Opini BPK Diwarnai Korupsi
Kejadian semacam ini bukan sekali saja terjadi. Pada 2010, dua auditor BPK Provinsi Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto, divonis empat tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dengan maksud memberikan opini WTP terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Bekasi tahun 2009.
Pada 2016, bekas auditor BPK Provinsi Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara. Ia terbukti pernah meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot itu dimintai dana hingga
Rp 1,6 miliar.
Dalam sidang perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), beberapa waktu lalu, terungkap seorang auditor BPK bernama Wulung disebut menerima uang Rp 80 juta. Setelah penerimaan uang itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mendapatkan status WTP pada 2011.
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo memberikan apresiasi kepada jajarannya yang meraih opini WTP dari BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2016. Sebanyak 73 laporan keuangan kementerian/lembaga negara dan satu laporan keuangan Bendahara Umum Negara meraih opini WTP. Jumlah ini merupakan capaian tertinggi selama 12 tahun terakhir.
Meski demikian, di balik kebanggaan itu, proses audit BPK untuk mendapatkan opini WTP ternyata tidak melalui tata kelola yang bersih. Opini WTP dari BPK terhadap laporan keuangan Kemendesa tahun 2016 diperoleh setelah Inspektur Jenderal Kemendesa Sugito memerintahkan pegawai eselon III, Jarot Budi Prabowo, menyerahkan sejumlah uang kepada auditor BPK.
Auditor BPK yang ditangkap KPK karena diduga menerima suap dari pejabat Kemendesa adalah Rochmadi Saptogiri, auditor utama BPK yang juga pejabat eselon I, dan seorang auditor, Ali Sadli. Ada uang Rp 40 juta yang ditemukan di ruang Ali. Sebelumnya, awal Mei, uang
Rp 200 juta diserahkan terlebih dahulu. Dalam penggeledahan setelah penangkapan, KPK juga menemukan uang Rp 1,145 miliar dan 3.000 dollar AS dalam brankas di ruang kerja Rochmadi.
Ketua KPK Agus Rahardjo, di Jakarta, Sabtu (27/5), mengungkapkan, tujuan pemberian uang suap itu untuk mengubah opini dari wajar dengan pengecualian menjadi WTP untuk laporan keuangan Kemendesa tahun anggaran 2016. KPK menetapkan Sugito, Jarot, Rochmadi, dan Ali sebagai tersangka.
”Keempat orang ini statusnya sudah dinaikkan sebagai tersangka dalam perkara ini, bersama dengan naiknya perkara ini ke tahap penyidikan. Kami pun bekerja sama dengan BPK langsung untuk membuktikan pada masyarakat, kami tetap berkomitmen memberantas tindak pidana korupsi bersama,” tutur Agus.
Untuk Sugito dan Jarot, keduanya disangka sebagai pemberi suap dan dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara Rochmadi dan Ali disangka sebagai penerima suap dan dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi.
Kronologi
Agus memaparkan, penangkapan yang dilakukan KPK dimulai pada Jumat pukul 15.00 di Kantor BPK di Jakarta. Tim KPK mengamankan enam orang dari lokasi itu, yaitu Rochmadi, Ali, Jarot, sekretaris Rochmadi, sopir Jarot, dan seorang anggota satpam.
Pada pukul 16.20, tim KPK bergerak ke kantor Kemendesa di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Sementara Sugito dibawa ke kantor KPK. Dari kegiatan ini, dua ruangan di kantor BPK dan empat ruangan di kantor Kemendesa disegel untuk menjaga barang bukti.
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, proses pemberian opini pada suatu laporan keuangan sebenarnya dilakukan sangat ketat. Tidak hanya satu tim yang bekerja. Tiap kementerian dan lembaga dipegang oleh satu tim. Tiap tim akan mempresentasikan hasil auditnya di depan anggota BPK untuk dibahas dalam sidang badan.
”Dalam sidang badan, yang dihadiri keseluruhan, akan ada masukan untuk menentukan. Jadi, bukan hanya dari tim auditor,” kata Moermahadi.
Menurut Moermahadi, BPK memiliki majelis kode etik yang dinilainya bekerja secara efektif dalam menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan pegawai, baik dari auditor maupun pegawai administrasi.
Meski demikian, menurut Deputi Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Apung Widadi, penangkapan auditor BPK oleh KPK ini menjadi bukti bahwa jual-beli status WTP bukan lagi mitos, melainkan benar terjadi. BPK harus mereformasi tata kelolanya dalam mengaudit laporan keuangan lembaga pemerintah.
”Mitos selama ini bahwa ada jual-beli predikat wajar tanpa pengecualian di BPK seolah-olah terpecahkan. Penangkapan oleh KPK ini harus dijadikan momentum reformasi total BPK. Bagaimana kita akan bersih dari korupsi kalau auditornya yang menentukan kerugian negara justru malah korupsi juga,” papar Apung.