Tim ilmuwan internasional telah menemukan bukti yang memengaruhi tingkat keparahan gempa Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004. Temuan itu menunjukkan bahwa dehidrasi mineral jauh di bawah dasar laut memperparah gempa tersebut. Gempa berukuran 9,2 skala Richter dan diikuti tsunami tersebut menghancurkan pesisir Samudra Hindia serta menewaskan lebih dari 250.000 orang.
Studi tentang sampel sedimen yang ditemukan jauh di bawah dasar laut dipimpin oleh Dr Andre Hüpers dari Center for Marine Environmental Sciences di Universitas Bremen, Jerman. Temuan tersebut diterbitkan dalam jurnal Science, yang juga dipublikasikan dalam situs web sains sciencedaily.com edisi Kamis (25/5).
Penelitian tentang gempa tersebut dilakukan saat sebuah ekspedisi pengeboran laut ilmiah ke wilayah tersebut pada 2016, sebagai bagian dari International Ocean Discovery Program (IODP), yang dipimpin para ilmuwan dari Universitas Southampton, Inggris, dan Fakultas Pertambangan Universitas Colorado, Amerika Serikat.
Selama ekspedisi di atas kapal penelitian JOIDES Resolution, para peneliti mengambil sampel, untuk pertama kalinya, sedimen dan batuan dari lempeng tektonik laut yang menjadi bahan zona subduksi Sumatera. Zona subduksi adalah area tempat dua lempeng tektonik bumi bertemu, satu meluncur di bawah yang lain, menghasilkan gempa terbesar di bumi, banyak diikuti dengan tsunami yang merusak.
Koordinator ekspedisi Profesor Lisa McNeill dari Universitas Southampton mengatakan, tsunami Samudra Hindia tahun 2004 dipicu oleh gempa yang luar biasa kuat dengan daerah pecah yang luas. ”Kami ingin mengetahui apa yang menyebabkan gempa dan tsunami besar dan apa ini mungkin berarti untuk daerah lain dengan sifat geologi yang serupa,” ujar Lisa.
Para ilmuwan memusatkan penelitian mereka pada proses dehidrasi mineral sedimen di bawah tanah, yang biasanya terjadi di dalam zona subduksi. Diyakini proses dehidrasi ini, yang dipengaruhi oleh suhu dan komposisi sedimen, biasanya mengendalikan lokasi dan tingkat slip antarpelat, dan menyebabkan beratnya gempa.
Di Sumatera, tim menggunakan kemajuan terbaru dalam teknologi pengeboran laut untuk mengambil sampel dari 1,5 km di bawah dasar laut. Mereka mengukur komposisi sedimen dan sifat kimia, suhu, dan fisik. Peneliti membuat simulasi untuk menghitung bagaimana sedimen dan batuan berperilaku begitu mereka menempuh jarak 250 km ke timur menuju zona subduksi. Sedimen dan batuan itu lalu terkubur sangat dalam dan mencapai suhu yang tinggi.
Para periset menemukan bahwa sedimen di dasar lautan, terkikis dari pegunungan Himalaya dan dataran tinggi Tibet dan diangkut ribuan kilometer oleh sungai-sungai di darat dan laut, cukup tebal untuk mencapai suhu tinggi dan untuk mendorong proses dehidrasi sebelum sedimen mencapai zona subduksi. Ini menciptakan bahan yang sangat kuat. Akibatnya, gempa tergelincir di permukaan patahan subduksi ke kedalaman yang dangkal dan di atas area sesar yang lebih besar, yang menyebabkan gempa yang sangat kuat terjadi pada 2004.
Dr Andre Hüpers dari Universitas Bremen mengatakan, gempa zona subduksi biasanya memiliki waktu pengembalian beberapa ratus sampai seribu tahun. ”Oleh karena itu, pengetahuan kita tentang gempa sebelumnya di beberapa zona subduksi bisa sangat terbatas,” kata Andre.
Zona subduksi serupa ada di Karibia (Lesser Antilles), di luar Iran dan Pakistan (Makran), dan di barat Amerika Serikat dan Kanada (Cascadia). Tim akan melanjutkan penelitian tentang sampel dan data yang diperoleh dari ekspedisi pengeboran Sumatera selama beberapa tahun ke depan, termasuk percobaan di laboratorium dan simulasi numerik lebih lanjut, dan mereka akan menggunakan hasilnya untuk menilai bahaya potensial di masa depan, baik di Sumatera maupun di wilayah lain.