Basuki Hariman, terdakwa kasus suap terkait pengurusan perkara uji materi di Mahkamah Konstitusi, Senin (5/6), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, menyempatkan diri untuk berdoa sebelum menghadapi dakwaan yang akan dibacakan oleh jaksa penuntut umum. Datang tepat pukul 09.30, Basuki yang didampingi keluarga dan kerabatnya meminta izin untuk menggelar doa kecil di bagian belakang ruang sidang.
Basuki dan keluarganya terlihat hikmat berdoa, serta berharap agar sidang berjalan lancar, dan Tuhan memberikan pertolongan. Maklumlah, Basuki selain pengusaha dan importir daging sapi, juga adalah Ketua Sinode Gereja Bethel Pembaruan. Ia seorang pendeta.
Akan tetapi, sikap hidup yang dekat dengan kegiatan keagamaan ternyata tidak menjauhkan Basuki dari praktik-praktik buruk suap dan korupsi. Basuki didakwa memberikan suap kepada mantan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar, untuk memenangi uji materi atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Basuki didakwa memberikan suap lebih dari 70 dollar AS kepada Patrialis melalui rekan yang juga menjadi perantara kasus suap ini, Kamaludin.
Suap dilakukan dengan melalui berbagai pertemuan, jamuan makan, dan ajakan main golf di Batam ataupun Jakarta. Semua biaya itu ditanggung oleh Basuki melalui uang yang diberikan kepada Kamaludin. Pada satu kesempatan main golf di Batam, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, juga ikut diajak serta. Dalam kasus ini, Patrialis disebutkan jaksa menerima uang 10.000 dollar AS untuk pergi umrah.
Perbuatan Basuki dan Patrialis itu terungkap ketika Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan kepada Patrialis dan Basuki, serta seorang stafnya, NG Fenny, pada 25 Januari 2017.
Jaksa penuntut umum pada KPK, Lie Putra Setiawan, mengatakan, uang 20.000 dollar AS dari Basuki kepada Kamaludin itu separuhnya diberikan kepada Patrialis Akbar untuk pergi umrah. ”Adapun sisanya, 10.000 dollar AS, dipergunakan Kamaludin untuk keperluan pribadi,” katanya.
Adapun sisanya, 10.000 dollar AS, dipergunakan oleh Kamaludin untuk keperluan pribadi.
Menilik kasus suap yang melibatkan Basuki dan Patrialis, ada satu benang merah yang membuat dua pelaku tersebut memiliki kemiripan. Baik Basuki maupun Patrialis sama-sama orang yang dikenal religius atau soleh. Basuki adalah seorang pendeta, sementara Patrialis selain seorang hakim, ia juga dikenal kerap memberikan ceramah agama, dan pandangan hukumnya selaku hakim selalu menitikberatkan pada pertimbangan moral dan agama. Setiap kali bersidang di MK, publik dengan mudah mengenali pendapat dan pandangan hukumnya yang kental dengan nilai-nilai agama.
Sayangnya, dalam urusan korupsi, tampaknya kesolehan lahiriah tidak menjadi jaminan. Kesolehan lahiriah bisa menipu, dan dalam urusan manusia yang sangat cerdas sehingga kerap kali mengecoh, betullah ungkapan yang dulu dikatakan Ketua Mahkamah Agung AS Earl Warren (1953-1969). Earl mengatakan, ”Law floats in a sea of ethics”, atau hukum mengapung di atas samudra etika. Warren tidak mengatakan hukum berdasarkan agama, kesolehan, atau religiusitas yang artifisial. Hukum lebih dalam lagi, harus menyentuh esensi paling dalam pada perikehidupan manusia: etika.