Ludruk di Tengah Empasan ”Badai”
Anggota-anggota KKO/AL dari Jawa Timur selama 10 hari mengadakan pertunjukan ludruk di daerah Kragan, Rembang. Selama pertunjukan itu telah terkumpul uang Rp 41.793,60. Uang itu disumbangkan untuk pembangunan sebuah gedung BKIA di wilayah itu.
Menurut perkiraan, biaya pembangunan gedung BKIA mencapai Rp 100.000. Sebelumnya, mereka telah melakukan pertunjukan di kota Rembang yang hasilnya diperuntukkan bagi pembangunan sebuah taman kanak-kanak ”Bayangkari”. Kini, pembangunan gedung TK itu hampir selesai.
Berita tersebut dimuat Kompas yang terbit pada 9 Juni 1967 atau tepat 50 tahun lalu.
Ludruk adalah kesenian rakyat yang populer di Jawa Timur sejak awal tahun 1900-an. Ludruk menjadi mimbar rakyat untuk mengungkapkan isi hati nurani menghadapi kondisi yang tidak adil. Dalam perjalanan panjangnya, ludruk mengalami pasang surut. Seakan tak mau lenyap ditelan masa, ludruk tetap bertahan di tengah embusan ”badai”, baik dari masyarakatnya sendiri maupun kesenian lainnya.
Usia ludruk lebih tua daripada kemerdekaan Republik Indonesia. Ludruk menjadi wadah bagi warga Jawa Timur (Jatim) menghadapi kekejaman penjajah Belanda. Ludruk juga menjadi ”jalan keluar” rakyat mengatasi kekejaman Jepang sekaligus menjadi alat propaganda Jepang.
Cak Durasim, tokoh ludruk legendaris Jatim, sampai ”rela” mengorbankan nyawanya, antara lain lewat parikan Bekupon omahe doro, melok nipon tambah soro atau ”kandang itu rumahnya burung, ikut Jepang hidup tambah susah” (Kompas, 23 Agustus 1972).
Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, ludruk juga digunakan oleh partai-partai politik untuk menyuarakan kepentingan mereka. Demikian pula pada masa Orde Lama, ludruk ”berjaya” karena banyak diajak partai politik untuk memengaruhi masyarakat (Kompas, 28 April 1991).
Ketika peristiwa G30S terjadi, ludruk turut terseret. Meski tak semua kelompok ludruk berafiliasi pada partai politik, sebagian anggota ludruk pun terkena imbasnya. Kompas, 29 Agustus 1967, menulis, pertunjukan ludruk dan wayang kulit dilarang di daerah Pasuruan dan Probolinggo. Korem setempat memutuskan pelarangan tersebut mengingat situasi keamanan saat itu.
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, ludruk kembali dipakai sebagai corong politik penguasa. Untuk menyukseskan program transmigrasi, misalnya, ludruk turut serta. Tak heran kalau di Bone-Bone, Sulawesi Selatan, tempat para transmigran asal Jatim menetap, ludruk pun berjaya (Kompas, 22 Januari 1970).
Contoh lain, kelompok ludruk Karya Budaya dari Kabupaten Mojokerto, yang didirikan tahun 1971, mempunyai tujuan utama kampanye pemilu bagi Golkar. Seusai pemilu, kelompok ini dipertahankan untuk melestarikan ludruk. Kelompok ludruk lainnya, Warna Jaya dari Kecamatan Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo, dibina Koramil Balongbendo dan menjadi salah satu ludruk yang laris (Kompas, 12 Mei 1991).
Panggung nasional
Semua pemain ludruk adalah lelaki. Tokoh perempuan diperankan oleh lelaki yang memakai kostum dan riasan perempuan seutuhnya. Oleh sesama pemain ludruk, mereka disebut ”seniwati”, yang berarti peran wanita, tetapi dimainkan oleh lelaki (Kompas, 16 November 1980).
Penikmat ludruk umumnya kalangan menengah ke bawah. Cerita yang ditampilkan berkisar masalah rumah tangga, masa perjuangan, dan revolusi kemerdekaan. Sosok pahlawan yang ditampilkan dalam ludruk adalah orang biasa, seperti Sarip Tambakjoso dan Pak Sakerah. Mereka tak dikenal sebagai pahlawan meskipun turut merasakan kepedihan hidup akibat penjajahan. Mereka juga dikisahkan menyumbang pada proses kemerdekaan Indonesia.
