Jakarta Fair, Disayang dan Diperebutkan
PNKA mengadakan penambahan kereta penumpang selama berlangsung Jakarta Fair, 17 Juni-29 Juli. Trayek kereta yang akan ditambahkan adalah Bandung-Jakarta dan Sukabumi-Jakarta. Kereta tambahan Bandung-Jakarta terdiri dari lima gerbong penumpang dengan kapasitas 450 orang.
Sedangkan kereta Sukabumi-Jakarta terdiri dari empat kereta penumpang dari Sukabumi dan dua kereta dari Bogor, dengan kapasitas sekitar 480 penumpang. Tarif jauh-dekat untuk trayek Bandung-Jakarta Rp 525 termasuk dana stasiun. Sementara tarif Sukabumi-Gambir Rp 120 dan Bogor-Gambir Rp 60.
Berita tersebut dimuat harian Kompas yang terbit tanggal 16 Juni 1972, atau tepat 45 tahun lalu.
Jakarta Fair atau JF yang kemudian disebut juga dengan Pekan Raya Jakarta (PRJ) selama 49 tahun telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perayaan hari ulang tahun Jakarta. Setiap tahun, sejak 1968 JF tak pernah absen diselenggarakan.
Hampir berusia setengah abad, JF dengan segala dinamikanya menjadi salah satu tujuan masyarakat untuk mendapatkan hiburan, menambah pengetahuan, berdagang, dan menjadi ajang pameran bagi pencapaian pemerintah maupun pelaku industri.
Setiap kali JF dibuka, nyaris selalu menampilkan tarian kolosal yang menarik minat masyarakat untuk menyaksikan. Setiap tahun tarian kolosal yang ditampilkan berasal dari daerah yang berbeda-beda. Kadang tarian itu merupakan kolaborasi dari dua-tiga daerah, seperti tarian dari Maluku dan Jawa Barat pada JF 1973 (Kompas, 12 Juni 1973), atau tarian dari Bali dan Betawi pada PRJ 1982 (Kompas, 1 Agustus 1982). Kebhinekaan Indonesia mewujud di sini.
Agak berbeda pada pembukaan PRJ (sebutan lain JF mulai 1975) tahun 1975. Kali ini tak ada tarian daerah, tetapi drum band dari 250 putri siswa Tarakanita yang tampil. Mengenakan pakaian berwarna-warni, sebagian dari mereka bergaya bak penari lalu membentuk huruf PRJ 75 sambil tetap memainkan alat musik masing-masing (Kompas, 16 Juni 1975).
Tahun 1991 adalah perhelatan terakhir PRJ di Monas, karena pada 1992 PRJ ke-25 dipindahkan ke Kemayoran. Kali ini, pembukaan PRJ dimeriahkan Sampoerna Marching Band plus tarian kolosal dari 300 penari asal Aceh (Kompas, 8 Juni 1991). Sementara pembukaan PRJ 1992 menampilkan marching band Korps Wanita ABRI dan 1.600 penari massal Betawi (Kompas, 21 Juni 1992).
Libur sekolah
Seiring berjalannya waktu JF kemudian menjadi pasar malam sekaligus ajang pameran tidak hanya bagi warga Jakarta dan sekitarnya, tetapi berskala nasional. Bahkan, setelah lokasi penyelenggaraannya dipindahkan dari Lapangan Monas ke kawasan Kemayoran JF menjadi agenda pameran berskala internasional. Luas areal JF yang semula di Monas 22 hektar (ha) menjadi 44 ha di Kemayoran.
Waktu penyelenggaraan JF sekitar bulan Juni-Agustus yang bersamaan dengan liburan sekolah, seringkali dimanfaatkan pula oleh warga dari berbagai provinsi lain di Tanah Air untuk membawa keluarganya berlibur sekaligus menikmati JF. Durasi JF bervariasi, dari 28 hari sampai 50 hari.
Sampai sekitar pertengahan 1980-an masih banyak orangtua bersama anak-anaknya menikmati JF. Ini menunjukkan, JF tetaplah menjadi hiburan bagi rakyat umumnya. Bahkan sebagian keluarga datang ke JF dengan gaya piknik, lengkap dengan membawa bungkusan makanan dari rumah dan tikar (Kompas, 2 Juli 1975).
Tak hanya Gubernur DKI Jakarta yang datang meresmikan pembukaan JF, tetapi Presiden Soeharto sendiri yang menekan tombol, “menerbangkan” 445 ekor burung merpati (sesuai usia Jakarta, 445 tahun) dan ratusan balon berhadiah warna-warni sebagai tanda dibukanya JF (Kompas, 19 Juni 1972).
