Waspada Maut di Jalan Tol Purbaleunyi dan Puncak
DUA minggu lalu, terjadi empat kecelakaan di Jalan Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi atau Purbaleunyi, yang menyisakan nestapa. Lima orang meninggal, puluhan orang luka-luka, dan 17 kendaraan rusak.
Kejadian demi kejadian tersebut sepatutnya membuat kita waspada. Apalagi, pada hari Minggu ini, kerap terjadi arus balik dari kampung halaman ataupun obyek-obyek wisata ke kota-kota besar.
Kecelakaan teranyar terjadi di Km 97 Jalan Tol Purbaleunyi, seminggu lalu, tepatnya pada hari Minggu (21/5/2017) sekitar pukul 08.00. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Yusri Yunus, ketika itu, mengatakan, minibus D 8646 VT menabrak truk tronton Z 9099 MC yang melaju di jalur lambat.
Akibatnya, pengemudi minibus, Dadan Hamdani (35), warga Bandung, tewas. Adapun pengemudi truk, Endang Yaya (42), warga Tasikmalaya, tidak mengalami luka. Penyebab kecelakaan diduga pengemudi minibus mengantuk.
Sebelumnya, kecelakaan terjadi di Km 122, Selasa (16/5/2017) pukul 05.15. Sebuah minibus pecah ban belakang, oleng, dan terbalik. Dua penumpang luka ringan. Dua hari kemudian, Kamis sekitar pukul 19.30, tabrakan beruntun terjadi di Km 91. Rem truk kontainer blong dan menabrak sembilan kendaraan di depannya. Empat orang tewas, satu orang luka berat, dan 26 orang luka ringan.
Jalan Km 91 yang menyempit kembali makan korban keesokan harinya. Jumat pagi, dua mobil patroli layanan jalan tol milik PT Jasa Marga, yang sedang olah tempat kejadian perkara terkait kecelakaan Kamis malam, dihajar truk Colt diesel. Truk diduga mengalami rem blong. Akibatnya, lima orang luka-luka.
Beragam penyebab pun dikatakan banyak pihak. Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Tomex Kurniawan mengatakan, di daerah itu dari arah Bandung menuju Jakarta terdapat turunan dan belokan berbentuk huruf S. Kondisi itu sangat berbahaya bagi pengemudi minim pengalaman atau mengantuk.
Bus Sejahtera jurusan Bandung-Bekasi ringsek setelah terguling di Kilometer 93+800 Tol Purbaleunyi di Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (20/3/2012) pagi. Sebanyak 16 penumpang dan sopir terluka akibat kejadian itu dan harus dirawat di rumah sakit. Sopir bus kehilangan kendali saat berusaha menghindari benturan dengan bus lain di depannya.
Melaju meski tak digas
Ahmad Sihabudin (29), pengemudi Cititrans, travel yang melayani jasa angkutan Bandung–Jakarta pulang pergi, mengatakan, mulai dari Km 93, jalur menikung miring dan menurun. Saat memasuki turunan di Km 91, laju kendaraan umumnya akan semakin cepat meski pedal gas tak diinjak.
”Dalam posisi itu, truk besar memiliki kerawanan tinggi. Meski kendaraan sudah direm, mungkin saja masih melaju karena dorongan tekanan muatannya,” kata Ahmad.
Asep Rumadi (51) pengemudi truk yang kerap melintas Purbaleunyi, punya versi lain. Ia mengatakan, Km 90 hingga Km 100 di Purwakarta bisa dibilang sebagai titik tengah di jalan tol sepanjang 58,5 kilometer itu. Cikampek dimulai dari Km 67 dan Padalarang di Km 121.
Apabila sopir datang dari Jakarta dan hendak ke Bandung, secara psikologis dia merasa sudah hampir sampai tujuan. Saat itulah pengemudi menjadi tergesa-gesa dan lengah.
Ditambah kenyataan baru saja melewati kawasan Bekasi, Cikarang, Karawang yang selalu menjadi langganan macet. Ditambah dengan rute Jalan Tol Purbaleunyi yang lebih banyak lurus, membuat pengemudi jadi cenderung memacu mobilnya lebih kencang.
”Saya pun kerap merasakan seperti itu. Namun, saya terbantu dengan banyak mitos di sekitar kawasan ini. Mitos itu membuat saya lebih berhati-hati,” ujar Asep.
Mitos yang menyelamatkan
Asep mengatakan, di antara sopir ada kebiasaan yang berkembang untuk membunyikan klakson tiga kali di sekitar area Gunung Hejo, jika mereka tengah berkendara lewat tengah malam. ”Percaya tidak percaya, ya, kami ikuti saja kebiasaan itu. Ya, minta izin lewat sama yang punya tempat,” ujar Asep.