Pesan disampaikan umumnya lewat lawakan. Struktur pertunjukan ludruk biasanya berurutan, mulai dari ngremo, lawakan, selingan, drama cerita, lalu penutup (Kompas, 14 Februari 1974). Pada perkembangannya, ludruk pun memasukkan unsur dangdut dan karaoke untuk memenuhi permintaan konsumennya.
Serupa dengan kesenian rakyat umumnya, kelompok ludruk pentas di beberapa lokasi, dari kota besar seperti Surabaya sampai ke desa-desa, sesuai permintaan sang pembuat hajat. Bahkan, tahun 1970, ludruk tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Ludruk yang semula berfungsi menghibur, berinteraksi dengan komunitasnya, dan penyampai pesan dari rakyat untuk penguasa, kemudian ”naik kelas”. Kelompok ludruk Gema Tribrata, misalnya, manggung di Kartika Chandra, Jakarta, dengan tiket seharga Rp 1.000 untuk konsumsi para turis.
Popularitas ludruk semakin luas tatkala grup Mandala pimpinan dr Suradi tampil di layar TVRI (Kompas, 27 Juli 1980). Pahlawan yang ditampilkan pun bisa berbeda, seperti Si Pitung yang populer sebagai jagoan silat dari Betawi. Ludruk Mandala dengan sekitar 40 pemain pun mendapat tempat pentas setiap hari di Sarinah, Jakarta.
Pada masa ini pemain ludruk yang rata-rata berpendidikan rendah bisa meneruskan pendidikannya ke tingkat SMP, mengambil kursus menjahit, atau membuka kios dan salon. Biasanya pada siang hari mereka belajar atau bekerja, dan malamnya bermain ludruk.
Merana
Di sisi lain, pentas ludruk di Surabaya malah semakin sepi penonton. Panggung ludruk THR di pusat kota Surabaya kalah pamor oleh bioskop dan diskotek, misalnya. Upaya pemerintah daerah untuk melestarikan ludruk, antara lain lewat Paguyuban Ludruk Surabaya dengan 17 grup anggotanya, seakan jalan di tempat.
Usaha memasyarakatkan ngremo, tarian khas ludruk, di sekolah-sekolah dan ditampilkan secara massal pada berbagai kesempatan, juga tak mampu mengangkat popularitas ludruk (Kompas, 24 Januari 1981). Setali tiga uang dengan grup ludruk Palapa Nusantara di Jember. Grup ludruk dengan 29 anggota ini hanya bisa naik panggung delapan kali dalam sebulan. Hasilnya tak cukup untuk menutup biaya operasionalnya (Kompas, 23 Januari 1984).
Bahkan, gedung ludruk di THR Surabaya Mall kemudian dijadikan diskotek pada tahun 1991 karena sepinya penonton ludruk. Perubahan penggunaan gedung itu sempat memunculkan persoalan di antara mereka yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut (Kompas, 21 April 1991).
Sebelumnya, tahun 1982, kelompok ludruk Mandala ditinggalkan pengasuhnya, dr Suradi. Berganti nama menjadi Ludruk Mandala Surabaya dengan 37 anggota, mereka kembali pentas keliling dari satu tempat ke tempat lain, tergantung permintaan.
Dengan segala keterbatasan, mereka berusaha bangkit dan tampil di gedung Wayang Orang Ngesti Widodo di kawasan Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Namun, jumlah penonton tak cukup banyak sehingga tabungan mereka justru terkuras untuk membayar listrik dan biaya operasional pentas lainnya (Kompas, 17 Februari 1985).
Kembali ke desa
Kalau di Surabaya ludruk ditinggalkan penontonnya, di Krian, Mojokerto, dan Jombang, grup-grup ludruk tetap eksis. ”Selama bulan Juni, jadwal grup ludruk kami padat sekali. Sampai sekarang sudah 21 malam yang di-booking orang,” kata M Rodi, pemimpin kelompok ludruk Karya Budaya dari Kabupaten Mojokerto, seperti dikutip Kompas, 12 Mei 1991.
Penduduk desa mengundang pentas grup ludruk karena perlu hiburan. Di Kecamatan Belongbendo, Kabupaten Sidoarjo, setidaknya ada empat grup ludruk. M Mi’an, pemimpin kelompok ludruk Bintang Budaya dari Desa Kemangsen, Belongbendo, yang sehari-hari menjadi sopir angkutan serba guna, memasang tarif Rp 450.000 sekali main.
