Siapa yang menyangka pianis maestro Ananda Sukarlan ternyata juga berbakat menjadi komika? Dalam perhelatan Malam Jamuan Cerpen Kompas 2017 di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (15/6), Ananda sukses membuat pengunjung terbahak berkali-kali. Imaji tentang pentas musik klasik yang serba serius, penuh aturan ketat, langsung rontok.
Sebelum mementaskan komposisi musik yang diciptakannya dari cerpen ”Tanah Air” karya Martin Aleida, Ananda bercerita singkat tentang prosesnya mencipta komposisi tersebut. Dia menangkap rasa homesick, kangen kampung halaman, dari cerpen tersebut, yang beresonansi dengan dirinya sendiri yang sejak muda sudah berkarier di negeri orang. Tanpa diduga arahnya, Ananda lantas menyentil soal isu politis yang masih hangat terkait seseorang figur publik yang tengah dicari-cari yang memilih berdiam di luar negeri. Gerrrrrr…. Para pengunjung yang menangkap maksudnya pun langsung tertawa. Begitu pula saat dia sedikit berfilosofi soal musik yang sejatinya tak bisa berbohong ketimbang kata-kata, seperti yang gemar diproduksi politisi.
Salah seorang pengunjung pada malam itu, Yuni Anggreini, menulis dalam akun Facebook-nya, mengomentari soal aksi Ananda di panggung. ”Ananda adalah pianis Indonesia yang mendunia. Saya bangga banget sama dia, apalagi pas tahu dia Gemini kayak saya. Ngomong-ngomong, siapa sangka Ananda berbakat menjadi stand up comedians. Asli kocak! Wahai stand up comedians di luar sana, beware, beware!”
Lini masa berbagai media sosial pada malam itu pun ramai menyebut-nyebut pementasan Ananda dan penyanyi sopran Mariska Setiawan yang memesona. Ananda sendiri cukup interaktif di media sosial. Ia bisa dicolek di Twitter dan Instagram lewat akunnya, @anandasukarlan.
Pianis yang mengaku sulit bangun pagi ini boleh jadi memang punya bakat terpendam yang dirinya sendiri mungkin tak menyadari. Ananda memberi kesegaran tersendiri dalam menampilkan pentas musik klasik. Tak lagi konvensional seperti imaji konser musik klasik yang telanjur diyakini awam. Oleh karena itu, ia cenderung lebih senang menyebut kemasan pentasnya sebagai talk show, bukan semata disebut sebagai konser.
Ananda memberi ruang interaksi dengan audiens sebelum dan di antara pementasannya dengan pembawaan yang santai. Pengunjung acara Malam Jamuan Cerpen Kompas 2017 yang menonton pada malam itu pun diberi kesempatan bertanya padanya. Suasana pun terasa rileks, cair, tak berjarak, tanpa kehilangan keanggunan ketika alunan denting piano mengalir lewat jemari Ananda.
”Faeces”
Tak hanya kemasan pementasannya yang berbeda dari pakem, kadang dia bisa mengungkapkan gagasan dengan metafora yang ”ajaib”. Menurut dia, karya seni itu, termasuk yang berupa musik, sebenarnya bisa diumpamakan seperti kotoran manusia alias faeces. Ini bukan dalam rangka merendahkan. ”Begini, apa yang kita makan, itu kita olah, lalu keluar sebagai faeces. Nah, itu karya seni kita. Jadi apa dan bagaimana yang keluar, tergantung dari apa saja yang kita makan, gimana tubuh kita mengolahnya,” kata Ananda.
Pemahaman itu dijelaskan Ananda dalam rangka menjelaskan bahwa apa yang disebut musik klasik itu tidak bisa melulu dipaksakan atau didefinisikan sebagai musik (klasik) Eropa. Tradisi yang melahirkan Ludwig van Beethoven, misalnya, berbeda dengan musikus yang lahir dan tumbuh dewasa di Indonesia.
Musik-musik atau ragam bebunyian yang dicerna musikus yang lahir dan tumbuh dewasa di Indonesia berbeda dengan musikus di Eropa. Oleh karena itu, menurut dia, musikus (klasik) Indonesia harus berani menunjukkan identitas perbedaan yang tecermin dalam karya mereka, tanpa ”terkooptasi” citra musik klasik Eropa. Perbedaan itulah yang menurut dia menjadi berkah dan kekuatan.
Omongan Ananda ini bukan sekadar berteori saja. Ia membuktikan, sebagai musikus yang sadar akan identitas keindonesiaannya, ia justru jadi dihormati di pentas dunia. Ananda pernah didapuk pihak Kerajaan Spanyol bertugas di Dewan Kesenian Kerajaan Spanyol untuk berkontribusi memperkaya khazanah musik klasik Spanyol yang sempat dianggap sudah mentok. Berkat Ananda-lah, unsur keindonesiaan menyusup dalam musik klasik Spanyol.
”Misalnya saya pernah dengan composer David del Puerto dan Jesus Rueda, kami di dewan kerja sama dan ke luar negeri menjadi semacam duta dari Spanyol. Dari David del Puerto ada judulnya ’Simfoni Nusantara’. Lalu dengan Jesus Rueda ada sonata ’Ketjak’. ’Simfoni Nusantara’ dibawakan ke Venice Bienalle di Venezia tahun 2006,” tutur Ananda.
Selain dikenal sebagai musikus yang gemar merespons karya sastra menjadi komposisi musik, Ananda juga gemar menulis komposisi berdasarkan interpretasinya atas karya-karya lukis. Alih rupa karya semacam ini juga menuntut ketajaman intuisi tersendiri. Misalnya saja ia pernah menulis komposisi berdasarkan lukisan ”Bacchus and Ariadne” karya pelukis besar asal Italia dari zaman Renaisans, Titian atau Tiziane Vecelli. Komposisi itu diberinya judul ”Rescuing Ariadne”.
”Ternyata setelah saya kelar, fokus saya itu ke langitnya. Bukan ke foreground-nya. Saya jadi mikir, kenapa langitnya sangat menarik saya. Terus saya cari di Google, Titian itu pakai langitnya itu untuk menggambarkan suasana yang ada di bawahnya,” kata Ananda.
Di sinilah kepiawaian Ananda, ketika dengan naluri musikalnya, ia mampu menangkap hal-hal yang subtil dan tersirat. Langit biru cerah dalam lukisan ”Bacchus and Ariadne” yang mungkin dicerna orang awam sekadar latar estetis semata, ternyata justru materi yang bermakna. Seperti juga ketika Ananda menangkap celah ”kosong” di antara kata-kata dalam karya sastra, yang sebenarnya bukan kosong, tetapi justru suatu pesan yang bermakna.
Karena itu, hati-hatilah kalau ingin membohongi musikus, ia mampu menangkap yang tersembunyi di balik nihilnya kata-kata dan kekosongan.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.