Bagusnya, menurut Asep, dirinya jadi lebih berkonsentrasi ketika melewati area itu. Selama 15 tahun menjadi sopir truk ekspedisi Jakarta-Bandung, Asep belum pernah mengalami peristiwa buruk.
Euis Saedah (56), pemilik warung di tempat istirahat Km 88 Jalan Tol Purbaleunyi, menjelaskan, berbagai kecelakaan yang terjadi di sekitar Km 90-100 itu tidak lepas dari cerita mistis Gunung Hejo. Gunung Hejo adalah sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 50 meter yang terletak di pinggir jalan tol di Km 96. Jika pengendara datang dari arah Bandung menuju Jakarta, bukit ini berada di sebelah kiri jalan.
Pada bukit yang subur ini tumbuh pohon pinus, cemara, dan sebagian tanaman teh. Terdapat anak tangga dari jalan tol untuk menuju ke atas bukit. ”Kecelakaan-kecelakaan itu mungkin karena jalan tol itu dibuat terlalu dekat dengan Gunung Hejo. ”Penghuninya mungkin terganggu,” ujar Euis.
Asep mengatakan, di antara sopir ada kebiasaan yang berkembang untuk membunyikan klakson tiga kali di sekitar area Gunung Hejo.
Warga Kampung Citapen, Desa Sukajaya, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, ini bercerita, anaknya yang sopir truk ekspedisi pernah melihat penampakan. Saat itu anaknya tengah melaju dengan kecepatan tinggi di sekitar kawasan itu pada pukul dua dini hari. Tiba-tiba ia melihat penampakan wanita berpakaian putih sedang telentang di kap mesin mobilnya.
”Intinya semua mitos ini membuat semua pengendara waspada. Benar atau tidaknya belum ada yang membuktikan pasti. Namun, setidaknya hal itu bisa jadi alarm bagi semua orang saat melintas di sana,” katanya.
Bahaya Puncak
Tak hanya di Purbaleunyi, hal serupa juga terjadi di Jalan Raya Puncak, Kabupaten Cianjur. Jalur itu tak berhenti memakan nyawa. Kecantikan kawasan itu sungguh berbahaya jika pengendara tak waspada.
Jarum jam di ruang perawatan Anggrek di Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan, Cianjur, Jawa Barat, menunjukan pukul 21.00 pada Senin (1/5). Namun, Iim Ibrahim (43) masih kesulitan memejamkan matanya. Sembari meringis menahan sakit, Iim gelisah.
Ia kerap mendadak bangun dari tempat tidurnya, memegang pelipis mata kiri yang masih dibalut perban. Iim tak banyak bicara. Pandangannya lebih banyak kosong menyimpan trauma akibat kecelakaan lalu lintas sekitar 12 jam sebelumnya.
“Mudah-mudahan Iim cepat sembuh karena dia satu-satunya penopang ekonomi keluarga,” kata Ujang (81), mertua Iim, yang setia memijat punggung Iim setiap terbangun dari tidurnya.
Peristiwa naas itu terjadi di Jalan Raya Puncak, sekitar Ciloto, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Diduga akibat rem blong, bus pariwisata Kitrans hilang kendali saat melaju di jalan curam.
Tubuh besar bus yang dikemudikan Suyono lantas keluar jalur, menabrak tiga mobil, satu angkutan kota jurusan Cipanas-Puncak, lima sepeda motor, serta warung kopi. Sebanyak 12 orang tewas, 42 luka ringan, dan enam luka berat. Iim, pengemudi angkot, selamat tapi harus dirawat intensif. Selain pelipis yang sobek, lebam memenuhi tubuhnya. Jarum infus menempel di lengan kirinya.
Didin Sutisna (58), sesama pengemudi angkot Cipanas - Puncak, tak menyangka rekannya jadi korban keganasan jalan Raya Puncak. Selama 12 tahun bekerja melintasi jalur itu, kejadian itu adalah yang pertama kali terjadi. Bila sebelumnya melihat kecelakaan sebagai hal biasa di Jalan Raya Puncak, ia kini jeri saat melihat Iim jadi korban. Demi penghasilan Rp 30.000 – Rp 50.000 per hari, nyawa bisa saja tercabut kapan saja. “Ada rasa takut kembali bekerja di sana. Namun, seperti Iim, jadi supir angkot adalah satu – satunya sumber mata pencaharian saya,” kata Didin.
Kearifan Lokal
Sejak lama, Ciloto dikenal sebagai daerah bahaya. Kontur jalan naik turun dan penuh kelokan tajam. Tidak hanya itu, berada sekitar 20 km dari pusat Kota Cianjur dan sekitar 40 km dari pusat Kota Bogor, kawasan ini dikenal sebagai jalur lelah. Pengemudi yang belum terbiasa melintasi atau kendaraan tak laik jalan, rentan jadi korban di Ciloto.
