Lenong, Drama Komedi Betawi yang Tak Mau Mati
Pada 1970-an lenong berkembang cepat. Kalau dulu lenong dianggap sebagai hiburan ”kampungan” dengan penonton yang umumnya kurang berpendidikan, sekarang setiap kali pentas di Taman Ismail Marzuki atau TIM Jakarta, sebagian penontonnya berasal dari kalangan ”intelektual”.
Sekitar 3.000 kursi di Teater Terbuka TIM selalu penuh dengan pelajar, mahasiswa, orang-orang gedean, dan beberapa kali terlihat perwira ABRI. Mereka suka menonton lenong karena lucu. Dialog-dialognya spontan, tetapi mampu membuat penonton tertawa lebar. Kehadiran mereka di TIM tak lepas dari campur tangan Sumantri Sastrosuwondo dan D Djajakusuma yang dibantu SM Ardan dan Ali Shahab.
Tulisan tersebut dimuat di harian Kompas yang terbit pada 23 Juni 1970 atau tepat 47 tahun lalu.
Lenong adalah drama komedi yang tumbuh menjadi kesenian tradisional masyarakat Betawi. Menurut Sekretaris Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) Sumantri Sastrosuwondo, lenong yang memainkan cerita-cerita khas Jakarta dimulai sekitar tahun 1930. Meski diakuinya, tak ada dokumen otentik mengenai lenong (Kompas, 5 Mei 1973).
Para pemainnya—disebut panjak—kebanyakan orang Betawi sehingga dialog-dialog yang mereka sampaikan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Lenong dilengkapi gambang kromong sebagai musik pengiringnya. Di sini ada suling, tehiang, gambang, sukong, kempul,cecer, tambur, gong, kendang, dan kromong.
Kebanyakan pemain lenong menjadikan laku seninya itu sebagai kecintaan karena secara umum tak bisa dijadikan sumber mata pencarian utama. Memang ada beberapa pemain lenong yang kemudian moncer dan bisa hidup berkecukupan dari laku seninya, seperti Bokir dan Mandra.
Akan tetapi, pada umumnya pemain lenong mempunyai pekerjaan lain untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Kalau malam hari mereka menjadi bintang panggung, pagi-siang harinya mereka bekerja sebagai kuli angkut, tukang loak, tukang sayur, tukang cukur, tukang rokok, penjaja minyak wangi, petugas keamanan, atau petugas kebersihan (Kompas, 12 Mei 1973).
Sebagian pemain lenong berpendidikan rendah, bahkan tak sedikit yang buta huruf. Meskipun begitu, kemampuan improvisasi dan memainkan dialog-dialog yang mengocok perut penontonnya tak diragukan. Sampai tahun 1980-an lenong masih dikenal dan berpentas untuk meramaikan hajatan, terutama di daerah-daerah pinggiran kota Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, dan Kabupaten Bogor.
Selain tampil pada hajatan di kampung-kampung seputar Jakarta, lenong juga berpentas di TIM Jakarta. Kelenturan lenong membuat tontonan penuh humor dan pencak silat ini juga diterima manggung di kampus Universitas Indonesia Salemba (Kompas, 7 Juli 1970). Seniman lenong yang populer di antaranya Anen, Mamit, Nasir, Toha, Nasrin, dan Mpok Siti.
Kepopulerannya semakin menasional ketika lenong tampil di layar TVRI. Kompas, 20 November 1972, menulis, pemain lenong mampu beradu akting dengan aktor yang menjadi bintang tamunya, seperti Tan Tjeng Bok, Hamid Arief, Mansyur Syah, aktris Fifi Young dan Nety Herawaty.
Ninuk Kleden Probonegoro MA, antropolog dan peneliti perkembangan seni budaya Betawi, mencatat, pada 1969 di Jakarta ada 109 grup lenong, di Tangerang 332 grup, di Bogor 60 grup, dan di Bekasi ada 119 grup lenong (Kompas, 4 Agustus 1986). Tanpa menyebutkan jumlahnya, Ninuk meyakini jumlah grup lenong terus menyusut seiring berjalannya waktu.
Ragam cerita
Meskipun kerap mengangkat cerita-cerita jagoan klasik, seperti Si Pitung atau Si Jampang melawan kekejaman penjajah Belanda, pada perjalanannya kisah-kisah yang ditampilkan lenong beragam seiring dengan dinamika penontonnya. Kompas, 30 April 1971, menulis tentang salah satu pertunjukan lenong berjudul ”Brandal Ciliwung”.
