Warga Menunggu Kehadiran Negara
Sudah tiga hari Bima terkena muntaber. Penyakit ini datang setiap tahun di Sebangau Jaya, Katingan Kuala, Kalimantan Tengah. Khawatir kondisi anaknya semakin parah, Umar membawanya ke Puskesmas Pagatan Hulu.
”Kalaupun ada petugas kesehatan, hanya enam bulan sekali. Setelah itu tidak datang lagi,” kata Umar, Sabtu (3/6). Oleh karena itu, yang sakit dibawa ke Pagatan. Di sana ada perawat dan mantri. Kalau dirujuk, mereka harus ke rumah sakit di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, karena lebih dekat.
Umar memiliki pengalaman pahit. Lima tahun lalu, istri pertamanya meninggal di perahu motor dalam perjalanan menuju puskesmas di Pagatan setelah melahirkan. ”Saat melahirkan ditolong dukun desa, lalu pendarahan dan harus dibawa ke puskesmas. Melahirkan pukul 17.00, istri saya meninggal pukul 21.00 dalam perjalanan ke puskesmas,” ujarnya.
Jarak dari Desa Sebangau Jaya menuju Pagatan Hulu sekitar 32 kilometer (km) atau 19,8 mil laut, ditempuh dalam waktu empat jam dengan perahu motor yang disebut kelotok. Jika dengan perahu cepat, perjalanan bisa ditempuh dalam dua jam.
Umar hanya memiliki ces, yakni perahu motor yang lebih kecil daripada kelotok. Ia pun menyewa kelotok milik tetangganya dengan biaya Rp 900.000, belum termasuk bahan bakar. Harga bahan bakar di tempat itu Rp 12.000 per liter, baik bensin maupun solar.
Berdasarkan data di kecamatan, Sebangau Jaya dihuni 278 keluarga dengan jumlah penduduk 728 orang. Namun, dari pengamatan, satu keluarga beranggotakan 4-5 orang. Warga desa didominasi suku Banjar karena wilayah itu lebih dekat dengan Kalimantan Selatan. Jarak desa itu dari Palangkaraya, ibu kota Kalteng, sekitar 350 km. Sepanjang perjalanan dari Palangkaraya ke desa itu melalui rawa penuh tanaman rasau (Pandanus helicopus) berduri.
Tenaga puskesmas
Sabtu siang itu, Puskesmas Pembantu (Pustu) Sebangau Jaya kosong. Pintunya terkunci. Di jendela tertempel kertas bertuliskan ”Jangan dirusak/milik pustu-tertanda Endang”.
Kepala Dinas Kesehatan Kalteng Suprastija Budi mengatakan, pihaknya berusaha memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan. Namun, keterbatasan anggaran membuatnya belum lagi mengusulkan dokter pegawai tidak tetap (PTT). ”Tahun depan, kalau anggaran cukup, kami akan ajukan lagi dokter PTT. Saya berharap kabupaten juga berinisiatif merekrut tenaga dokter,” ujar Budi.
Data Dinas Kesehatan Kalteng, 28 dari 197 puskesmas di provinsi itu belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan. Sebanyak 80 persen dari 1.024 puskesmas pembantu belum memiliki tenaga kesehatan dan dilayani bidan atau perawat.
Kondisi yang sama terjadi di desa tetangga, Desa Sungai Kaki. Desa ini juga terpencil, tak ada akses darat, dan minim fasilitas kesehatan. Akses transportasi hanya melalui sungai dan laut.
Tidak ada akses air bersih di desa itu. Warga mengonsumsi air sungai. Dari 238 rumah penduduk, hanya satu rumah yang memiliki jamban dengan kloset yang baik. Sisanya menggunakan jamban darurat di pinggir sungai, tempat mereka juga mandi, mencuci baju, dan mengambil air minum.
Pernikahan dini
Kondisi warga Sebangau Jaya dan Sungai Kaki diperparah dengan kebiasaan menikah di usia dini. Orangtua di kedua desa itu menikahkan anaknya saat berusia 12-14 tahun, kala tamat SD.
Salah satunya adalah Musahada (35). Ia menikah pada usia 18 tahun. Anaknya, AD (14), sudah menikah dan memiliki satu anak. ”Yang penting bawa jujuran (uang mahar), sudah bisa menikah,” katanya.
Kepala Desa Sebangau Jaya Resno menuturkan, sebelum ia menjadi kepala desa, pernikahan dini banyak terjadi. Namun, sejak tiga tahun lalu, ia membuat peraturan desa untuk mencegah pernikahan dini. ”Kalau melanggar, saya tidak akan memfasilitasi surat/dokumen persyaratan pernikahan. Saat ini, jumlah pernikahan dini turun,” katanya.
Di desa itu, pernikahan dini jadi solusi mengurangi beban ekonomi keluarga. Di sisi lain, hal itu meningkatkan kematian ibu dan bayi. Data kantor desa, tahun 2014-2015, ada dua kasus kematian bayi saat lahir karena usia ibu terlalu muda.
Berdasarkan data Survei Indikator Kependudukan KB dan Pembangunan Keluarga Sejahtera Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2016, di Kalteng terdapat 49 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup dan 345 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Angka pernikahan dini, usia 15-19 tahun, mencapai 75,45 persen atau 498.800 orang dari jumlah remaja 661.100 orang di Kalteng. Angka pernikahan dini nasional hanya 34,65 persen.
Persentase keluarga yang menyetujui anaknya menikah di bawah umur mencapai 18,7 persen, sedangkan angka nasional hanya 15 persen.
Kepala Subbidang Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kalteng Djuwiyanto menyatakan, tingginya kematian bayi dan ibu di Kalteng dinilai sebagai dampak pernikahan dini. ”Sebagian besar kematian terjadi pada anak muda yang sudah hamil. Dari sisi kesehatan, rahim ibu muda belum matang sehingga menimbulkan risiko kematian,” ujarnya.
Minim pendidikan
Di Desa Sebangau Jaya dan Sungai Kaki, sebagian besar warga hanya berpendidikan SD dan SMP. Resno adalah satu-satunya yang belajar di perguruan tinggi. Adapun Eko (22), satu guru bantu di SD Sebangau Jaya, adalah satu-satunya warga yang lulus SMA di desa itu.