Donat dan Transmigrasi
Dari masa awal JF, kue donat seakan menjadi oleh-oleh “wajib” bagi pengunjungnya. Kompas, 30 Juli 1984 menulis, dari lima stan donat di PRJ terjual sekitar 20.000 donat per malam. Padahal di samping donat ada ratusan stan yang memenuhi JF, seperti logam mulia alias emas, stan rumah murah, sampai stan tanaman anggrek dari Singapura (Kompas, 5 Juli 1972).
Sebagian instansi pemerintah pun membuka stan di JF. Tahun 1972 Bank Indonesia membuka stan untuk memasyarakatkan tabungan pembangunan nasional (Tabanas) dan tabungan asuransi berjangka (Taska). Untuk menarik pengunjung, Bank Indonesia membuka bagian pemancingan ikan plastik di stannya. Hadiahnya, mulai buku tulis dan uang dari Rp 750 sampai Rp 5.000 (Kompas, 10 Juli 1972).
Pada penyelenggaraan PRJ 1978 Polri mengisi salah satu stan dengan pameran bahaya narkotika. Ketika itu, 39 tahun yang lalu, Wakadispen Pokri Mabak Kol. Pol. Drs. Darmawan sudah menyatakan, tidak mustahil Indonesia menjadi batu loncatan perdagangan gelap narkotika (Kompas, 9 Juni 1978).
Di stan ini ditampilkan antara lain informasi tentang kematian pecandu narkotika yang umumnya 20 kali lebih cepat daripada orang biasa. Pecandu juga mudah berubah menjadi penjahat, demi mendapatkan narkotika. Penjelasan itu disertai pemutaran film dokumenter yang dibuat polisi, tentang kondisi anak muda yang kecanduan dan tak mendapatkan narkotika, juga tentang gejala-gejala pecandu narkotika.
Stan tersebut juga dilengkapi ruang konsultasi bagi pecandu yang ingin sembuh. Sebagian besar pecandu narkotika itu datang didampingi orangtuanya. “Ini lebih baik, karena kita bisa secara langsung berdialog dengan orangtua mereka,” kata Darmawan seperti dikutip Kompas, 22 Juni 1978.
PRJ yang variatif muncul antara lain dengan keberadaan “parade dan sulap” yang dilakukan sekitar 20 pesulap di salah satu panggung JF. Ketua Ikatan Seni Sulap dan Akrobatik Nasional Indonesia (ISSANI) R. S. Hadisoebroto mengatakan, sebenarnya mereka telah berpartisipasi pada JF sejak tahun 1968. “Setiap tahun kami tampil, kecuali pada tahun 1971,” katanya (Kompas, 10 Juni 1979).
Mulai tahun 1980 selain menyewakan stan-stan kepada para pengusaha, PRJ juga menyediakan tempat bagi sekitar 200 pengusaha ekonomi lemah. Mereka diberi lokasi khusus di dekat pintu gerbang sebelah timur PRJ (Kompas, 4 Juni 1980).
PRJ memang memiliki daya tarik tersendiri. Oleh karena itulah, meskipun jumlah pengunjung bisa naik-turun, PRJ tetap menarik sebagai ajang promosi. Pabrik baterai ABC dan grup produk elektronik National Gobel misalnya, adalah “peserta tetap” PRJ. Kompas, 30 Mei 1981 mencatat, kedua perusahaan itu selalu membuka stan sejak awal penyelenggaraan JF atau 13 tahun lalu.
Seiring dengan gencarnya pemerintah memasyarakatkan program transmigrasi dan keluarga berencana (KB), PRJ pun kebagian menjadi tempat pendaftaran bagi mereka yang ingin bertransmigrasi atau menjadi akseptor KB.
Pada PRJ 1983 misalnya, setidaknya tercatat 32 kepala keluarga atau 117 jiwa yang mendaftar untuk program transmigrasi. Mereka umumnya pedagang kecil dengan pendidikan lulus SD. Hanya satu-dua orang saja yang memiliki keterampilan khusus seperti tukang las dan tukang kayu (Kompas, 11 Agustus 1983). Sedangkan akseptor KB spiral gratis di PRJ tercatat lebih dari 50 orang (Kompas, 26 Agustus 1983).
Hiburan Rakyat
Sebagai hiburan rakyat, keberadaan penyanyi dan pelawak seakan menjadi keniscayaan pada setiap penyelenggaraan JF. Penghibur sekaliber Bing Slamet, Titiek Puspa, Emilia Contessa, Henny Purwonegoro dan grup lawak Agora Jenaka tampil pada JF 1972 (Kompas, 29 Juli 1972).
