BANDUNG, KOMPAS – Untuk mendeteksi seseorang pernah menggunakan narkoba atau tidak ternyata tidak hanya dengan melalui tes urine. Balai Pengembangan Instrumentasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tengah meneliti pemanfaatan sinyal otak untuk mendeteksi penggunaan narkoba tersebut. Penelitian yang masih dikembangkan hingga tiga tahun ke depan tersebut diharapkan berkontribusi untuk dunia kesehatan saat memeriksa riwayat penggunaan narkoba pada seseorang.
”Tujuannya menggunakan sinyal otak yang direkam untuk membedakan orang yang pernah menggunakan narkoba dan tidak. Selama ini, hal tersebut hanya dibedakan dengan cara medis, seperti melalui tes urine,” ujar peneliti di Balai Pengembangan Instrumentasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Arjon Turnip di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (23/5).
Arjon mengatakan, inovasi itu menggunakan 19 titik elektroda yang ditempelkan di kepala orang yang ingin dideteksi untuk merekam sinyal otaknya. Data itu kemudian disalurkan melalui amplifier dan diolah di komputer. Penelitian membutuhkan stimulan berupa gambar berbagai jenis narkoba, seperti ganja, kokain, dan sabu. Itu diperlukan untuk merangsang sinyal otak orang yang dideteksi.
”Aktivitas sinyal otak pengguna narkoba lebih tinggi jika melihat stimulan. Sementara itu, orang yang tidak pernah menggunakan cenderung tidak bereaksi. Ini terjadi karena reaksi itu berdasarkan memori otak,” ujarnya.
Penelitian itu melibatkan dua peneliti dan empat calon peneliti dari LIPI. Mereka juga bekerja sama dengan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Penelitian awal dilakukan pada Mei 2016 di RSHS dengan melibatkan 30 orang sebagai sampel. Mereka dibagi dalam tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari 10 orang, yaitu pengguna narkoba aktif, pengguna yang sudah direhabilitasi, dan bukan pengguna.
Menurut Arjon, sebelum dideteksi dengan metode sinyal otak, sampel diwawancara mengenai pengalamannya menggunakan narkoba. Mereka juga menjalani tes urine untuk mengetahui kandungan jenis narkoba pada dirinya.
”Indikasinya, sinyal otak 20 pengguna narkoba aktif dan yang sudah direhabilitasi lebih tinggi dibandingkan lainnya. Hasil ini konvergen dengan hasil tes medis,” ujarnya.
Tantangan
Menurut Arjon, penelitian tersebut memiliki tantangan tersendiri terhadap sampel yang diteliti. Sebab, idealnya sampel harus dikelompokkan berdasarkan efek yang ditimbulkan dari penggunaan narkoba, seperti menghilangkan rasa sakit, halusinasi, dan meningkatkan kepercayaan diri.
”Sampel dalam penelitian sebelumnya masih terlalu beragam. Untuk itu, kami membutuhkan penelitian-penelitian lanjutan dengan sampel yang terkelompok sehingga bisa lebih fokus,” ujarnya.
Arjon berharap, penelitian tersebut dapat menciptakan alat sederhana untuk mendeteksi penggunaan narkoba dengan basis sinyal otak. Dukungan dari berbagai pihak, seperti Badan Narkotika Nasional, sangat diperlukan terkait sampel pengguna narkoba.
Dwi Esti Kusumandari, peneliti yang juga terlibat dalam penelitian itu, mengatakan, pihaknya akan membandingkan gelombang electroencephalography (EEG) untuk pengguna narkoba dan yang tidak menggunakannya setelah diberi stimulan.
”Diharapkan hasilnya lebih obyektif dan biayanya lebih terjangkau. Sebab, tidak perlu menggunakan zat tambahan untuk direaksikan agar mengetahui jenis narkoba yang digunakan,” ujarnya. (TAM)