MADRID, SENIN — Sanksi embargo pemain dari FIFA mengguncang Real Madrid awal musim ini. Hal itu memaksa Real tidak bisa jorjoran mengeluarkan uang. Aktivitas belanja pemain tim ini pun menginjak titik terendah dalam 18 tahun terakhir. Namun, berkat ”alunan simfoni” ala Pelatih Zinedine Zidane, sanksi itu justru menjadi ”berkah” tersembunyi.
Sepanjang musim ini, ”El Real” hanya mengeluarkan 30 juta euro atau Rp 448 miliar, yaitu untuk memulangkan striker Alvaro Morata dari Juventus. Mereka dilarang bertransaksi di bursa Januari akibat kedapatan merekrut pemain di bawah umur.
Celakanya pula, salah satu bintang mereka, Gareth Bale, lantas didera cedera panjang. Beruntung, Zidane mampu meyakinkan sejumlah bintangnya yang sempat tidak lagi betah, seperti James Rodriguez, Isco, dan Marco Asensio, untuk terus bertahan di Santiago Bernabeu.
Kejelian mengatasi problem itu, ditambah kelihaian mengatur pemain, menjadi kunci Zidane membawa Real mengakhiri lima tahun puasa gelar juara Liga Spanyol. Trofi Liga Spanyol ke-33 milik Real itu diraih setelah membekap Malaga, 2-0, pada pekan pamungkas La Liga, Senin (22/5) dini hari WIB.
Kontras dengan El Real, Barcelona dan Atletico Madrid mendatangkan banyak pemain. Setelah lepas dari embargo FIFA, Barca menghabiskan uang empat kali lipat dari Real.
Adapun Atletico, yang juga terkena sanksi embargo akibat masalah serupa, melakukan ”belanja panik”. Mereka merekrut tujuh pemain senilai 81 juta euro atau Rp 1,2 triliun pada musim panas 2016. Adapun embargo FIFA itu efektif berlaku 2017 ini.
Zidane paham betul, Real tidak perlu ikut panik seperti klub tetangganya, Atletico. ”Los Blancos” telah diberkahi skuad mewah yang belum dioptimalkan. Mereka punya segudang pemain hebat, seperti James, Isco, dan Asensio, yang sebelumnya hanya menjadi pemanas bangku cadangan.
Meski demikian, status klub bertabur bintang acap kali jadi bumerang bagi tim itu pada masa lalu. Tak heran, meski rutin berstatus tim terkaya sejagat selama nyaris dua dekade terakhir, El Real kesulitan menyaingi rival abadinya, Barca. Jangankan meraih treble seperti dilakukan Barca musim 2009 dan 2015, Real selalu kesulitan mengawinkan trofi liga domestik dan Eropa.
Terakhir kali mereka menjadi ”raja” Spanyol dan Eropa sekaligus adalah pada 1958, yaitu ketika almarhum Alfredo Di Stefano, striker legendaris Real, masih menendang bola.
Masalah laten Madrid selama ini adalah meredam ego bintang demi kolektivitas tim. Akibatnya, mereka tidak konsisten, kesulitan berkiprah di liga domestik ataupun Liga Champions sama baiknya dalam musim yang sama.
Ibarat kelompok paduan suara, Real sering tampil menawan di opera-opera megah. Namun, tatkala tampil di opera yang lebih kecil, suara mereka sumbang. Itu terjadi karena sang tenor terlalu memaksakan diri ingin terus menonjol di berbagai panggung.
Ego hebat
Ya, dalam hal ini, megabintang Real, Cristiano Ronaldo, adalah ”tenor” yang dimaksud. Bukan rahasia jika bakat Ronaldo sama hebatnya dengan egonya. Ia tidak jarang mengamuk jika digantikan pemain lain di tengah laga, apalagi sampai tidak diturunkan.
Ia selalu ingin tampil dalam keadaan apa pun demi rekor gol, gelar sepatu emas, dan trofi bergengsi Ballon d’Or (pesepak bola terbaik dunia). Sejarah berkata, Real selalu gagal menjuarai Liga Spanyol justru ketika Ronaldo meraih gelar pichichi alias pencetak gol tersubur di La Liga.
Ego Ronaldo pun kerap menjadi penyebab keretakan tim dan hengkangnya pelatih top El Real, seperti Jose Mourinho dan Rafael Benitez. Namun, kebiasaan buruk itu mulai hilang sejak hadirnya Zidane di Bernabeu, satu setengah tahun lalu.
Sebagai mantan pemain besar, yang berlabuh ke Real di era Los Galacticos, Zidane paham betul cara berhadapan dengan pemain terbaik dunia seperti Ronaldo. Ia berbicara dari hati ke hati dengan Ronaldo. Ia ibarat dirigen paduan suara, yang bukan sekadar memimpin, melainkan juga menjaga alunan simfoni tim.
Ronaldo pun ”menjinak”. Pemain berjuluk ”CR7” itu mampu menerima jika dirinya tidak rutin dimainkan di liga domestik. Jumlah penampilannya di Liga Spanyol musim ini adalah yang terendah sejak pertama kali ia hijrah ke Spanyol, 2009 silam. Torehan 25 gol di La Liga adalah yang terkecil sepanjang kariernya di Madrid. Zidane sengaja mengistirahatkan Ronaldo agar tetap bugar di usia ke-32 saat ini, sekaligus menjadikannya ”senjata mematikan” di Liga Champions.
Kebijakan rotasi pemain macam itu di lain pihak menaikkan kepercayaan diri pasukan ”Tim B” alias pemain pelapis Real, seperti James. Dan, untuk pertama kali sejak 1964, peluang mengawinkan trofi Liga Spanyol dan Liga Champions (dulu bernama Piala Champions) kembali terbuka. Real akan menghadapi Juventus di final Liga Champions, 3 Juni mendatang.
”Bos (Zidane) mengatur kami dengan sangat baik saat ini. Saya rela diistirahatkan demi kondisi dan kepentingan tim ini,” ujar Ronaldo kepada Marca. (JON)