Sutradara Mouly Surya tentang ”Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak”
PENGANTAR:
Wartawan Kompas, Ambrosius Harto M, mewawancarai Mouly Surya, sutradara Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak di Paviliun Indonesia, Village International, Festival Film Internasional Cannes 2017 di Cannes, Perancis.
Bagaimana proses pembuatan film Marlina?
Awalnya saat saya jadi juri Festival Film Indonesia 2014, saya sedang mau nonton film untuk penjurian di bioskop. Kebetulan ada yang panggil saya dan ternyata Garin Nugroho. Kemudian kami duduk bareng dan dia bercerita tentang idenya. Waktu itu, judulnya belum seperti saat ini, tetapi Perempuan. Kata dia, ini soal perempuan Sumba dan dia ingin sutradara perempuan yang membuatnya. Dan dia enggak tahu, tetapi rasanya pasti berbeda jika cerita ini dibuat oleh saya biar lebih menarik.
Boleh Mas, saya mengiyakan. Sehari kemudian, Garin mengirim lima halaman story outline treatment. Aku tunjukin ke Rama Adi (suami). Rama bilang cerita itu bagus sekali dan harus menjadi film ketiga kami. Sebenarnya, yang pertama kali jatuh cinta dengan cerita Marlina itu Rama. Bukan ceritanya tak bagus, melainkan itu belum punya saya. Saya masih memikirkan, kalau ini saya yang bikin, perspektifnya dari sebelah mana. Bagaimana saya membuatnya sehingga ini menjadi film Mouly Surya. Gimana caranya, I make the film mine. Dan ini proses yang amat seru sehingga saya mau karena di Fiksi, film pertama saya, ide ceritanya adalah dari saya, tetapi dalam pengembangan, skenario yang menulis adalah Joko Anwar. Saya bikin sampai draf sekian, kemudian oleh Joko Anwar dirombak dengan struktur cerita baru dan saya melalui proses yang sama. Tadinya, film punya saya menjadi punyanya Joko Anwar dan saya ambil lagi menjadi punyanya saya.
Rama dan Fauzan Zidni mau memproduseri film ini. Oke kami ambil idenya dari Garin. Saya dan Rama kemudian menulis skenario. Selanjutnya, kami mengikuti beberapa project market di Tokyo. Saya alumnus tahun 2010 dan di Tokyo pendanaan dari project market cuma bisa diambil oleh alumnus. Dana diambil, ya, untuk awal dan habis itu masuk project market di Busan. Dari sana ketemu Isabelle Glachant (co-producer) tetapi masih plotting dan ngobrol ringan soal film ini. Kami juga terus membangun struktur film ini sekaligus mendekati Marsha Timothy dan mencari pemain. Dengan Marsha, sebenarnya dia sudah baca sinopsis versi awal dari Garin dan kami terus komunikasi sampai skenario terus dikembangkan.
Setelah project market di Asia, kami datang ke Cannes untuk mencari dukungan. Saya sudah dua kali mencoba ke sini dan ditolak, tetapi yang ketiga ternyata masuk dan lolos. Setelah itu, kami memulai kerja sama resmi dengan Isabelle untuk juga mencoba mencari dukungan pendanaan film-film dunia, seperti Cinema Dumont. Kami pada awalnya pesimistis proyek film ini akan diterima sebab ini film ketiga di mana saya harus bersaing dengan nama-nama besar yang jauh berpengalaman dari saya atau bahkan sudah pernah masuk Cannes. Yang mengejutkan, kami ternyata mendapat dukungan dan ini menjadi kejutan yang amat indah.
Dukungan dari Cinema Dumont itu didapat meski mereka menilai berdasarkan skenario. Belum ada gambar, belum ada apa-apa. Cuma semua berdasarkan tulisan. Skenario Marlina ternyata disukai dan ini membuat kami yakin untuk terus. Setelah itu, kami shooting di Sumba dan di Jakarta. Kemudian, film memasuki pengeditan. Saat kami rasa film sudah enak ditonton, ya, kami daftarkan ke Cannes dan ternyata lolos untuk diputar di Directors’ Fortnight.
Apa pesan besar yang ingin disampaikan dan kenapa ide Garin Nugroho tentang perempuan Sumba amat penting?