Pada PRJ 1976 tampil antara lain sang raja dangdut, Oma Irama. Kompas, 21 Juni 1976 menulis, begitu menariknya penampilan Oma Irama, membuat banyak kaum muda yang tak kebagian tempat menonton memilih memanjat tebok dan atap stan yang terletak di seberang panggung.
Akibatnya, tembok jebol dan atap yang disangga besi bertulang hancur menimpa penonton di bawahnya. Puluhan orang terluka. Kerugian pun diderita para penjual buah yang berada di sekitarnya. Sebab, di tengah kepanikan akibat robohnya tembok dan atap, banyak tangan jahat yang menyambar apel, anggur dan jeruk tanpa bayar.
Penampil lain di arena PRJ adalah penyanyi Hetty Koes Endang, Kris Biantoro, Bob Tutupoly, Mariance Mantaw, Christien Sukandar, juga kesenian asli Betawi, Orkes Sambrah dan irama melayu Sinar Deli. Tak hanya menampilkan para artis, PRJ pun menarik pengunjung lewat lomba memasak (Kompas, 17 Juni 1981).
PRJ yang berlangsung pada era 2000-an masih mengusung para artis. Pada PRJ 2003 misalnya muncul antara lain grup Sheila on 7, Slank, sampai penyanyi dangdut Inul Daratista dan Cici Paramida (Kompas, 15 Juli 2003). Tahun 2012 ada band Nidji, Yovie and Nuno, Ungu, Geisha, Cokelat dan Agnes Monica (Kompas, 7 Juli 2012).
Sebagai sarana hiburan keluarga, tak heran kalau pada setiap penyelenggaraan PRJ selalu muncul kasus anak hilang. Setiap malam bisa ratusan formulir kehilangan anak masuk ke bagian penerangan PRJ. Pada PRJ 1984 jumlah anak yang terpisah dari orangtuanya berkurang, hanya puluhan anak per malam.
“Kalau yang hilang anak usia 9-10 tahun mudah membujuknya, tetapi kalau anak umur 4-5 tahun kami repot karena anak menangis terus,” kata Ny. Watie Yudono, Kepala Seksi Protokol PRJ (Kompas, 26 Juli 1984).
Di samping itu, kesadaran untuk menjaga kebersihan pun belum memasyarakat. Setiap malam, petugas harus membersihkan areal PRJ dan mengangkut sekitar 10 ton sampah (Kompas, 4 Agustus 1983). Seiring berjalannya waktu, sampah PRJ juga meningkat. Tahun 2007 atau 24 tahun kemudian, jumlah sampah yang harus diangkut dari PRJ setiap malam minimal 44,8 ton (Kompas, 13 Juli 2007).
Untung Rugi
Meskipun membawa misi “hiburan rakyat”, namun keuntungan usaha menjadi bagian tak terpisahkan dari JF. Kompas, 8 Agustus 1972 menulis, JF disebutkan merugi sekitar Rp 10 juta. Tetapi hal itu disanggah Pemda DKI yang menyebutkan keuntungan penyelenggaraan JF mencapai sekitar Rp 60 juta.
Jumlah pengunjung pun dijadikan barometer sukses tidaknya penyelenggaraan JF. Meskipun pada 1975 Gubernur DKI Ali Sadikin menekankan bahwa keberhasilan penyelenggaraan PRJ bukan dilihat dari jumlah pengunjung, tetapi seberapa membantu percepatan perdagangan produk dalam negeri (Kompas, 16 Juni 1975).
Bagaimanapun, jumlah pengunjung menjadi pertimbangan bagi para pengusaha untuk menyewa stan PRJ atau tidak. Tahun 1968 tercatat jumlah pengunjung JF sebanyak 1.480.442 orang, tahun 1969 naik menjadi 3.069.762 orang, tahun 1970 turun menjadi 1.900.720 orang, dan 1971 naik lagi menjadi 2.031.186 orang.
Tahun 1976 jumlah pengunjung PRJ sekitar 1,5 juta orang dengan hasil penjualan karcis masuk sebesar Rp 200 juta. Di atas kertas, keuntungan bisa sekitar Rp 100 juta setelah dikurangi biaya penyelenggaraan yang mencapai Rp 880 juta (Kompas, 25 Mei 1976).
Dari sisi peserta PRJ, tahun 1977 jumlahnya tercatat 837, dan meningkat menjadi 1.021 pada 1978. Sementara jumlah pengunjungnya justru menurun, dari sekitar 1,7 juta orang (1977) menjadi 1,3 juta orang (1978).
