pengaruh budaya serta mampu mengantisipasinya. Semua itu berkat kekuatan hamot, hamong, hamemangkat, yakni kemampuan menerima pengaruh dari luar untuk disaring dan diolah guna memperkuat budaya wayang.
Watak terbuka sekaligus kritis ini sangat dibutuhkan pada masa kini, terutama menyikapi muculnya gerakan radikalisme dan fundamentalisme.
”Bahaya dari fundamentalisme adalah menutup cara berpikir, membutakan pikiran, dan tidak berani menanggapi realitas. Padahal, semakin memahami yang lain, kita akan semakin memahami kekayaan budaya dan bisa turut berkontribusi untuk dunia global,” tambah Bambang.
Upaya menggali filsafat wayang sudah dilakukan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Sena Wangi) bersama Fakultas Filsafat UGM sejak 1990-an. ”Hingga tahun ini, penelitian bersama itu sudah berhasil mempersembahkan filsafat wayang sistematis yang berusaha menggali metafisika, epistemologi, dan aksiologi wayang,” ucap Ketua Sena Wangi Sri Teddy Rusdy.
Pada prinsipnya, wayang bukan sekadar tontonan, melainkan juga tatanan dan tuntunan. Wayang disebut wewayanganing ngaurip atau gambaran tentang kehidupan. Tahun 2011, UGM meluncurkan mata kuliah bidang studi filsafat wayang untuk program studi S-1, S-2, dan S-3, yang tak ada di kampus lain. (ABK)