Sebetulnya ada banyak ”tembok” yang bisa memisahkan SMA Al-Izhar di Pondok Labu, Jakarta Selatan, dengan SMA Kolese Kanisius di Menteng, Jakarta Pusat. Tembok itu mulai dari masalah yang berpangkal pada perbedaan etnis hingga agama.
Tak ingin membangun tembok, siswa kedua SMA tersebut memilih membangun ”jembatan” untuk merawat perbedaan. Jembatan itu melintasi tajamnya primordialisme dan kekerasan yang belakangan menguat di Tanah Air.
Melalui sebuah kampanye di media sosial yang dinamai Ragamuda, mereka mengajak para siswa SMA untuk memajang foto di layanan Instagram beserta pesan bahwa mereka adalah individu yang menjadi anggota kumpulan yang beragam bernama Indonesia. Sebuah ajakan merayakan keberagaman yang didapat dari lahir ataupun pilihan sebagai satu kekuatan.
”Saya bergerak karena sadar bahwa kita itu beragam, beragam itu Indonesia, dan kita adalah Indonesia. Kamu?” adalah teks yang mendampingi foto-foto tersebut.
Tagar yang mereka gunakan adalah #PLURALisME, dengan variasi penggunaan huruf kapital untuk menunjukkan kalimat sederhana yang berarti ”beragam adalah saya” sebagai pesan yang ingin disampaikan.
Dengan bantuan internet, gerakan ini berganda dan berlipat dengan segera dan mudah. Hingga Minggu (4/6) petang, #PLURALisME sudah dipakai hampir 7.500 kali meski tidak sepenuhnya berasal dari gerakan tersebut. Tagar lain yang digunakan, yaitu #BersamaMerawatPerbedaan, dipakai hingga 1.460 kali.
Unggahan di layanan berbagi foto Instagram diawali dengan perkenalan nama dan asal sekolah. Kalimat kedua yang mengikuti berisi buah pikiran mereka tentang bagaimana menyikapi hidup beragam di Indonesia. Foto-foto yang diunggah menampilkan individu berikut kiprah mereka dalam musik, olahraga, dan lebih penting lagi menawarkan optimisme akan masa depan lebih baik.
Ternyata bukan hanya pelajar Al-Izhar dan Kolese Kanisius saja yang mengunggah foto mereka berikut tagarnya. Gerakan yang dimulai pada Sabtu (3/6) ini ternyata juga mengundang peserta tidak hanya pelajar, tetapi juga guru dari SMA Mardi Waluya Cibinong, SMK PIKA Semarang, SMAN 61 Jakarta, dan SMAN 28 Jakarta, dan jumlahnya terus bertambah.
Risau paparan kebencian
Kampanye yang dimotori OSIS SMA Al-Izhar dan SMA Kolese Kanisius tersebut berawal dari kerisauan para siswa akan paparan kebencian berdasarkan etnis ataupun agama di Indonesia beberapa waktu terakhir yang cukup tajam terjadi sewaktu Pilkada DKI Jakarta. Layar televisi dan gawai mengumandangkan hal serupa, bahwa perbedaan adalah masalah yang membebani bangsa.
Interaksi para siswa kedua sekolah tersebut tumbuh dalam seminar lintas agama yang melibatkan dua sekolah itu. Mereka pun bersepakat untuk bersama-sama merawat perbedaan.
”Dengan tajamnya perbedaan yang terjadi sekarang, seolah ada upaya untuk menanamkan bibit-bibit intoleransi kepada generasi muda. Itulah yang harus dihindari karena hal itu tidak ada masa depan. Padahal, kamilah yang nantinya ada di sana,” kata Reza Imansyah, Ketua Ragamuda yang juga siswa SMA Kolese Kanisius.
Dia mengatakan, dirinya semakin menyadari pentingnya menjaga perbedaan setelah mengikuti program di sekolahnya pada tahun lalu. Di SMA Kolese Kanisius ada program di mana pelajar kelas XII diminta belajar di sekolah lain untuk mendapatkan pengalaman hidup di luar lingkungan selama ini. Ada yang ke sekolah dengan mayoritas pelajar beragama Buddha atau Islam, bahkan ke pesantren.
Hal senada dikatakan Laurentius Mikhael, siswa kelas XI Kolese Kanisius. ”Seharusnya agama menjadi ranah pribadi dan tidak perlu menjadi penghalang bagi hidup berbeda di Indonesia. Di Ibu Kota, seharusnya masyarakatnya menjadi panutan,” ujarnya.
Katya Narendratayana, siswa kelas XI Al-Izhar, juga mengatakan, sudah menjadi fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang beragam sehingga harus ada toleransi agar kita semua dapat hidup berdampingan.
Isu ini sudah menjadi pembicaraan di sekolahnya dan muncul kesepakatan bahwa persatuan dan toleransi seharusnya berada di atas perbedaan yang ada agar tidak terpancing konflik.
”Dengan media sosial, kami ingin menawarkan alternatif konten yang positif bagi pengguna lain,” kata Katya.
Pengajar Bahasa Inggris sekaligus pembina OSIS SMA Al-Izhar, Diah Sulistiowati, mengatakan, pihak sekolah mendukung penuh inisiatif tersebut. Para guru juga ikut berpartisipasi sekaligus menginformasikan kepada orangtua murid.
”Kami hanya mengharapkan para siswa bisa memiliki kesadaran akan keragaman, bahwa satu hal tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang,” kata Diah.
Menurut rencana, kampanye digital ini akan berlangsung hingga 8 Juni, tetapi Reza memastikan untuk tidak berhenti di sana.