YOGYAKARTA, KOMPAS — Meski sempat mengalami peningkatan gempa guguran, status Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap Normal. Hal ini karena peningkatan gempa guguran tersebut ternyata tidak terjadi terus-menerus dan tidak diikuti aktivitas lain, semisal semburan gas dan perubahan bentuk gunung api.
”Rangkaian gempa guguran itu tidak berulang. Karena itu, status Gunung Merapi tetap Normal,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) I Gusti Made Agung Nandaka, Selasa (6/6), di Yogyakarta. BPPTKG adalah lembaga pemerintah yang tugasnya antara lain memantau aktivitas Gunung Merapi.
Made menjelaskan, pada hari Minggu (4/6), Gunung Merapi memang tercatat mengalami peningkatan gempa guguran. Berdasarkan data BPPTKG, pada hari Minggu antara pukul 18.00 dan pukul 21.00, terjadi 13 kali gempa guguran di Merapi. Gempa guguran terjadi karena adanya guguran material di sekitar puncak Merapi.
Bila dibandingkan dengan aktivitas Gunung Merapi pada pekan sebelumnya, frekuensi gempa guguran tersebut mengalami peningkatan. Data BPPTKG menyebutkan, pada 26 Mei-1 Juni 2017, Merapi tercatat hanya mengalami gempa guguran sebanyak 11 kali.
Peningkatan gempa guguran itu terjadi sesudah adanya gempa bumi di kaki Gunung Merapi pada hari Minggu (4/6) siang. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pada hari Minggu (4/6) pukul 14.48 terjadi gempa bumi dengan kekuatan 2,5 skala Richter (SR) yang titik pusatnya berjarak 18 kilometer (km) barat daya Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Gempa tersebut berada di kedalaman 14 km.
Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang lokasinya berdekatan dengan Merapi dan bahkan salah satu jalur pendakian gunung tersebut berada di Boyolali.
Made menyatakan, gempa bumi 2,5 SR itu merupakan gempa tektonik atau gempa yang terjadi karena aktivitas lempeng bumi. Karena itu, gempa tersebut tidak disebabkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Merapi.
”Dari pemantauan kami, gempa tersebut bukan gempa vulkanik,” ucapnya. BPPTKG juga belum bisa memastikan apakah peningkatan gempa guguran di Merapi itu disebabkan oleh gempa bumi 2,5 SR sebelumnya.
Kepala BMKG Yogyakarta I Nyoman Sukanta mengatakan, pusat gempa bumi 2,5 SR yang terjadi pada hari Minggu (4/6) memang terletak di wilayah kaki Gunung Merapi. Namun, dilihat dari kedalaman pusat gempanya, gempa tersebut merupakan gempa tektonik, bukan gempa vulkanik.
”Kalau dilihat dari kekuatan gempanya yang kecil, kemungkinannya kecil gempa itu dapat memengaruhi aktivitas Gunung Merapi,” ujarnya.
Karena dinilai masih aman, jalur pendakian Gunung Merapi tetap dibuka. Pendakian dibatasi hanya sampai Pasar Bubrah.
”Jalur pendakian masih dibuka karena masih aman. Status Gunung Merapi saat ini tetap Aktif Normal meskipun kemarin ada gempa,” ujar Kepala Resor Selo, Balai Taman Nasional Gunung Merapi Suwignya di Selo, Boyolali, Jawa Tengah.
Mulyono (67), warga Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, mengaku tidak merasakan ada getaran gempa pada hari Minggu lalu. Warga tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa karena status Gunung Merapi tetap aktif normal.
”Suara guguran material di puncak juga tidak terdengar,” katanya.
Menurut Mulyono, warga siap kembali mengungsi bila status Merapi meningkat hingga menunjukkan gejala bakal terjadi letusan seperti tahun 2010. Saat letusan tahun 2010, Desa Tlogolele yang merupakan desa tertinggi di lereng Merapi terkena dampak hujan abu dan pasir.