Grup lainnya, Baru Budi, di Mojokerto memasang tarif Rp 850.000. Pemimpinnya, Isbandi Wibowo atau Cak Bowo, adalah mantan pemain ludruk RRI Surabaya. Semua grup ludruk di Balongbendo, Jombang, dan Mojokerto tetap mempertahankan pemain pria untuk peran perempuan.
Tahun 1996 grup ludruk Kopasgat Trisula Dharma tampil di lapangan Kelurahan Panekan, Kecamatan Panekan, sekitar 10 kilometer arah timur kota Magetan. Di sini, pertunjukan ludruk diawali dengan penampilan penyanyi dangdut, ditambah segmen acara manasuka.
Dalam acara manasuka, penonton bisa mengajukan permintaan lagu. Alat karaoke pun melengkapi penampilan mereka. Kompas, 30 Juni 1996, mencatat, durasi acara manasuka sangat fleksibel, tergantung permintaan lagu dari penonton. Kalau tak banyak penonton yang minta, bisa tujuh lagu saja.
”Waktu main di Desa Kesugihan, Ponorogo, saking banyaknya permintaan lagu, acara manasuka digelar sampai satu jam,” kata Totok Iman Santoso, pendiri dan pemimpin ludruk Trisula Dharma, yang memasukkan unsur karaoke sejak tahun 1995.
Surabaya
Sebelumnya, pada 1994, dalam hajatan Pekan Seni Pemuda, grup ludruk Suzana Baru tampil di Surabaya. Ternyata kidungan atau tembang pantun Cak Agus Kuprit malam itu mampu membuat lebih dari 500 penonton tertawa. Pertunjukan ini gratis, tetapi kelompok ludruk Suzana Baru yang beranggotakan 30 orang itu dibayar Rp 650.000 (Kompas, 6 November 1994).
Upaya untuk memopulerkan kembali ludruk antara lain dilakukan lewat lomba ludruk se-Jatim untuk memperebutkan piala bergilir Cak Durasim di Lapangan Makodam V/Brawijaya. Lomba yang diadakan pada 1994 ini diikuti 28 grup ludruk, dan tampil sebagai pemenang adalah kelompok ludruk Kopasgat Nganjuk.
Meski begitu, ludruk tak mampu bertahan di Surabaya. Tahun 1999 Gubernur Jatim Imam Utomo ingin mengembalikan THR sebagai ruang rekreasi warga (Kompas, 25 September 1999). Maka, di Gedung Wayang Orang THR, Jalan Kusuma Bangsa, ludruk kembali tampil dengan dukungan dana Pemda Jatim. Warga gratis menonton ludruk.
Alhasil, 500-600 tempat duduk yang ada penuh, bahkan orang rela berdiri demi ludruk. Grup ludruk yang tampil antara lain Kusuma Wijaya (Malang), Karya Baru (Mojokerto), Merdeka (Jember), dan Enggal Tresno (Madiun). Sekitar enam bulan kemudian, subsidi Pemda Jatim dihapus. Warga harus membayar untuk menikmati ludruk, dan pertunjukan kembali sepi penonton.
Tahun 2000, kelompok ludruk Irama Budaya tampil di Gedung Ludruk Pulo Wonokromo, Surabaya. Setiap malam rata-rata hanya 70 kursi dari 300 kursi yang terisi penonton, dengan tiket Rp 2.000 per orang. Beranggotakan 62 orang, kelompok ludruk hanya bisa memberikan honor untuk pendukungnya Rp 3.000-Rp 10.000 per orang. Padahal, harga sepiring nasi sudah Rp 2.500 (Kompas, 8 November 2000).
Galang dana
Sampai sekitar 1980-an ludruk masih berjaya. Harian Kompas, 30 Juni 1996, mengutip ucapan Suryadi yang 30-an tahun menjadi pemain ludruk, berujar, ”Tahun tujuh puluhan, penghasilan semalam bisa untuk beli emas satu gram. Sekarang penghasilan kami kira-kira hanya seperempatnya.”
Untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, pemain ludruk umumnya punya pekerjaan atau usaha sampingan. Nurwachid yang sudah sekitar 28 tahun bergabung dengan kelompok ludruk Ampera Marhaen, misalnya, menambah penghasilan dengan berjualan baju atau barang lain yang dititipkan orang kepadanya.
