Tidur di Geladak demi Mudik
Bayi Aldaud menggeliat dalam selimut. Bayi berusia 12 hari itu sudah berjam-jam tidur di pangkuan ibu dan neneknya yang sedang menumpang kapal cepat dari Tanjung Pinang ke Anambas.
Nenek Aldaud, Aminah, mengatakan, cucunya termasuk beruntung karena bisa lahir di rumah sakit di Tanjung Pinang. Beberapa cucu saudari-saudarinya lahir dalam pelayaran dari Anambas ke Tanjung Pinang atau sebaliknya. ”Di (kabin) atas ada yang lahir di (Kapal Motor) Sabuk (Nusantara),” ujarnya dalam pelayaran.
Kapal dan perahu memang andalan transportasi di Anambas. Kabupaten terdepan Indonesia di Laut China Selatan itu punya wilayah 4,6 juta hektar. Namun, hanya 59.000 hektar berupa daratan dan tersebar di 255 pulau. Tidak ada pilihan selain menggunakan perahu jika ingin bergerak dari pulau ke pulau.
Di tengah menumpang kapal atau perahu itu, banyak hal bisa terjadi. Sejumlah ibu hamil melahirkan di tengah pelayaran. Sementara mereka yang sakit bisa jadi bertambah buruk kondisinya. ”Tidak ada pilihan lain, naik kapal atau berenang,” ujar Thamrin, warga Pulau Jemaja, salah satu pulau di Anambas.
Pesawat tujuan Anambas memang ada, tiga kali sepekan. Setiap Senin dan Sabtu ke Pulau Palmatak serta setiap Rabu ke Pulau Jemaja. Semua berangkat dari Tanjung Pinang.
Namun, selain kapasitasnya maksimal 12 orang, harga tiket pesawat juga mahal, bisa lebih dari dua kali lipat tiket kapal cepat.
Kini, tiket kapal cepat dapat dibeli Rp 360.000 per penumpang. Kapal cepat setiap dua hari sekali berangkat dari Tanjung Pinang. Kapal besar singgah rata-rata setiap 10 hari sekali.
Kapal besar menyinggahi Tanjung Pinang, Anambas, Natuna, lalu ke Sintete di Kalimantan Barat. Pelni mengoperasikan sejumlah kapal, sebagian merupakan kapal perintis yang dilayani beberapa KM Sabuk Nusantara. ”Kalau jadwal kapal belum ada dan ada keperluan harus keluar Anambas, kami cuma bisa berdoa semua baik-baik saja atau menumpang kapal barang,” kata Thamrin.
Kapal barang jadi pilihan tidak hanya karena kapal penumpang jarang datang. Kapal-kapal Pelni hanya singgah di sejumlah pulau besar. Pulau-pulau kecil hanya bisa dijangkau dengan kapal kayu yang lebih kecil. Sebab, jumlah pengguna sedikit dan pelabuhannya tidak memadai. Kapal-kapal Pelni tidak bisa merapat ke dermaga itu karena kedalamanan alurnya tidak cukup untuk menampung badan kapal. ”Paling mudah naik kapal barang atau kapal ikan,” ujarnya.
Di kapal barang tentu saja tidak ada kenyamanan. Sebab, kapal itu tidak dirancang untuk mengangkut orang. ”Kalau hanya tidur di samping kardus sudah bagus. Kadang harus tidur bersama kambing. Mau bagaimana lagi, seperti itu keadaan kami,” ujar Abdullah, warga Pulau Siantan, pulau di utara Jemaja.
Tangkap
Masalahnya, kapal barang kerap ditangkap oleh sejumlah instansi. Kapal untuk ikan tidak diizinkan untuk mengangkut barang lain dan sebaliknya, apalagi sampai mengangkut orang. ”Sebagian warga kami tinggal di pulau-pulau dan kapal jadi sarana angkutan utama. Satu jenis kapal difungsikan untuk mengangkut berbagai macam agar lebih efisien,” ujar Ibrahim, warga Anambas.
Lazimnya, warga pulau menggunakan kapal untuk mengirim ikan dari pulau-pulau ke kota. Dari kota, kapal mengangkut aneka barang dari bahan pangan sampai bahan bangunan. ”Selama ini kami sering dicegat. Kapal tidak ada surat izin bawa ikan karena bukan kapal ikan,” ujarnya.
Warga tidak bisa mengurus izin karena pemerintah tidak mengizinkan kapal angkutan serbaguna. Kapal ikan harus sesuai kriteria khusus dan hanya boleh mengangkut ikan. Ketentuan itu berlaku pula untuk kapal angkutan barang jenis lain. ”Warga pulau tidak sanggup jika harus menyediakan kapal khusus untuk setiap jenis barang yang diangkut. Selain biaya pembuatan mahal, biaya operasional akan membengkak,” ujar Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun.
Volume angkutan terbatas menjadi salah satu penyebab biaya mahal. Konsumen di daerah kepulauan memang terbatas. Di Anambas, 48.000 penduduk tersebar di tiga pulau utama dan belasan pulau kecil. Sementara di Natuna, 80.000 orang tersebar di belasan pulau. Waktu pelayaran antarpulau bisa mencapai tujuh jam. Karena itu, pengangkutan aneka barang ke pulau-pulau disiasati dengan kapal yang bisa mengangkut berbagai hal.
Karena itu, Nurdin akan mengajukan permohonan kelonggaran izin kapal ke Kementerian Perhubungan. Perizinan diharapkan cukup oleh pemerintah daerah. ”Agar perizinan tidak rumit dan bisa dijangkau warga. Kapalnya juga untuk berlayar dalam provinsi, bukan ke provinsi lain,” katanya.
Volume angkutan terbatas menjadi salah satu penyebab biaya mahal. Konsumen di daerah kepulauan memang terbatas. Di Anambas, 48.000 penduduk tersebar di tiga pulau utama dan belasan pulau kecil.
Permohonan itu dipicu pengaduan warga pulau-pulau soal perizinan kapal untuk pelayaran antarpulau. Kapal untuk ikan tidak diizinkan untuk mengangkut barang lain dan sebaliknya. ”Sebagian warga kami tinggal di pulau-pulau dan kapal jadi sarana angkutan utama. Satu jenis kapal difungsikan untuk mengangkut berbagai macam agar lebih efisien,” ujarnya.
Nurdin mengatakan, Kepri tidak hanya mengajukan kelonggaran perizinan. Kepri akan meminta bantuan derek untuk pelabuhan di pulau-pulau. Selama ini, bongkar muat di pulau-pulau bisa menghabiskan hingga empat hari. ”Waktu saya masih bekerja di laut, proses bongkar muat kapal ribuan ton bisa lebih cepat antara lain karena dereknya besar. Jadi, bisa angkut barang banyak sekaligus,” ujarnya.
Sementara kepada pemerintah kabupaten, Pemprov Kepri juga mendorong agar membuat gudang pangan. ”Cadangan pangan bisa disimpan di sana. Jadi, barang bisa diangkut lebih banyak menggunakan kapal lebih besar. Semakin besar kapal, semakin rendah ongkos angkutnya. Kapal lebih besar juga lebih tahan cuaca buruk,” katanya.
Pembuatan gudang pangan juga akan menekan potensi kekurangan pangan saat musim cuaca buruk. Saat cuaca buruk, kapal tidak diizinkan berlayar sehingga pasokan terhadap. Akibatnya, cadangan pangan ke pulau-pulau berkurang.