Sementara pada penyelenggaraan PRJ terakhir di Monas tahun 1991, jumlah pengunjung sekitar 3 juta orang (Kompas, 8 Juni 1991). Sedangkan jumlah pesertanya tercatat 623. Tahun 1993 jumlah peserta PRJ di Kemayoran bertambah menjadi 830, tetapi pengunjungnya turun menjadi 2,3 juta orang (Kompas, 20 Juni 1993). Penurunan jumlah pengunjung ditengarai berkaitan dengan terbatasnya angkutan umum untuk mencapai lokasi PRJ Kemayoran.
Pada PRJ 1986 besarnya nilai transaksi selama 29 hari tercatat Rp 3,9 miliar (Kompas, 28 Juli 1986). Dalam waktu delapan tahun, nilai transaksi PRJ meningkat nyaris dua kali lipatnya. Pada PRJ 1994 besarnya transaksi melonjak hingga lebih dari Rp 7,4 miliar (Kompas, 2 Juli 1994).
Otomotif melaju
Seiring berjalannya waktu, PRJ di Kemayoran semakin lekat dengan perhelatan pameran industri dan perdagangan. Sementara unsur “pasar malam rakyatnya” makin menghilang. Pada PRJ ke-30 tahun 1997 Gubernur DKI Surjadi Soedirdja dalam laporannya mengatakan, dalam tiga tahun terakhir jumlah peserta PRJ terus meningkat.
Tahun 1997 peserta PRJ tercatat 2.600, dan perhelatan yang berlangsung selama satu bulan ini memberi lapangan kerja bagi 18.000 orang (Kompas, 15 Juni 1997). Jumlah pengunjungnya sekitar tiga juta orang.
Namun kerusuhan massal yang terjadi di Tanah Air pada 1997 berimbas pula terhadap PRJ. Kompas, 5 Juli 1998 menulis, beberapa stan di PRJ tahun 1998 kosong, peserta turun sampai 80 persen dari tahun sebelumnya.
Tahun 2000 pola “pasar malam” benar-benar ditinggalkan, PRJ lebih menjadi wadah promosi dagang. Sebaliknya, sebutan PRJ kembali menjadi JF. Dalam dua pekan berlangsungnya JF tercatat transaksi sebesar Rp 48,4 miliar dan negosiasi senilai Rp 20 miliar (Kompas, 29 Juni 2000). Dari jumlah tersebut, transaksi terbesar dari produk otomotif, sekitar Rp 25,5 miliar.
Nama PRJ kembali muncul pada 2001. Kali ini PRJ disebut-sebut mengalami defisit sekitar Rp 2 miliar. Pada PRJ ke-35 tahun 2002 total defisitnya bertambah menjadi Rp 7 miliar. Tahun 2003 penyelenggaraan PRJ diprotes sejumlah pedagang kakilima yang tak dilibatkan. Hanya ada sekitar 29 pedagang kerak telor di arena PRJ.
Sebagian perajin juga mengeluh karena lahan yang disediakan bagi mereka sempit. “Mana ekonomi kerakyatan yang ditonjolkan. Sekarang lebih pada orientasi bisnis, khusus untuk kalangan yang punya dana besar menyewa lokasi,” kata Sambudi Bakri, anggota Komisi B DPRD DKI (Kompas, 23 Juni 2003).
Sementara produk otomotif seperti Honda, Yamaha dan Kymco mampu menyewa area yang relatif luas di PRJ. Transaksi selama 32 hari PRJ 2003 berlangsung, mencapai Rp 208 miliar (Kompas, 15 Juli 2003). Siti Hartati Murdaya, Presdir PT Jakarta International Expo (JIE) menegaskan, akan mengubah citra JF menjadi berkonsep MICE Business (Kompas, 16 Juni 2004).
Nilai transaksi selama berlangsungnya JF pun melaju, tahun 2005 mencapai Rp 450 miliar. Bahkan diperkirakan bisa menembus Rp 500 miliar. Produk otomotif yang berhasil dijual berupa 9.782 unit sepeda motor dan 1.283 unit mobil (Kompas, 17 Juli 2005). Tiga tahun kemudian, pada PRJ 2008 nilai transaksinya lebih dari Rp 4 triliun, dengan jumlah pengunjung lebih dari empat juta orang (Kompas, 14 Juli 2008).
