JAYAPURA, KOMPAS — Bank Papua menyiapkan sejumlah perbaikan untuk menurunkan rasio persentase kredit bermasalah yang mencapai 15,93 persen atau senilai Rp 2,06 triliun di bank tersebut. Persentase kredit macet ini merupakan yang tertinggi di antara bank pembangunan daerah di Indonesia.
Hal ini disampaikan Direktur Utama Bank Papua F Zendrato di Jayapura, Papua, Kamis (22/6). Zendrato mengatakan, sejumlah regulasi telah ditetapkan untuk menekan tingginya rasio kredit bermasalah, antara lain membatasi nilai pinjaman hingga Rp 50 miliar, merestrukturisasi kredit yang memiliki prospek yang bagus, dan mengupayakan debitor yang tak mampu melunasi utangnya agar menjual jaminannya dengan batas waktu yang telah ditentukan.
”Apabila debitor yang bermasalah itu tak mau menjual aset yang menjadi jaminannya, kami yang melelangnya. Kami juga akan lebih fokus untuk memberikan kredit bagi usaha kecil dan menengah,” ujar Zendrato.
Ia mengakui, penyebab tingginya rasio kredit bermasalah karena perbuatan oknum pegawai yang memberikan kredit bernilai besar kepada debitor tanpa sesuai prosedur. ”Sejak dilantik pada Maret 2017, saya dan direksi Bank Papua yang baru telah memberhentikan 50 pegawai dan memberikan sanksi bagi 90 pegawai lainnya. Kami telah berhasil menurunkan rasio kredit bermasalah dari 19 persen hingga 15,93 persen selama tiga bulan terakhir,” tuturnya.
Ia pun menyatakan akan memberikan pembinaan terhadap pegawai Bank Papua, khususnya di bidang analisis kredit, agar lebih teliti dalam memberikan pinjaman bernilai besar. ”Kami juga berencana menutup tiga kantor cabang Bank Papua di Jakarta yang kurang produktif untuk mendatangkan profit,” lanjutnya.
Sementara itu, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Papua dan Papua Barat Misras Pasaribu mengungkapkan, tingginya rasio kredit bermasalah Bank Papua yang melebihi batas maksimal 5 persen itu mulai terjadi pada 2014.
”Tingginya nilai kredit bermasalah dipicu perubahan pola pemberian kredit Bank Papua dari kredit konsumtif ke kredit produktif yang meliputi modal kerja dan investasi. Namun, kebijakan yang dimulai pada tahun 2010 ini tidak dilengkapi dengan penyediaan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai, seperti tenaga analisis kredit bernilai besar,” ujar Misras.