INSA Ajukan Pengecualian Terkait Konvensi Manajemen Air Balas
Oleh
Maria Clara Wresti
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pengusaha Pelayaran Nasional (INSA) bersama pengusaha pelayaran Singapura dan Malaysia akan mengajukan fase pertama permohonan keringanan ke Organisasi Maritim Internasional (IMO), mengenai pengecualian penerapan aturan air balas (ballast water) di ketiga negara.
”Pengajuan fase pertama itu sudah kami bahas bersama pada General Meeting Asian Shipowners’ Association (ASA) yang diselenggarakan di Taipei pada 24-25 Mei 2017,” kata Sekretaris Umum INSA Budhi Halim, dalam siaran pers, Sabtu (27/5).
Dijelaskan Budhi, dalam kesempatan itu INSA membahas tentang langkah-langkah persiapan menghadapi penerapan Ballast Water Management Convention (BWMC) agar negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, Singapura dan Malaysia bisa mendapatkan pengecualian untuk kapal dagang di ketiga negara tersebut.
”Selanjutnya fase kedua, yaitu perairan yang dekat dengan Vietnam dan fase ketiga, yakni untuk perairan Filipina dan Aceh. Pengecualian ini harus diajukan melalui pemerintah pada rapat ASEAN Maritime Transport Working Group (AWTWG),” kata Budhi.
Air balas adalah air yang dimasukkan ke dalam kapal untuk menjaga keseimbangan kapal saat berlayar. Air ini biasanya dimasukkan di pelabuhan awal saat kapal dalam keadaan kosong atau kurang muatan, kemudian dibuang di pelabuhan tujuan saat kapal mulai diisi muatan.
Namun, menurut laman resmi IMO, air balas ini menjadi sarana penyebaran berbagai organisme hidup dari satu titik ke titik lain yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan penyebaran penyakit. Itu sebabnya sejak 2004, IMO menetapkan BWMC yang mengharuskan setiap kapal dagang memiliki fasilitas pengolah air balas di dalam kapal untuk mencegah risiko penyebaran pencemar atau penyakit ini. Hal itu yang dipandang memberatkan oleh sebagian pemilik perusahaan perkapalan.
Berbagai isu penting
Beberapa isu besar lain yang menjadi topik pembahasan, antara lain, adalah gas rumah kaca (green house gas/GHG), yang menyangkut tentang kewajiban menyampaikan sistem koleksi data tentang konsumsi bahan bakar mulai Maret 2018, pembatasan kandungan sulfur bahan bakar global pada 0.5% m/m yang akan diimplementasikan pada Januari 2020, dan peta jalan penerapan Ballast Water Management Convention (BWMC).
”Selain itu dibahas juga terkait keselamatan maritim tentang penyanderaan pelaut, bagaimana membuat pengamanan secara regional. Dibahas juga mengenai ship recycling (daur ulang kapal), di mana pelaksanaannya semua galangan harus meningkatkan fasilitas galangannya, mengikuti ketentuan Hongkong International Convention for Safe and Environmentally Sound Recycling of Ship (HKC) sebagai Single Global Standard,” kata Budhi.
Annual General Meeting ASA ini juga dihadiri perwakilan anggota ASA dari Australia, China, Taiwan, Hongkong, India, Jepang, Korea Selatan dan Federation ASEAN Shipowners’ Association (FASA) yang beranggotakan asosiasi pelayaran ASEAN termasuk Indonesia.
Setiap perwakilan anggota juga berpendapat untuk potensi bisnis perkapalan sampai akhir 2017, para pengusaha pelayaran akan tetap harus berjuang mengingat kondisi pasar yang masih cukup berat pada umumnya, kendati sudah terdapat beberapa tanda perbaikan. Diharapkan industri pelayaran di masa mendatang akan pulih seperti pada masa jayanya pada tahun sebelumnya.