Pengadilan Koneksitas Diusulkan
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo secara khusus mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (26/5), untuk mengumumkan hasil sementara pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101 di TNI AU. Gatot yang melakukan jumpa pers bersama Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, Presiden Joko Widodo memerintahkannya untuk mengusut kasus korupsi ini secara tuntas.
Sejauh ini KPK dan TNI sepakat menyelesaikan perkara ini melalui pengadilan sipil (tindak pidana korupsi) untuk pihak swasta yang terlibat dan pengadilan militer untuk anggota TNI.
”Kami sudah sepakat, pengadilan untuk (anggota) TNI di pengadilan militer, sementara pihak swasta di pengadilan tipikor,” kata Agus.
Padahal, menurut mantan komisioner KPK yang juga pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, pengadilan koneksitas dimungkinkan untuk merampungkan perkara korupsi yang melibatkan pihak militer. ”Bisa saja memang dalam praktik peradilan. Tetapi itu memerlukan waktu,” ujar Indriyanto.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, menilai perkara korupsi pengadaan monitoring satelit di Badan Keamanan Laut sebenarnya dapat menjadi momentum bagi KPK untuk memulai penanganan perkara secara koneksitas, tetapi urung terlaksana.
Dengan terungkapnya kasus korupsi pengadaan helikopter AW 101 ini, kesempatan menuntaskan perkara korupsi ini lewat pengadilan koneksitas kembali terbuka. Apalagi pernah ada penyelesaian perkara dengan cara tersebut.
Salah satunya pada perkara pengadaan empat helikopter M-17 untuk TNI Angkatan Darat. Kasus yang disidangkan pada 2007 itu ditangani secara koneksitas antara Kejaksaan Agung dan TNI. Ketika pelaksanaan sidang pun, salah satu dari majelis hakim berasal dari militer.
”Jadi, semestinya tidak menutup kemungkinan dan bisa dilaksanakan,” ujar Emerson.
Pemeriksaan
Dalam kasus ini, POM TNI telah menetapkan tiga tersangka. Tersangka pertama adalah Marsekal Pertama FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan barang dan jasa di Mabes TNI AU.
Tersangka kedua adalah Letkol Administrasi WW yang menjadi pejabat pemegang kas dan Pembantu Letnan Dua SS yang diduga menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu.
”Ini baru hasil sementara. Tentu kami akan kejar terus, siapa pun dia,” kata Gatot.
Penetapan tersangka dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan tim POM TNI dan KPK terhadap enam saksi dari TNI dan tujuh warga sipil.
Menurut Agus Rahardjo, KPK dan TNI sudah bersama-sama menggeledah empat lokasi beberapa hari lalu. Salah satu yang digeledah adalah kantor PT Diratama Jaya Mandiri yang rekeningnya juga sudah diblokir sebesar Rp 139 miliar.
Dari hasil penyelidikan POM TNI bersama KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hasil sementara kerugian negara tercatat mencapai Rp 220 miliar.
Kerja sama penyelidikan antara TNI dan KPK telah dimulai awal 2017 dengan intensitas tinggi pada tiga bulan terakhir. Inisiatif awal berasal dari TNI yang mendapat perintah Presiden Joko Widodo. Penyelidikan dimulai oleh TNI AU, terutama terkait dengan kesesuaian heli AW 101 untuk SAR dan angkut pasukan.
Insubordinasi
Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, setelah diperiksa, heli AW 101 itu tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI AU. Menurut Hadi, heli AW 101 yang sudah ada di Indonesia pada awal tahun ini tidak masuk sebagai bagian dari inventaris senjata TNI AU. ”Sampai sekarang kami tidak menerima sebuah heli AW 101 yang sudah datang itu sebagai alat operasional TNI AU,” kata Hadi.
Hasil investigasi TNI AU kemudian digunakan sebagai informasi awal penyelidikan oleh Mabes TNI. Dalam prosesnya, dugaan korupsi ini melibatkan banyak pihak. TNI lalu menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan, Polri, PPATK, dan KPK.
Gatot mengatakan, selain korupsi, ada faktor-faktor lain yang memberatkan kasus ini secara hukum militer, seperti insubordinasi atau ketidaktaatan terhadap pimpinan. Unsur insubordinasi dijelaskan Gatot berdasarkan kronologi.
Ia mengatakan, pada rapat terbatas akhir tahun 2015, Presiden telah memerintahkan penundaan pembelian heli AW 101 yang sedianya untuk keperluan VVIP karena alasan keuangan negara. Selain itu juga disebutkan bahwa pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) seperti heli AW 101 dilakukan dalam kerangka kerja sama antarpemerintah, bukan melalui pihak perantara swasta.
Pada 12 April 2016, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengirimkan surat kepada KSAU bahwa pembelian persenjataan TNI AU harus mematuhi Undang-Undang tentang Industri Pertahanan. Salah satu pasal UU Industri Pertahanan menyebutkan bahwa pengadaan persenjataan dari luar negeri hanya bisa dilakukan apabila tidak diproduksi di dalam negeri.
Namun, pada 29 Juli 2016, TNI AU dan PT Diratama Jaya Mandiri menandatangani kontrak pembelian heli AW 101, kali ini untuk angkut pasukan, bukan VVIP. Pada 14 September 2016, Panglima TNI mengirim surat kepada KSAU terkait pembatalan helikopter AW 101.
”Saya jelaskan semua ini kepada Presiden. Saat Presiden bertanya, saya perkirakan kerugiannya Rp 150 miliar. Presiden perkirakan lebih dari Rp 200 miliar. Saya diperintahkan mengejar terus,” kata Gatot.
Selanjutnya, pada 29 Desember 2016, Panglima TNI mengeluarkan surat perintah investigasi. Hasil investigasi TNI AU selesai 24 Februari 2017 yang isinya memperjelas dugaan korupsi dan konspirasi. Hasil ini yang dikonsultasikan ke PPATK dan KPK. ”Penyidikan POM dan KPK masih terus meneliti aliran dana. Saya harap personel TNI bersikap kooperatif,” kata Gatot. (EDN/IAN)