Amerika Janji Tak Akan Tinggalkan Sekutunya di Asia Pasifik
Oleh
Edna Caroline Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orientasi keamanan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik sama sekali tak berubah. Meskipun sejumlah negara di kawasan ini, termasuk sekutu dekat Amerika Serikat, seperti Jepang, khawatir orientasi negara adidaya tersebut bakal berubah setelah Presiden Donald Trump lebih memilih kebijakan yang lebih memprioritaskan kepentingan dalam negeri dibandingkan urusan luar negeri.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) James Mattis saat berbicara pada forum Shangri-La Dialogue di Singapura, Sabtu (3/6), menyatakan, orientasi keamanan AS di kawasan Asia Pasifik tidak berubah. Mattis pun mencatat tiga ancaman di kawasan Asia Pasifik yang saat ini mendapat perhatian utama AS.
”Korea Utara adalah ancaman yang paling nyata dan aktual,” kata James Mattis dalam pidatonya sebagaimana dilaporkan wartawan harian Kompas,Edna Caroline Pattisina, dari Singapura. Mattis menggarisbawahi ancaman nuklir dan rudal balistik yang masih terus dimunculkan Korea Utara lepas daripada tekanan-tekanan yang diberikan dunia internasional.
Ancaman kedua berupa ancaman tradisional dalam maritim. Mattis mengatakan, pertumbuhan ekonomi China didukung AS. Akan tetapi, ada beberapa tindakan China yang tidak bisa diterima, seperti pulau buatan di Laut China Selatan.
Mattis juga menyinggung sejumlah ancaman di kawasan Asia Pasifik yang dapat hadir dalam bentuk ancaman non-tradisional dari kelompok-kelompok ekstrem. ”Teroris menjadikan permukiman masyarakat sebagai tempat bertempur,” katanya.
Dia menyinggung serangan kelompok teroris Maute yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Marawi, Filipina Selatan. Mattis juga menyinggung bom di Jakarta baru-baru ini.
Mattis mengatakan, AS tetap setia kepada sekutu-sekutu tradisionalnya, seperti Jepang, Singapura, dan Australia di Asia Pasifik. AS juga terus meningkatkan hubungan dengan ASEAN demi mengimbangi kekuatan China di kawasan ini.
Shangri-La Dialogue adalah pertemuan rutin tahunan antarpejabat tinggi di bidang pertahanan dari negara-negara Asia. Shangri-La Dialogue juga diikuti lembaga think tank, sejumlah praktisi, dan akademisi di bidang keamanan dari sejumlah negara. Acara yang diadakan lembaga kajian Inggris, International Institute for Strategic Studies (IISS), tahun ini digelar pada 2-4 Juni 2017 di Singapura.
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menjadi pembicara dalam acara pembukaan. Mattis menjadi salah satu pembicara utama yang paling ditunggu dalam forum ini mengingat rasa ketidakpastian yang dirasakan negara-negara di Asia Pasifik sejak terpilihnya Presiden Donald Trump.
Sementara Malcolm menyebut China akan diuntungkan sekiranya menghormati kedaulatan negara-negara di kawasan. Hal ini akan membangun saling percaya sehingga membangun stabilitas kawasan.
Malcolm juga menggarisbawahi karena teroris adalah kejahatan transnasional, demikian juga upaya untuk mengatasinya. ”Kita memiliki kepentingan untuk mengalahkan gerakan teroris di mana pun mereka berada,” kata Malcolm.
Namun sayangnya, tahun ini Shangri-La Dialogue tidak dihadiri pejabat tertinggi militer China, yaitu Panglima People Liberation Army (PLA) atau menteri pertahanannya.
Beberapa materi pembahasan adalah pentingnya tatanan dunia berdasarkan hukum dan bahaya nuklir di Asia Pasifik terkait dengan China. Alasan China adalah karena ada reformasi dalam PLA yang membuat mereka absen.
Sementara itu, terkait isu keamanan Laut China Selatan yang menjadi bahasan hangat di Shangri-La Dialogue, Wakil Sekjen NATO untuk Politik dan Keamanan Alejandro Alvargonzález sempat menanyakan bagaimana Indonesia dan negara ASEAN berkomunikasi dengan China.
Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu mengatakan, Indonesia tidak ingin ada konflik di Laut China Selatan. ”Buat kami, soal Laut China Selatan, panglima tertinggi adalah hukum,” kata Ryamizard.
Buat kami, soal Laut China Selatan, panglima tertinggi adalah hukum.
Posisi dan peran Indonesia dalam isu keamanan Asia Pasifik menjadi perhatian besar dalam Shangri-La Dialogue. Panglima Komando Pasifik AS Laksamana Harry B Harris Jr sempat menanyakan keingintahuan AS dalam rencana kerja sama trilateral di Laut Sulu antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Terlebih dengan meningkatnya aksi kelompok yang terafiliasi dengan NIIS di Marawi, Filipina Selatan.
”Kami ingin masukan dari Indonesia, bagaimana AS bisa berperan dalam kontraterorisme di kawasan. Saya dengar trilateral itu juga akan segera diumumkan,” kata Harry.