logo Kompas.id
UtamaKejayaan yang Kini Tinggal...
Iklan

Kejayaan yang Kini Tinggal Kenangan

Oleh
· 5 menit baca

Moda bus bak bunga layu yang ditinggalkan kumbang-kumbang. Konsumen beringsut menjauhi moda transportasi yang dulu digemari ini. Jika tidak berbenah, bukan tak mungkin kejayaan yang pernah ada akan tinggal kenangan. Haruddin (38) berdiri di dekat bus yang akan dikendarainya, Citra Sekar Harum (CHS) 88. Terik matahari makin membuatnya gelisah. Sopir bus ini harap-harap cemas menanti tambahan penumpang yang akan ia bawa ke Bengkulu. Baru ada 18 penumpang dari kapasitas 42 kursi. "Biasanya mendekati musim Lebaran, kursi sudah terisi lebih dari setengah. Kami tak tahu sampai kapan bisa bertahan," katanya, ditemui di Terminal Kalideres, Jakarta, Selasa (13/6).Haruddin mengatakan, dalam 10 tahun belakangan, usaha angkutan bus ibarat hidup segan mati tak mau. Moda bus terpuruk semenjak kehadiran penerbangan berbiaya murah. Harga tiket pesawat hampir sama dengan harga tiket bus. Sehari-hari, bus CHS 88 hanya membawa 10-15 penumpang sekali jalan. Kegiatan operasional mereka terbantu karena mereka juga melayani jasa pengiriman barang. Namun, tetap saja mereka lebih sering tekor karena ongkos dari penumpang tidak cukup menutupi biaya operasional.Haruddin mengatakan, biaya operasional bus CHS 88 pergi-pulang (PP) Bengkulu-Jakarta sebesar Rp 6,7 juta, termasuk bahan bakar Rp 3,8 juta dan biaya penyeberangan Rp 2,72 juta. "Sisanya Rp 180.000 untuk upah dua sopir dan dua kernet. Kami dituntut mencari penumpang di jalan untuk mendapat upah tambahan," katanya.Ia menuturkan, mereka sering tak mendapat penumpang di jalan sehingga hanya mendapat sisa biaya operasional. Sopir dan kernet masing-masing dapat Rp 60.000 dan Rp 30.000. "Itu upah mengemudikan Bengkulu-Jakarta PP empat hari empat malam. Padahal, sebulan kami hanya bisa melakukan 5-6 perjalanan PP," ujarnya.Haruddin yang sudah 18 tahun menjadi sopir mengenang kejayaan bus pada akhir dekade 1990-an. Kursi bus hampir selalu terisi penuh. Ia bisa mendapat upah Rp 800.000 hingga Rp 1 juta untuk setiap perjalanan PP Bengkulu-Jakarta. Namun, semua tinggal kisah lampau ketika era penerbangan murah tiba. Pendapatannya kini kian merosot dari waktu ke waktu. Di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, Aris Nandar (35) asyik membilas badan bus yang sebelumnya telah disabuni. Sopir bus Arimbi ini menyimpan harapan seiring guyuran air yang membasuh bersih busa. "Biar kelihatan bersih saja. Siapa tahu orang jadi pada ingin naik bus ini," ujar sopir bus jurusan Kampung Rambutan-Merak ini tersenyum lebar.Periode Lebaran adalah masa yang dinanti karena biasanya terjadi lonjakan penumpang. Sayang, beberapa tahun belakangan, penumpang bus terus menurun. "Tahun lalu, di hari-hari begini sudah lumayan yang mudik. Sekarang sepi," kata Aris.Sekitar lima tahun lalu, bus berkapasitas 40 orang itu bisa penuh penumpang, sedangkan saat ini hanya terisi kurang dari setengah. Harga tiket bus sekali perjalanan Rp 26.000. Jika penumpang penuh, penjualan tiket bisa mencapai Rp 1,04 juta. Aris memperoleh komisi 15 persen dari tiap tiket yang terjual. Artinya, dia bisa memperoleh Rp 156.000 per hari. Namun, kini ia hanya memperoleh komisi Rp 50.000-Rp 75.000 sekali jalan.Pendapatan itu belum dikurangi untuk makan, kebutuhan sehari-hari, dan uang kontrak rumah Rp 600.000 per bulan. Ia juga harus mengirim uang kepada istri dan dua anaknya yang tinggal di Pandeglang.Keterpurukan juga dirasakan perusahaan otobus (PO) PT Naikilah Perusahaan Minang (NPM) yang melayani jurusan Padang-Jakarta. Sepuluh tahun lalu, dalam sehari mereka memberangkatkan lima bus dari sejumlah terminal di Jakarta. Kini, hanya satu bus yang terisi tidak lebih dari setengah."Sebelumnya kami mampu memberangkatkan satu bus dari tiap terminal," kata Kepala Perwakilan PT NPM Terminal Kalideres Amar Yusuf.Menurut Yusuf, angkutan bus dari Jakarta tujuan Sumatera menjadi yang paling terpuruk setelah penerbangan berbiaya murah semakin banyak. Ada beberapa PO yang bangkrut karena kerap merugi. Bus-bus mereka hanya terisi ketika libur panjang karena saat itu harga tiket pesawat berlipat. Bus antarkota dalam provinsi Kowanbisata termasuk yang terdampak. Ketua Umum Kowanbisata Terminal Pulo Gebang Basarudin Siregar mengungkapkan, rata-rata terjadi penurunan jumlah penumpang 30 persen per tahun. Penyebabnya antara lain maraknya persewaan mobil."Kalau perantau pulang bawa mobil kan lebih bergengsi, tidak peduli itu mobil pribadi atau hanya sewaan," ujar Siregar.Siregar mengatakan, semakin banyaknya program mudik gratis juga menurunkan jumlah penumpang bus. Moda transportasi kereta yang kelas ekonominya kini terasa nyaman dengan harga terjangkau juga menjadi pesaing berat bus. Apalagi moda ini juga antimacet.Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik dengan bus pada Lebaran ini diperkirakan turun 2,11 persen, yakni dari 4,41 juta orang menjadi 4,32 juta orang.Siregar mengatakan, semakin menyusut jumlah penumpang semakin membuat perusahaan otobus kesulitan menutupi biayai operasionalnya, termasuk perawatan. Padahal, semakin tidak terawat, semakin bus itu rawan mengalami kecelakaan. Bus akan dipandang sebagai moda yang kurang aman. Ini bak lingkaran setan yang tak putus. "Ini kondisi yang sulit. Kami ingin tetap berkomitmen dengan keselamatan penumpang, tetapi butuh biaya. Sementara penerimaan dari penumpang terus menurun," ujarnya.Hasil uji ramp check nasional menjelang Lebaran ini, masih ada 30 persen bus angkutan Lebaran yang tidak laik jalan. Semua kondisi ini membuat bus kehilangan daya tariknya. Padahal, semestinya bus bisa menjadi salah satu tulang punggung transportasi massal. (NIKSON SINAGA/B KRISNA YOGATAMA)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000