Kisahnya menampilkan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Betawi seiring dengan perubahan Jakarta menjadi kota metropolitan. Ada keluarga yang anak-anaknya tumbuh menjadi berandalan dan suka nongkrong di pinggir Kali Ciliwung karena kedua orangtuanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Pengaruh Jakarta juga menghinggapi keluarga ibu penjual gado-gado. Sang putri yang bernama Siyem maunya dipanggil Elsye. Si Elsye suka memakai rok maxi dengan belahan tinggi di sisi kiri-kanannya. Kalau dulu Siyem memanggil orangtuanya nyak-babe, kini menjadi mami-papi. Kehidupan malam pun disindir lewat tokoh Tante Kunti dan Om Bret. Meskipun rambutnya sudah beruban, mereka suka sekali pesta. ”Bujur buset, bekas pesta kemaren belon beres dibenahin, eh udah mau pesta lagi!”
Di TIM, meskipun di depan penonton yang relatif terpelajar, pemain lenong tetap percaya diri menampilkan kisah ”Ronggeng Krawang”. Di sini banyak tampilan pencak silat karena ceritanya tentang kehidupan ronggeng yang dikitari jagoan anak buah Mat Sundel.
Tak hanya jagoan lelaki yang tampil dalam lenong. Sesuai judulnya, di antara ronggeng itu ada Rogayah, perempuan yang kemudian berguru silat demi melampiaskan dendamnya dan menolong ronggeng yang tak mampu berkutik di bawah tekanan Mat Sundel dan anak buahnya (Kompas, 19 Mei 1971).
Tahun 1980 cerita soal pungutan liar dan ”upeti resmi” muncul di TIM dengan judul ”Bek Tabroni”. Kompas, 18 September 1980, menulis, obrolan tentang kesewenang-wenangan penguasa itu menyebar di jalan. Rakyat marah sekaligus tak berdaya. Semua kisah nyata sehari-hari itu dikemas dengan gaya humor dan lemparan lelucon di sana-sini. ”Kalau tak bisa melawan, ya ditertawakan saja.”
Sindiran dan katup kegelisahan rakyat juga muncul pada lakon ”Makelar Tengik” pada pertunjukan lenong di TIM tahun 1986. Beralasan demi pembangunan kota Jakarta, warga Betawi harus merelakan tanahnya. Gedung-gedung pencakar langit muncul di tengah perkampungan mereka, makelar tanah pun berkeliaran.
Rakyat pun bertanya, ”Ee maen bangun sembarangan, duit bayarannya mane dulu dong?” (Kompas, 4 Agustus 1986). Ini karena pengusaha berhubungan dengan makelar tanah, tak mau repot berurusan langsung dengan rakyat. Alhasil, uang masuk ke kantong makelar, rakyat pun gigit jari.
Lenong juga piawai mengadaptasi kisah populer meskipun bukan berasal dari kehidupan sehari-hari komunitas asalnya. Mereka antara lain mengadaptasi kisah Romeo-Juliet, karya sastrawan Inggris Shakespeare, menjadi Rameni dan Juleha (Kompas, 19 Maret 1973).
Penonton aktif
Seperti umumnya kesenian tradisional di Tanah Air, lenong di pentas perhelatan bermain semalam suntuk. Ketika lenong diangkat ke layar kaca dan menjadi tontonan di TIM Jakarta, durasinya disunat menjadi 3-4 jam saja.
Di kampung-kampung, penonton lenong tak pasif. Mereka bisa mengomentari apa pun yang tengah berlangsung di panggung. Penonton juga bisa meminta lagu saat gambang kromong beraksi. Namun, di panggung seperti TIM, penonton ”sekadar” menikmati aksi pemain lenong.
Kompas, 28 Juli 1970, mencatat, pentas lenong di kampung biasanya dibuka dengan lagu, lalu tarian, pencak silat, dan banyolan pembuka. Pada bagian ini, penonton bisa meminta lagu dan tarian dengan memberi saweran seikhlasnya. Saweran itu menjadi tambahan penghasilan bagi kelompok lenong bersangkutan.
Setelah itu pemain utama tampil dan bercerita tentang tokoh yang dimainkannya sambil berpantun dan menari. Bagian awal pentas lenong di kampung itu biasanya dihilangkan saat lenong tampil di panggung ”resmi”, seperti TIM dan televisi.