Ancol atau Kemayoran
Melihat jumlah pengunjung PRJ yang relatif terus meningkat dan terbatasnya lahan untuk memperluas tempat penyelenggaraan, muncul wacana memindahkan PRJ dari kawasan Monas, Jakarta Pusat ke Ancol, Jakarta Utara. Kompas, 18 Juni 1985 mencatat, rencananya PRJ akan diselenggarakan di Ancol mulai tahun 1983.
Dalam perjalanannya, kesulitan biaya membuat rencana itu tertunda. Meskipun lokasi PRJ di Ancol Timur seluas sekitar 40 ha sudah diresmikan Gubernur DKI Tjokropranolo pada 1980. “Biaya pembangunan fasilitas PRJ di Ancol diperkirakan Rp 60 miliar,” kata Ketua Penyelenggara PRJ Hutasoit (Kompas, 20 September 1982).
Pada masa Gubernur Tjokropranolo pula, muncul usulan dari Ketua DPRD DKI Jakarta Darmo Bandoro untuk memindahkan PRJ dari Monas ke lahan bekas lapangan udara Kemayoran. Kompas, 22 Juni 1988 menulis, kawasan Ancol seluas 42,5 ha batal digunakan untuk PRJ dan diubah peruntukannya sebagai taman impian.
Sebelumnya, tahun 1986 Gubernur DKI Soeprapto meminta gambar rencana PRJ di Kemayoran seluas 46 ha (catatan Kompas, 12 Maret 1990 menyebut 44 ha) segera diselesaikan. Alasannya, agar pada 1992 PRJ sudah pindah dari Monas ke Kemayoran.
Pembangunan PRJ di Kemayoran ditangani konsorsium swasta Jepang (Jakarta International Trade Fair Corporation/JITC) dan nasional dengan biaya sekitar Rp 440 miliar. Sarana dan fasilitasnya pun ditingkatkan, dari semula 15.000 meter persegi menjadi 80.000 meter persegi (Kompas, 12 September 1989).
Komposisi saham di PRJ lalu diumumkan, yakni sebesar 57,5 persen untuk Badan Pengelola Kawasan Kemayoran (BPKK) dan Yayasan PRJ, serta 42,5 persen milik pengusaha Jepang (Kompas, 12 Maret 1990). Jadilah, PRJ ke-24 tahun 1991 menjadi perhelatan terakhir di Monas. Kawasan Monas pun dikembalikan pada fungsinya semula sebagai ruang terbuka hijau.
Keterlibatan Jepang dalam PRJ sempat memunculkan isu tak sedap. Kompas, 3 Juni 1994 mencatat, pihak oposisi parlemen Jepang menuduh Menlu dan Wakil PM Michio Watanabe terlibat skandal suap di sini. Heboh itu pun sempat berdampak pada sejumlah pejabat Pemda DKI.
Industri
PRJ berawal dari gagasan untuk memperbaiki pameran industri Majelis Industri Indonesia (MII) yang diadakan sejak tahun 1956 sampai 1964. Pada 1967 gagasan itu dibawa kepada Gubernur DKI Ali Sadikin.
“Bang Ali serta merta menyambutnya dengan catatan: penyelenggaraannya harus dikaitkan dengan perayaan HUT Jakarta. Sebab itu, acara hiburan diikutsertakan dalam kegiatan ‘Jakarta Fair’,” tulis Kompas, 30 Mei 1981.
Namun dalam memoarnya, Demi Jakarta 1966-1977, Bang Ali mengatakan, JF diilhami kehadiran Pasar Gambir yang dimulai tahun 1921. Meski tak sempat menontong langsung, Bang Ali mendengar cerita dari kakak dan pamannya, juga membaca koran Bandung, Java Bode bahwa Pasar Gambir merupakan keramaian yang menyenangkan (Kompas, 16 Juni 1996).
Perdebatan tentang titik berat unsur hiburan atau pameran dalam PRJ pun sudah mencuat sejak 36 tahun yang lalu. Ada pihak yang menginginkan unsur hiburan lebih dominan, karena memang PRJ berawal dari pesta rakyat Jakarta. Tetapi pihak lain menginginkan unsur pameran dan transaksi dagang mesti diutamakan, demi mendorong industri dalam negeri.
Alhasil muncul JF yang menggabungkan unsur hiburan dan promosi demi mengembangkan perekonomian Indonesia pada 1968. Agar bisa dilangsungkan setiap tahun, dikeluarkan peraturan daerah (Perda) nomor 8 tahun 1968 yang isinya antara lain menetapkan JF sebagai agenda tetap tahunan Pemda DKI dan diselenggarakan menjelang perayaan HUT Jakarta setiap tanggal 22 Juni (Kompas, 15 Juni 1991).