JAKARTA, KOMPAS — Peternak unggas rakyat meminta pemerintah memastikan keberadaan jagung sebagai bahan baku utama pakan. Mereka mengkhawatirkan kelangsungan usaha mereka karena tidak ada kepastian pasokan jagung setidaknya pada Juli 2017.
Perwakilan sejumlah asosiasi peternak, antara lain Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan), dan Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN), mendatangi kantor Kementerian Pertanian untuk meminta kepastian itu, Rabu (14/6) malam. Dengan fasilitasi Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), mereka juga datang ke Perum Bulog dengan aspirasi serupa, Rabu sore.
Ketua Pinsar Petelur Nasional Wilayah Kendal, Batang, Pekalongan, dan Temanggung, Jawa Tengah, Suwardi menyatakan, krisis jagung sudah terasa sejak enam bulan lalu. Peternak rakyat menggantungkan jagung dari Bulog karena harganya lebih murah, yakni Rp 4.000 per kilogram (kg), sementara harga di petani setidaknya Rp 4.300 per kg.
Akan tetapi, pasokan jagung dari Bulog tersendat. Menurut Suwardi, beberapa anggotanya ada yang sudah memesan dan membayar jagung ke Bulog, tetapi jagung baru terkirim sebulan kemudian. Peternak lain menerima jagung dalam kondisi yang sudah rusak sehingga tidak bisa dipakai sebagai pakan.
Ketua Dewan Pembina Pinsar Indonesia Hartono menambahkan, pasokan jagung mulai Juli 2017 serba tak pasti. Peternak ayam petelur butuh pasokan jagung, sementara peternak ayam pedaging berharap bisa bekerja sama dengan perusahaan pakan mengolah jagung yang dibeli dari Bulog karena harga hasil produksinya bisa Rp 800 per kg lebih murah daripada pakan komersial.
Ketua Pataka Yeka Hendra Fatika menambahkan, selain jaminan pasokan, peternak berharap ada rencana alokasi, lokasi sasaran, dan pengaturan waktu pengiriman yang lebih baik jika pemerintah harus memenuhi kebutuhan dengan jagung impor. Peternak meminta problem distribusi dan temuan jagung rusak tidak lagi terjadi di kemudian hari.
Bantu cari
Direktur Komersial Perum Bulog Febriyanto menyebutkan, Bulog mendapat alokasi pengadaan impor jagung 200.000 ton tahun lalu. Jagung diharapkan terserap habis pada Februari 2017 atau setidaknya Mei 2017. Namun, sampai pertengahan Juni 2017 ini masih ada 62.900 ton yang belum terserap.
Keterbatasan gudang, armada pengiriman, dan kelancaran pembayaran menjadi penghambat. Menurut Febriyanto, permintaan dari peternak datang serentak, antara lain 75.000 ton ke Jawa Timur dan 30.000 ton ke Jawa Tengah. Akibat lamanya penyimpanan, sebagian jagung rusak dan tak layak dijadikan pakan ternak.
Djarot Kusumayakti meminta peternak dan asosiasi peternak yang hadir membantu mencari jagung. Jika ternyata jagung tidak ada, Djarot mengatakan kepada peternak agar meminta penjelasan kepada kementerian teknis. ”Mari sama-sama cari jagung. Jangan sampai kami cari sendiri, tetapi ternyata nanti tak terserap karena mutunya tak sesuai. Jika ada yang tahu di mana beri tahu kami, kami akan beli,” ujarnya.
Sejumlah pihak menilai data pemerintah terkait produksi jagung penuh kontroversi. Kementerian Pertanian menyebut, produksi jagung melebihi kebutuhan nasional. Namun, kalangan peternak dan pengusaha pakan mengatakan kesulitan mendapatkannya, atau jika ada harganya di atas harga acuan pemerintah.
Kementerian Pertanian melaporkan bahwa produksi jagung pada tahun 2015 mencapai 19,8 juta ton. Tahun 2016, produksinya disebut bertambah menjadi 23,1 juta ton, dengan luas tanam 4,8 juta hektar (ha) dan produktivitas 5,2 ton per ha. Tahun ini, target produksi dipatok sangat optimistis, yakni 30 juta ton dengan luas tanam 6 juta ha dan produktivitas 5,3 ton per ha.
Angka produksi itu melebihi kebutuhan jagung nasional yang sekitar 17 juta ton per tahun. Namun, sejumlah peternak dan pengusaha pakan menilai harga jagung tidak mencerminkan produksi yang surplus. Pada tahun 2015, industri pakan ternak masih mengimpor jagung hingga 3,07 juta ton. Tahun 2016, pemerintah mulai membatasi impor, lalu menghentikannya sejak awal tahun 2017. Realisasi impor jagung tahun 2016 turun menjadi 884.679 ton atau tinggal 29 persen dibadingkan tahun 2015.