Karena, Indonesia amat patriarki. Memang di beberapa tempat di Indonesia ada yang amat kental, tetapi ada juga yang tidak patriarki. Di Sumba menarik karena film ini bicara soal survival seorang perempuan di tempat yang biasanya lelaki benar-benar menjadi pelindung. Namun, dalam karakter Marlina, pelindung-pelindung itu tidak ada. Jadi, Marlina harus bertahan hidup sendiri melawan musibah yang dialami. Buat saya ini amat menarik melihat daya tahan hidup perempuan yang tidak beredukasi tinggi tetapi semangat bertahan hidup seorang manusia. Mari bicara dan melihat peran lelaki dan perempuan. Ketika masih kecil, saya mengalami, laki-laki diberi mainan biru dan perempuan diberi mainan yang warna-warna muda. Zaman sekolah kami yang perempuan cuma bisa ikut tata boga dan tata busana. Tidak bisa ikut mengetik dan komputer. Jadi, ada budaya yang memisahkan peran perempuan harus di dapur dan lelaki di luar. Saya ingin membahas ini meski dalam situasi yang realiable. Saya enggak berusaha melokalkan ini. Peran perempuan yang dikotak-kotakkan memang masih ada. Di film ini bisa dilihat bagaimana perempuan bergelut dengan perannya sebagai perempuan.
Mengapa memilih Marsha Timothy?
Sebenarnya, itu idenya Rama Adi (suami dan produser). Akhirnya, ketemu dan waktu itu cuma ngobrol. Kami pernah kerja dengan Caca (Marsha Timothy) waktu saya masih menjadi asisten sutradara. Itu lama banget, sudah 10 tahun atau lebih. Caca punya look yang menarik. Kami ingin casting seseorang yang punya tampilan tidak melulu harus otentik Sumba yang lebih keras. Memang enggak bisa sembarangan. Menurut saya, karakter Caca mukanya agak unik dan bisa di-blend dalam karakter wajah orang Sumba. Kharisma dan auranya dia juga pas. Untuk Marlina, jika saya memilih yang terlalu kuat atau terlalu tajam, mungkin penonton akan susah.
Proses casting enggak pernah benar-benar casting. Ngobrol dan kami melihat seberapa jauh dia menginginkan peran ini. Dan Caca kami lihat begitu menginginkan peran ini. Seberapa serius dia menginginkan peran ini. Yang penting itu. Seberapa dia ingin terlibat dalam proyek ini. Marlina akan di depan. Ini perlu sesuatu keseriusan dari seorang aktris dan kedewasaan.
Berapa lama riset?
Dari 2014 bolak-balik baca. Memang lebih banyak membaca dan ngobrol dengan seorang pemuka agama di Sumba. Kami ngobrol dengan dia tentang kultur Sumba. Dalam ngobrol kami pun mulai memilih elemen-elemen mana yang cocok untuk film karena film ini fiksi. Elemen apa yang bisa membantu narasi ceritanya. Mana yang tak usah dimasukkan. Ini bukan film dokumenter membahas antropologi Sumba tetapi fiksi.
Apakah Marlina disiapkan untuk masuk festival bergengsi terutama Cannes?
Ehm, bagaimana, ya? Kalau saya bikin film buat festival tetapi festivalnya enggak bisa mengangkat nama saya bagaimana? Kan, enggak bisa juga saya bilang begitu. Apakah kami berstrategi menyiapkan filmya sehingga bisa memasuki standar yang kira-kira bisa masuk ke festival besar, ya, enggak harus juga. Kami punya co-producer internasonal. Bagaimanapun itu harus ada dalam agenda kami. Ada strategi, buat apa punya co-producer international kalau nanti film cuma beredar di Indonesia. Kami bicara soal bagaimana film ini rilis di Perancis dan negara lain di dunia, misalnya di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand. Kami mencoba distribusi lebih luas. Kata kunci bukan untuk festival besar. Festival besar adalah salah satu langkah menuju ke distribusi yang lebih luas.
Dengan distribusi lebih luas apakah Anda ingin pesan dapat tersampaikan lebih luas atau ingin mendapat aspek komersial?
Kami tidak pernah menjanjikan muluk-muluk kalau film ini bakal meledak. Kami juga tidak menjanjikan film ini bisa menembus Cannes. Kami berstrategi distribusi lebih luas, ya, seperti strategi mendapatkan sejuta penonton di Indonesia misalnya. Kurang lebih sama, tetapi arahnya berbeda. Ya, memang ada proses gambling. Apakah distribusi internasional bisa mendatangkan profit atau komersial? Yang jelas, dunia film adalah bisnis. Tetapi, bagi saya sebagai seorang sutradara, film bukan sekadar produk bisnis, melainkan juga produk budaya dan kami bisa mencatat apa yang terjadi di kultur kita, kultur masyarakat kita dalam sebuah film. Perspektif sutradara pada zaman itu tentang perempuan. Itu catatan yang penting sekali dalam produk budaya seperti ini.