Banyaknya perangkat mitigasi kecelakaan yang dipasang pemerintah juga menegaskan hal itu. Mulai dari jalur kejut, garis marka yang dibuat tak putus – putus, hingga tugu sepeda motor bekas korban kecelakaan, diharapkan jadi alarm bahaya.
Seperti tidak cukup, kearifan lokal masyarakat setempat juga menjadi pengingat bagi siapa saja. Dengan mimik muka serius dan setengah berbisik, Yuswati (41), warga Ciloto mengatakan, dipercaya ada sosok penggoda di pinggir jalan yang merusak konsentrasi pengemudi hingga keberadaan ular besar. Tak pernah ada yang bisa membuktikannya.
Namun, masyarakat yakin kearifan lokal itu dibuat agar mereka tetap berhati – hati di jalan. “Pelajarannya, tetap fokus di jalan curam. Tekan klakson kalau ragu hendak melintasi kelokan tajam,” kata Yuswati.
Akan tetapi, malang tak bisa ditolak. Berada dekat Taman Bunga Nusantara, Kebun Raya Cibodas, hingga Puncak Pass, kawasan ini menjadi magnet manusia dari berbagai daerah. Bila dulu menjadi kawasan elite orang kaya Belanda untuk melepas penat, kini Cipanas jadi daerah wisata berbiaya murah bagi siapa saja. Ironisnya, keceriaan wisata itu kerap melupakan pentingnya faktor keselamatan melintas di jalan ini.
Bukti yang ditemukan polisi saat memeriksa bangkai bus Kitrans memperlihatkan hal itu. Bus keluaran tahun 1995 itu tak laik jalan. Cakram roda depan dan fungsi otomatis penguncian ban tak berfungsi. Fatalnya, semuanya diduga tak terdeteksi. Kepala Satuan Pelaksana Pengujian Kendaraan Bermotor Pulogadung, Tiyana Brotoadi membenarkan bus naas itu tidak pernah melakukan uji kendaraan.
“Setelah kami cek di basis data, tidak ada data bus Kitrans B 7057 BGA. Diduga, buku kelayakan uji kendaraannya palsu,” kata Tiyana.
Belajar dari kasus ini, Kepala Sub Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas di Polda Jabar Ajun Komisaris Besar Matrius mengingatkan Kementerian Perhubungan meningkatkan pengawasan terhadap para perusahaan angkutan umum. Mereka harus mengutamakan faktor keselamatan, seperti kelaikan kendaraan dan keahlian pengemudinya, ketimbang sekedar mencari uang.
“Kami akan sering merazia bus-bus atau angkutan penumpang, terutama di hari libur panjang. Daerah dengan kondisi geografis dan banyak dilintasi banyak wisatawan, seperti Ciloto akan jadi prioritas. Sangat memprihatinkan kalau kejadian ini terus terjadi,” katanya.
Matrius tidak asal bicara. Setidaknya dalam sebulan terakhir, jalanan di Jabar rentan jadi neraka. Kegembiraan libur panjang mudah berubah jadi duka. Data Polda Jabar menyebutkan dalam periode 26 Maret – 30 April 2017, jumlah kecelakaan lalu lintas mencapai 214 kasus. Korbannya, 101 orang meninggal dunia. Dua kejadian di Jalan Raya Puncak, Tanjakan Selarong dan Ciloto, memicu korban tewas terbanyak, total 16 orang.
Terus Terjadi
Akan tetapi, saat Iim masih terbaring lemas tak berdaya di Rumah Sakit Cimacan, kecelakaan lalu lintas terus terjadi di tempat yang sama. Truk bernomor polisi BG 8759 TB menabrak tebing Jalan Raya Puncak di Kampung Pengkolan, Selasa (2/5), pukul 05.00. Salah seorang awak truk, Abdal BN (48), warga Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, tewas di tempat kejadian.
Yono (45), warga Ciloto, mengatakan mobil kehilangan kendali saat melintasi jalanan menurun lalu menikung di sekitar Kampung Pengkolan. Beruntung, lalu lintas di sekitar lokasi kejadian dalam keadaan sepi sehingga tidak memicu kecelakaan lainnya.
Menurut Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Barat Yusri Yunus, bus berangkat dari Palembang, Sumsel, dikemudikan Sadam Husein (24), warga Kabupaten Ogan Ilir, dari Bogor menuju Cianjur. Namun, diduga akibat kelelahan dan baru pertama kali melintasi jalur ini, pengemudinya kehilangan konsentrasi hingga akhirnya menabrak tebing di pinggir jalan.
Entah sampai kapan kelalaian manusia terus akan mencabut nyawa di Jalan Raya Puncak. Tak pernah belajar dari kejadian yang ada hanya akan terus menambah duka.