AKHIR pekan pada 20 Mei lalu, di waktu hampir bersamaan, televisi-televisi di Timur Tengah menayangkan dua gambar ”tarian dan pesta” di dua kota berbeda. Satu gambar memperlihatkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menari ”tarian pedang” bersama kumpulan pria dalam upacara penyambutan di Riyadh, Arab Saudi. Gambar lain menayangkan anak-anak muda Iran—laki-laki dan perempuan—menari-nari di jalan-jalan kota Teheran untuk merayakan terpilihnya kembali Presiden Hassan Rouhani.
Dalam kunjungan dua hari di Riyadh, lawatan kenegaraan pertamanya sejak dilantik menjadi presiden AS, Trump juga tampil pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab, Islam, Amerika. KTT ini dihadiri lebih dari 50 pemimpin negara Islam dan negara berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Presiden Joko Widodo, tetapi minus Iran. Ia mendapat sambutan hangat, termasuk memperoleh medali kehormatan dari Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud.
Di KTT tersebut, Trump menyerukan agar negara-negara Muslim mengisolasi Iran. ”Sampai rezim Iran mau menjadi partner untuk perdamaian, semua negara yang mempunyai kesadaran itu harus bekerja sama mengisolasinya (Iran),” kata Trump, merujuk pada keterlibatan Iran dalam konflik di Suriah, Irak, dan Yaman.
Kental sekali nuansa permusuhan terhadap Iran di KTT itu. Raja Salman pun tak ketinggalan menyebut Iran sebagai pendukung terorisme. Karena itu, tidak salah jika dipahami jargon ”perang melawan terorisme” dalam Deklarasi Riyadh yang dihasilkan di KTT tersebut sebenarnya juga dimaksudkan ”untuk mengganyang Iran”.
Retorika anti-Iran yang disuarakan Trump di Riyadh terasa bak angin surga bagi Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya. Mereka menunggu hal itu cukup lama setelah AS pada era Barack Obama bersikap lunak—bahkan menjalin perundingan langsung untuk pertama kali sejak Revolusi 1979—terhadap Iran.
Bagi negara-negara mitra AS di kawasan Teluk, langkah-langkah Washington di kawasan selalu dilihat dalam kacamata konflik regional, termasuk rivalitas mereka dengan Iran. Kontrak penjualan senjata AS ke Arab Saudi senilai 110 miliar dollar AS menyempurnakan lagu merdu yang didendangkan Trump di KTT tersebut.
Di sisi lain, langkah Trump juga mempertegas pergeseran sikap Washington terhadap Teheran, dengan mencampakkan kebijakan Obama dalam upaya menjaga keseimbangan kawasan yang dibangun dengan hati-hati. ”Kita kembali ke era pra-Obama,” kata Jean-Marc Rickli, Kepala Global Risk and Resilience pada Geneva Centre for Security Policy, seperti dikutip Reuters.
”Di bawah Obama, Anda bisa melihat upaya AS menjadi penyeimbang eksternal di kawasan. Kini penyeimbang di kawasan telah pergi. Sang penyeimbang itu telah memilih kampnya.”
Sentilan Rouhani
Hampir bersamaan dengan kunjungan Trump ke Riyadh, di Iran berlangsung pesta demokrasi. Pemungutan suara 19 Mei menghasilkan terpilihnya kembali Hassan Rouhani sebagai Presiden Iran. Rouhani, kubu reformis, mengalahkan calon kubu konservatif, Ebrahim Raisi, dengan perolehan suara 57 persen (23 juta suara) dari 41 juta pemilih. Raisi mendapatkan 38,5 persen (15,7 juta suara).
Jutaan warga Iran pendukung Rouhani turun ke jalan-jalan, berpesta kemenangan hingga larut malam. ”Trump tiba di kawasan pada saat ia melihat 45 juta rakyat Iran berpartisipasi dalam pemilu. Lalu, ia berkunjung ke negara yang saya ragu warganya tahu definisi pemilu. Kasihan warga mereka belum pernah melihat kotak suara,” kata Rouhani dalam jumpa pers, 22 Mei, yang dikutip The New York Times.
Rouhani sedang menyentil Arab Saudi, sekaligus Trump. Di Teheran, kontrak penjualan senjata AS-Arab Saudi senilai 110 miliar dollar AS juga menjadi ledekan. Senada yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, Rouhani mengangkat kembali Serangan 11 September yang sedikitnya melibatkan 15 warga Arab Saudi.
”Saya pikir, rakyat Amerika tidak siap untuk memperdagangkan nyawa mereka yang hilang dalam 11 September dengan miliaran dollar yang diperoleh dari penjualan senjata,” sentil Rouhani.
Ia lalu menyimpulkan pertemuan Trump di Arab Saudi, termasuk dalam KTT di Riyadh, tak lebih hanyalah ”pertunjukan yang tidak punya nilai politis dan praktis apa pun”.
Dalam periode pemerintahannya empat tahun berikutnya, Rouhani bakal lebih menoleh ke Eropa. Gayung pun bersambut, diawali dari Perancis. Tak lama setelah Rouhani dinyatakan menang, presiden baru Perancis, Emmanuel Macron, menyampaikan ucapan selamat kepadanya.
Terkait dengan seruan Trump untuk mengisolasi Iran, Paris telah memiliki sikap tegas. ”(Menlu) Jean-Yves Le Drian akan bekerja mengembangkan dialog politik yang seharusnya menjadi pendekatan konstruktif dalam penyelesaian krisis regional,” demikian pernyataan Kemlu Perancis.
Israel tertawa
Dari Riyadh, Trump langsung terbang ke Tel Aviv, Israel. Ini penerbangan langsung dari Arab Saudi ke Israel untuk pertama kali. Di hadapan Presiden Israel Reuven Rivlin, ia bercerita tentang kunjungan ke Arab Saudi dan hasil pertemuannya dengan para pemimpin Arab. ”Apa yang terjadi dengan Iran telah menyatukan banyak bagian di Timur Tengah dengan Israel,” ujar Trump.
Dengan kata lain, ia seperti ingin menegaskan kesamaan kepentingan negara-negara Arab dan Israel dalam melawan Iran. Selama di Israel, Trump juga berkali-kali melontarkan kecaman terhadap Teheran. Lagu yang juga dirindukan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang—sama seperti para pemimpin negara-negara Teluk—frustrasi dengan kepemimpinan Obama.
Pertanyaannya, apakah langkah terbaru Trump dalam turnya ke Timur Tengah baru-baru ini akan memberikan celah bagi perdamaian di kawasan? Mantan Sekjen PBB Kofi Annan melihat hal itu bak jauh panggang dari api. Dalam wawancara dengan Associated Press, ia menyatakan perlunya melibatkan Iran dalam proses perdamaian Timur Tengah. ”Iran adalah bagian dari solusi. Kita tidak bisa menafikan itu,” katanya.
”Yang dibutuhkan, langkah-langkah yang meredakan ketegangan dan perpecahan, bukan langkah-langkah yang memperdalam perpecahan,” ujar Annan.
Kunjungan Trump ke Timur Tengah jelas terlihat tidak membawa pesan itu, melainkan lebih kental dengan nuansa permusuhannya. Situasi yang membuat Israel tertawa.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.