Kehidupan pemain ludruk umumnya kembang kempis, terutama yang berusia lanjut. Kompas, 12 September 1972, mencatat tiga bekas pemain ludruk, Amir (70), Kasijan (64), dan Satari (55), mengirim surat kepada Dewan Kesenian Surabaya agar diberi bantuan.
”Sekarang umur kami sudah tua. Keadaan ekonomi kami sangat berat dan badan kami sudah kurang kuat mencari nafkah,” demikian bunyi surat mereka, yang pada masa mudanya menghibur laskar pejuang di Mojokerto, Mojoagung, Jombang, dan sekitarnya.
Itu bukan berarti pemain ludruk yang berusia muda tak peduli pada nasib para seniornya. Untuk Surip Suparnyo, penari dan pemeran tokoh keibuan dalam grup ludruk Marhaen yang berjaya pada 1958-1964, empat grup ludruk pentas di Stadion Bululawang, Kabupaten Malang, demi menggalang dana.
Mereka adalah grup ludruk asal Malang, yakni Persada, Wijaya Kusuma unit I dan II, serta Gelora Budaya. Keempat grup ludruk itu akan kembali berpentas di Sumberpucung pada Juli 1977 untuk menggalang dana bagi Mbah Ceret, tokoh ludruk lainnya (Kompas, 22 Juni 1977).
Bertahan
Seberapa pun sulitnya, ludruk terbukti mampu bertahan. Tahun 2012, kelompok ludruk Karya Budaya dari Mojokerto, misalnya, masih menerima tawaran naik panggung 130 kali dalam setahun. Tarifnya disesuaikan dengan jauh-dekat jarak lokasi pertunjukan dengan kisaran Rp 9 juta-Rp 18,5 juta.
Bahkan Karya Budaya yang beranggotakan 67 orang ini bisa memberi bonus, tunjangan hari raya, bantuan berobat untuk anggota yang sakit, dan uang duka bagi keluarga yang ditinggalkan. ”Ludruk tak hanya menghibur orang yang punya hajat dan tamu-tamunya, tetapi pedagang keliling juga kecipratan rezeki,” kata Eko Edy Susanto atau Cak Edy, pemimpin Karya Budaya (Kompas, 31 Mei 2012).
Kelompok ini berdiri tahun 1969. Cak Edy ”diwarisi” ludruk dari sang ayah, Cak Bantu, meski sebelum meninggal Cak Bantu sempat berpesan agar tak ada anaknya yang memimpin ludruk. Di sisi lain, anggota Karya Budaya meminta agar anak Cak Bantu menjadi pemimpin, dan Cak Edy tak bisa menolaknya.
Sementara di Jombang ada grup ludruk Budhi Wijaya yang pentas 160 kali dalam setahun (Kompas, 20 November 2014). Didik Purwanto atau Didik Wijaya pun mendapat warisan grup ludruk ini dari sang ayah, Pak Sahid, yang biasa disapa Budhi Wijaya.
Beranggotakan 75 orang, kelompok ludruk Budhi Wijaya bertahan antara lain dengan pentas campursari, menjual rekaman pertunjukan lewat VCD dan DVD, serta memasarkan diri lewat internet. Tarifnya sekali main untuk ludruk lengkap sekitar Rp 20 juta.
Di Malang juga ada grup ludruk Armada asuhan Eros Djarot Mustadjab. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini juga meneruskan ludruk dari sang ayah, Bagor Mustadjab. Sebelumnya, Bagor adalah pemain ludruk Sari Warni Radio Republik Indonesia.
”Penonton masih ramai. Mereka juga setia menunggu sampai pagi. Kami masih bertahan sejak berdiri 12 Oktober 1975,” kata Djarot yang tidak sempat menghitung berapa kali pentas dalam setahun (Kompas, 2 November 2015).
Tahun 1995-1996, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Jatim mencatat, di Surabaya terdapat 548 grup ludruk dengan 7.145 anggota, di Sidoarjo ada 157 grup dengan 2.264 anggota, Mojokerto 363 grup dengan 13.586 anggota, dan Jombang 136 grup dengan 3.473 anggota. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 10 persen yang masih aktif (Kompas, 10 November 1999).
Meskipun jumlah kelompok ludruk yang bertahan dinyatakan terus menyusut, dengan keterbukaan menerima elemen-elemen baru untuk merebut perhatian masyarakat, ludruk tetap bertahan.