Ketika film ini punya distribusi lebih luas, Indonesia sekaligus kulturnya akan lebih dikenal juga. Sutradara Indonesia bisa lebih dikenal dan film-film Indonesia lainnya bisa memanfaatkan momentum itu. Risiko pasti ada, misalnya engggak masuk festival bisa terjadi. Masuk festival bahkan bergengsi tetapi tidak dapat distribusi bisa juga terjadi. Tetapi, ya, risiko tadi harus saya lalui sebagai pembuat film. Yang jelas, kami ingin membuat dan percaya dengan film ini harus dibikin, harus ditonton orang. Dengan itu untuk menunjukkan cap kita di dunia ini.
Kenapa saya tidak menempuh jalur distribusi Indonesia terlebih dahulu? Saya sudah mencoba di film pertama dan cukup menantang. Bukan saya yang memilih, melainkan film itu sendiri yang membuka jalannya. Kalau misalnya ada 5 juta orang yang menonton Marlina, wow saya sih alhamdulillah. Namun, bukan saya enggak mau. Saya dituntun ke arah berbeda bukan berarti kerena distribusi luar lebih baik daripada suatu film laku keras di Indonesia.
Apa berkah yang bisa diambil dari pemutaran Marlina di Cannes serta apa pentingnya Directors’ Fortnight dibandingkan dengan kategori lain di Cannes?
Berkah yang sangat baik. Kami berada di awal langkah. Kami berada di aksi belum reaksi. Pernah terjadi dengan dunia film Iran di Cannes. Ada yang sutradara muncul, bagus, dan langsung membuka lancar sutradara Iran lainnya masuk ke Cannes dan lebih dikenal. Kalau bisa ada gelombang baru dari Indonesia dalam perfilman dunia akan amat bagus. Itu yang kemarin dibicarakan juga dengan teman-teman di sini. Akan amat bagus jika Marlina menjadi momentum mengangkat film Indonesia ke panggung dunia. Sampai sekarang sudah ada beberapa film masuk festival-festival besar. Mungkin ini bisa menjadi sebuah momentum baru lagi untuk mengakselerasi semua itu.
Efeknya bisa diamati ke belakang nanti. Film-film di Directors’ Fortnight tempat yang cocok buat saya. Untuk kategori kompetisi utama, sebagai seorang sutradara yang masih hijau, itu bukan tempat saya. Di kompetisi itu tempat sutradara besar seperti Michael Haneke. Marlina sudah pas ada di Directors’ Fortnight dan semoga bisa menjadi batu loncatan. Patut dicermati, sejumlah sutradara besar pemenang penghargaan bergengsi di Cannes berawal dari Directors’ Fortnight, misalnya Michael Haneke, Francis Coppola, dan Martin Scorsese. Saya suka semangat mereka di mana kategori ini merupakan protes asosiasi sutradara terhadap Cannes. Ini adalah panggung yang lain yang bahkan film aneh pun tetap mendapat apresiasi. Anda juga sudah melihat salah satunya.
Di kompetisi utama, jika ada film yang terlalu aneh, sutradara kurang dikenal, dan kena kritik pedas bahkan boo (cemoohan), bisa hancur masa depannya, lho. Penonton di sini keras. Yang bisa masuk Official Selection mungkin cuma orang-orang industri dan mereka enggak bisa ditebak. Festival ini bisa menghancurkan karier seorang sutradara. Ada banyak contoh dari sejumlah artikel yang me-review sutradara baru dengan film di seleksi utama mendapat kritik buruk dan selesai. Kami hati-hati memilih, sutradara baru biasanya di Un Certain Regard atau Directors’ Fortnight.
Tiga tahun terakhir, nama Indonesia ada di Cannes. Apa yang harus dipelihara agar Indonesia tetap ada di sini, mengapa Indonesia penting untuk tetap di sini?
Publikasi, ya, di tangan Anda para media besar. Apa yang terjadi di sini amat penting untuk perfilman dunia. Kalau sinema Indonesia mau eksis di dunia, ya, jangan mengabaikan Cannes. Saya ke sini sudah keempat kali. Dulu enggak kebayang Cannes seperti ini. Sehari pun belum bisa mengerti. Ini festival yang sulit dimengerti di mana informasi begitu banyak dan penting. Di negara lain, institusi pemerintah, seperti Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Film Indonesia (BFI), menyusun panduan tentang festival di Cannes seperti apa. Yang paling dasar, bagaimana membuat film lolos atau bagaimana cara mendaftarkan film ke Cannes. Informasi seperti itu dari media atau dari lembaga resmi untuk memandu dan punya pengaruh luas bagi kalangan sineas Indonesia.
Kalau sinema Indonesia mau eksis di dunia, ya, jangan mengabaikan Cannes. Di negara lain, institusi pemerintah, seperti Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Film Indonesia (BFI), menyusun panduan tentang festival di Cannes seperti apa.