Tentara Filipina dilaporkan berhasil menekan posisi kelompok Maute dan merebut kembali sebuah kawasan di kota Marawi, Pulau Mindanao, Filipina selatan, Senin (29/5). Sejak pekan lalu, militer Filipina mengerahkan sebagian kekuatan untuk merebut Marawi dari kontrol kelompok Maute, yang menyatakan berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Helikopter yang dilengkapi dengan peluncur roket terus menghantam posisi Maute. Gempuran itu membuat Maute kehilangan banyak kontrol atas sejumlah distrik. Menurut militer Filipina, Maute masih mengontrol sembilan dari 96 distrik di Marawi, 800 kilometer selatan Manila.
Meski demikian, keberadaan anggota kelompok Maute harus diwaspadai. Peneliti senior Wahid Institute, Ahmad Suaedy, menegaskan, Pemerintah Indonesia harus serius memperkuat operasi pengamanan di perbatasan laut. Ia menengarai, sejumlah anggota Maute berpotensi melarikan diri dari operasi militer di Filipina dan menuju wilayah Indonesia, terutama ke Sulawesi dan Kalimantan.
Mereka mengincar Indonesia karena pengamanan perbatasan laut wilayah itu dinilai cenderung lemah. Mereka juga memanfaatkan kedekatan wilayah dan sejarah sosial-ekonomi yang dijalin melalui jaringan perdagangan.
Dihubungi terpisah, Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Bhayangkara Suhardi juga memiliki dugaan serupa. Kemungkinan anggota kelompok Maute menyebar ke Indonesia harus diwaspadai. ”Kemungkinan mereka berhubungan dengan kelompok BIFF yang merupakan sempalan kelompok MILF,” kata Suhardi, merujuk pada kelompok Pejuang Kebebasan Islam Bangsamoro (BIFF), yang memisahkan diri dari Front Pembebasan Islam Moro (MILF).
Divergensi NIIS
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto juga menegaskan perlunya mewaspadai penyebaran NIIS yang mencoba membangun basis di Marawi. Ia juga mengingatkan adanya 500-an WNI yang bergabung dengan NIIS di Suriah dan kini keberadaan mereka tidak diketahui. ”NIIS melakukan divergensi, yakni menyebarkan ideologi ke seluruh dunia, termasuk Asia Tenggara, seperti terjadi di Filipina,” katanya.
Wiranto mengatakan, aktivis NIIS datang dari sejumlah negara sesuai strategi konvergensi mereka pada awal gerakan dengan mendatangkan orang yang datang dari beberapa negara lalu disebarkan kembali dengan konsep divergensi.
Militer Filipina mengatakan, sejumlah kombatan asing turut bertempur untuk Maute. Mereka diduga berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara lain. Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Eduardo Ano, Kamis pekan lalu, menyebutkan, tiga warga Indonesia termasuk dalam korban tewas dari kelompok loyalis NIIS pada pertempuran di Mindanao.
Seperti dikutip kantor berita AFP, Ano menambahkan, para petempur asing di kawasan itu merupakan bekas anggota kelompok Jemaah Islamiyah, yang melancarkan serangan bom Bali tahun 2002.
Menurut data pemerintah hingga kemarin, jumlah korban tewas dalam pertempuran di Marawi mencapai 105 orang, 61 di antaranya adalah anggota Maute, 20 tentara, dan 24 warga sipil. Di antara korban sipil terdapat anak-anak dan perempuan.
Untuk mengantisipasi pergerakan anggota kelompok Maute, tentara Filipina telah menutup Iligan, kota yang berjarak 38 kilometer dari Marawi. Kota itu mulai dipenuhi pengungsi dari Marawi dan otoritas setempat mengkhawatirkan anggota Maute menyelinap masuk dengan menyamar sebagai warga sipil.
Warga Indonesia
Terkait krisis di Marawi, Kementerian Luar Negeri Indonesia membenarkan, ada sejumlah warga Indonesia tengah berada di Marawi. Mereka merupakan anggota Jamaah Tabligh yang tengah melakukan khuruj—berdakwah selama 40 hari—di Filipina.
Menurut Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Lalu M Iqbal, keberadaan mereka secara resmi telah diketahui otoritas Filipina. Mereka berjumlah 16 orang, terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama sebanyak 10 orang dan kelompok kedua sebanyak 6 orang.
Kemenlu juga membenarkan bahwa mereka mendapatkan informasi dari Angkatan Bersenjata Filipina tentang adanya WNI yang menjadi korban. ”Namun, kami belum bisa memverifikasi informasi tersebut,” kata Iqbal.
Wiranto menerangkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah maksimal memantau kemungkinan keterlibatan WNI di Filipina selatan. Saat ini, Pemerintah Indonesia fokus pada upaya membendung jangan sampai upaya membangun basis NIIS melebar ke Indonesia.
Ahmad Suaedy menyarankan, Pemerintah Indonesia menawarkan bantuan untuk menyelesaikan konflik di Marawi. Hal itu penting dilakukan karena banyak komunitas Muslim tradisional di Filipina selatan tidak terkait kelompok-kelompok radikal.
”Pemerintah harus mengaktifkan kembali komunikasi kebudayaan dengan komunitas Muslim di Filipina selatan. Upaya itu dapat menjadi ikhtiar agar komunitas Muslim di sana lebih maju dan diperhatikan sehingga kesan radikalisme dan separatis kepada Muslim di Filipina bisa dikikis,” katanya. (SAN/ONG/AP/AFP/REUTERS/JOS)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.