Kisah-kisah yang Membebaskan
Itulah yang, antara lain, mengemuka dalam rangkaian acara Penganugerahan Cerita Pendek Pilihan Kompas 2016. Acara yang digelar pada Kamis (15/6) itu diikuti 20 cerpenis dari sejumlah daerah di Tanah Air.
Anugerah Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2016 kali ini jatuh pada karya Martin Aleida (74) berjudul ”Tanah Air”. Selain itu, cerpenis Triyanto Triwikromo terpilih sebagai penerima penghargaan Kesetiaan Berkarya 2017.
”Sastra umumnya dan cerita pendek khususnya, buat saya, membebaskan. Cerita pendek ini berangkat dari riset untuk karya jurnalistik saya berjudul ’Tanah Air yang Hilang’ tentang kehidupan para eksil Indonesia yang hidup di Eropa,” kata Martin.
Salah satu kisah utama yang diangkat dalam cerpen pemenang kali ini terkait kehidupan seorang mantan wartawan olahraga yang pada 1965 terdampar di Beijing, China, dan tak dapat kembali ke Tanah Air akibat persoalan politik ketika itu.
Sang tokoh hidup menderita dan mengalami keguncangan jiwa lantaran terpaksa meninggalkan istri dan putranya yang kala itu masih berusia 10 tahun. Setelah bertahun-tahun, keluarga itu akhirnya dipertemukan di Belanda.
Namun, sayang, sang tokoh akhirnya memilih untuk bunuh diri dengan melompat dari lantai delapan apartemen di Belanda. Salah satu tekanan yang paling berat dan semakin memicu kesedihan serta mengguncang jiwa adalah lantaran putra satu-satunya sang tokoh menganggap dirinya sebagai pengkhianat keluarga yang menelantarkan keluarganya.
Sang istri, kata Martin, bercerita kepada dirinya dengan sangat lugu. Semua hal diceritakannya. Saat Martin menanyakan bagaimana istri sang tokoh dari risetnya itu ingin kisahnya dituliskan kembali, perempuan tersebut menyerahkan sepenuhnya kepada Martin.
”Saat menyusun hasil riset itu, saya merasa tersiksa dan bingung. Bagaimana saya harus menyusun kisah yang disampaikan dengan sangat jujur dan lugu seperti itu. Akhirnya saya putuskan saya harus membuat cerita pendek supaya saya bebas, untuk kemudian mengerjakan hasil riset tadi,” tutur Martin.
Dalam ceritanya itu, Martin menambahkan sejumlah detail, seperti sang tokoh mencintai istrinya lantaran bentuk betisnya yang dinilai indah. Selain itu juga dikisahkan tentang segenggam tanah yang dibawakan dari Indonesia. Tanah itu ada dalam genggaman sang tokoh saat dia tewas bunuh diri.
Pengalaman serupa dipaparkan sastrawan Ahmad Tohari saat berbagi pada acara Ngabuburit dengan Cerpenis Kompas yang digelar beberapa jam sebelum acara penganugerahan karya cerpen terbaik. Ahmad Tohari mengisahkan beragam tekanan dan ancaman yang dialaminya saat menghasilkan karya triloginya, Ronggeng Dukuh Paruk.
”Tidak pernah ada karya sastra berangkat dari ruang kosong. Terkadang saya menggabungkan realisme dengan fantasi. Saya menulis dengan kenekatan, yang dipicu rasa tanggung jawab lantaran ingin mengungkapkan peristiwa besar ini. Namun, untuk itu, saya harus melawan ketakutan,” ujarnya.
Dalam pidato sambutannya, Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo mengilustrasikan, cerpen juga dapat menggambarkan situasi kegalauan bangsa, kegeraman atas situasi berbangsa, kegeraman terhadap korupsi, dan perkembangan politik.
Kondisi itu tampak pada tahun 2014 yang juga menjadi tahun politik. Saat itu, mengutip data Pusat Informasi Kompas, Budiman menyebut ada peningkatan signifikan jumlah cerpen yang dikirimkan hingga mencapai 5.600 tulisan atau 16 cerpen per hari.
”Ketika jurnalisme dihadapkan pada situasi yang mencekam, cerita pendek bisa menjadi katarsis yang memunculkan. Terkadang cerpen juga bisa memunculkan realitas-realitas sosial sebagai jawaban ketika realitas-realitas itu tidak bisa tersampaikan saat jurnalisme dihadapkan dengan ketakutan,” ujar Budiman.
Sebagai rangkaian dari acara penganugerahan ini, digelar pula Kelas Cerpen Kompas yang diikuti 15 peserta dari sejumlah daerah, 14-15 Juni. Dalam kelas itu, peserta belajar menggali ide cerita hingga bisa mewujudkannya menjadi sebuah cerpen.
Cerpen pilihan ”Kompas”
Dewan juri menetapkan 20 Cerpen Pilihan Kompas 2016, yang ternyata memunculkan kecenderungan empat tema besar, yakni kekejamam rezim dalam pergolakan politik, relasi sosial yang tak setara, relasi personal yang rumit, dan tema tradisi dengan varian spiritualitas. Hal itu disampaikan anggota dewan juri, Putu Fajar Arcana.
Sebanyak 20 Cerpen Pilihan Kompas 2016 dibukukan dengan judul Tanah Air. Dalam buku itu, Putu menuliskan ”Pengantar Dewan Juri-Proyek Sosial dan Adonan Roti”. Putu menyoroti salah satu hal yang menjadi bahan-bahan dasar untuk diolah menjadi cerita, yaitu realitas kekerasan ”faktual”.
Dalam malam penganugerahan itu, pianis Ananda Sukarlan (49) memainkan karya komposisinya yang terinspirasi cerpen Martin. Menurut dia tak sulit memahami rasa keterasingan dan kerinduan terhadap tanah air dan bangsa sendiri, seperti dikisahkan dalam cerpen tersebut. Ananda cukup lama menjadi imigran yang menetap di Spanyol.
Komposisi musik karya Ananda tersebut dibawakan juga oleh penyanyi sopran muda, Mariska Setiawan. Dalam lagu tersebut, Mariska dengan penghayatan yang dalam mewakili tokoh istri yang kehilangan suaminya, seperti dalam kisah ”Tanah Air”.
Ananda menggarap komposisi berdurasi sekitar 20 menit tersebut selama dua bulan. Dia mengatakan, sejatinya kisah ”Tanah Air” ini akan dibuat sebagai komposisi utuh setidaknya selama 45 menit. ”Saya tidak akan menggarap suatu karya sastra menjadi musik kalau karya itu tidak benar-benarklik dengan saya. Kebetulan ketika membaca ’Tanah Air’ pertama kali langsung kena,” ujarnya.