YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah dapat membuat kebijakan pengendalian wabah demam berdarah dengue menggunakan metode penyisipan bakteri wolbachia ke tubuh nyamuk Aedes aegypti. Namun, metode ini harus dipastikan efektif menanggulangi wabah secara berkelanjutan.
Dihubungi pada hari Minggu (18/6), Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta Pembayun Setyaningastutie mengatakan, hasil riset nyamuk wolbachia dalam dua tahun terakhir memunculkan harapan untuk menekan angka demam berdarah dengue (DBD) secara alami.
Meski demikian, pihaknya tetap berhati-hati dalam memberikan penilaian terhadap hasil riset tersebut. ”Pemantauan selama dua tahun menunjukkan, tidak ada penularan lokal di wilayah penyebaran nyamuk ber-wolbachia, tetapi hal ini bisa juga disebabkan faktor lain, salah satunya cuaca,” ujarnya.
Pembayun mengatakan, Dinas Kesehatan DI Yogyakarta mendukung penuh riset nyamuk wolbachia yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, berkerja sama dengan Eliminate Dengue Project (EDP)-Yogya.
Bentuk dukungan pemerintah daerah di antaranya berupa izin perluasan surveilans nyamuk ber-wolbachia untuk menguji efektivitas teknologi, ataupun data mutakhir terkait situasi penyebaran penyakit demam berdarah dengue di DI Yogyakarta.
”Ekspektasi kami tetap ingin hasil penelitian ini berhasil sesuai waktunya pada 2019 nanti, kemudian selanjutnya dapat dihilirasi dan diterapkan di seluruh Provinsi DIY,” ujar Pembayun.
Program EDP dimulai sejak Oktober 2011, diprakarsai tim peneliti Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, dengan pendanaan dari Yayasan Tahija Indonesia.
Fokus utama EDP adalah mencegah penularan virus dengue dengan bakteri wolbachia. Bakteri wolbachia umum ditemukan pada serangga untuk menghambat pertumbuhan virus dengue di tubuh nyamuk.
Bakteri itu akan diteruskan pada keturunan nyamuk agar menyebar di populasi nyamuk di alam sehingga menghambat pertumbuhan virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD.
Bakteri wolbachia pada nyamuk betina dapat diturunkan kepada anaknya meski jantannya tidak ber-wolbachia. Virus dengue dalam nyamuk ber-wolbachia tidak akan tumbuh sehingga orang yang diisap darahnya oleh nyamuk dengan bakteri wolbachia tidak akan tertular DBD.
Efektivitas biaya
Pembayun menambahkan, hilirasi penelitian nyamuk wolbachia sebagai program pemerintah daerah dapat dilakukan bila penerapannya terbukti dapat lebih efektif memberantas DBD dibandingkan dengan program yang sudah ada sebelumnya, seperti pemberian vaksin dengvaxia.
Selain itu, pihaknya akan menghitung pula efektivitas dari pembiayaan program penyebaran nyamuk dengan wolbachia dan membandingkannya dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk program yang telah berjalan.
”Kalau secara efektivitas dinilai lebih baik dan biayanya lebih mahal daripada program Kementerian Kesehatan, tentu kami akan melanjutkan program yang sudah ada,” ujar Pembayun.
Secara terpisah, peneliti EDP, Riris Andono Ahmad, mengatakan, pada tahun ini fokus penelitian akan dilakukan untuk melihat daya tahan bakteri wolbachia untuk berkembang di lingkungan alami. ”Tetapi kami juga mulai memperhitungkan efektivitas pembiayaan dari penerapan program ini,” kata Riris.
Pemantauan dan riset perkembangan kasus DBD dan dampaknya pada penyebaran DBD akan dilakukan pada tahun 2019. Pada tahun itu, ditargetkan kasus DBD turun 50 persen.
Riris mengatakan, jika hasil penelitian memenuhi target, tugas dari tim peneliti EDP selanjutnya adalah menghilirisasi hasil penelitian. Salah satu caranya dengan melakukan advokasi kepada pemerintah untuk menanggulangi DBD menggunakan metode nyamuk ber-wolbachia.