Lenong tak mengenal skenario detail. Pemain ”cukup” dibekali garis besar jalannya cerita. Bagaimana dialog dan akting di panggung bergantung pada improvisasi setiap pemain. Banyolan dan kelucuan muncul secara spontan. Kelenturan lenong itu membuat penonton bisa turut ”memengaruhi” panggung.
Meski lentur, lenong ternyata kewalahan ketika harus bersaing dengan layar tancep dan dangdut. Kondisi ini mulai tampak pada akhir 1970-an. Layar tancep dan dangdut dengan organ tunggal sudah bisa dimainkan dua orang. Namun, menggelar lenong, puluhan orang terlibat, mulai dari pemain, penabuh gambang kromong, sampai pengangkut properti pertunjukan.
Hanya dengan beberapa ratus ribu, tamu sudah terhibur dengan layar tancap atau dangdutan. Namun, memanggil lenong berarti sang empunya hajat harus menyediakan uang jutaan rupiah. Padahal, keramaiannya relatif sama, pedagang kaki lima pun bakal memenuhi tempat pertunjukan berlangsung.
Tahun 1984 tarif menanggap lenong Rp 350.000-Rp 500.000 (Kompas, 23 Desember 1984). Tahun 1990-an tarifnya Rp 2,5 juta-Rp 4 juta (Kompas, 9 Juli 1997). Tahun 2000-an tarifnya Rp 6 juta-Rp 7 juta. ”Kalau panggil grup saya komplet dari dangdut, gambang kromong, sampai lenong ya bisa Rp 15 juta-Rp 20 juta,” kata Mpok Nori, pemimpin grup Sinar Noray (Kompas, 7 Juli 2005).
Menggaet yang muda
Agar lenong berumur panjang, diadakanlah festival dan lomba lenong di TIM pada 1977. Kegiatan itu diadakan antara lain dengan pertimbangan, ”Mumpung seniman lenong senior masih bisa memberi contoh dan berbagi pengalaman dengan para calon penerus mereka” (Kompas, 15 Februari 1977).
Selama ini pemain lenong biasanya keluarga, teman, tetangga, atau ”dilahirkan” secara turun-temurun. Bokir, misalnya, mewarisi grup lenong Setia Warga dari sang ayah, Dji’un. Nasir, salah seorang pemain intinya, adalah teman Bokir sejak kecil (Kompas, 23 Desember 1984).
Sementara Mandra dan adik-adiknya, Mastur dan Omaswati, juga menggawangi lenong. ”Saya ’lahir’ di panggung,” kata Mandra yang sejak umur 12 tahun bergabung dengan kelompok lenong Setia Warga. Haji Bokir masih terhitung kerabat Mandra (Kompas, 13 Juli 2003).
Sepanjang tahun 1974-1978 jumlah peserta festival dan lomba lenong meningkat meski amat tipis. Tahun 1974 ada 6 grup lenong, pada 1975 tercatat 8 grup, tahun 1976 dan 1977 masing-masing 10 grup, dan tahun 1978 ada 12 grup (Kompas, 21 Desember 1978).
Selain itu, pementasan lenong pun direkam dalam bentuk kaset. Dengan demikian, penggemar lenong tetap bisa menikmati lelucon sambil membayangkan akting pemain lenong di panggung tanpa terikat waktu dan tempat (Kompas, 5 November 1977).
Alhasil sampai tahun 1990-an lenong tetap bertahan. Kompas, 19 April 1991, mencatat, Lenong Pekayon atau Gaya Muda pimpinan Tunah dengan awak 32 orang memenuhi permintaan manggung di Kampung Kebon Nanas, Kelurahan Cikokol, Tangerang. Di sini gambang kromong tak lagi menarik minat penonton dan permintaan lagu yang banyak muncul adalah dangdut dan keroncong.
Lagu ”Cente Manis”, ”Jali-jali”, ”Bunga Siantan”, dan ”Stambul” tidak lagi terdengar. Perubahan selera masyarakat membuat malam itu yang mengalun adalah lagu-lagu dangdut, seperti ”Sekuntum Mawar Merah”. Di belakang panggung, Tunah yang memimpin lenong sejak tahun 1955 gelisah memikirkan kelangsungan hidup kesenian ini.
Jangankan orang lain, anaknya sendiri tak tertarik berkecimpung di dunia lenong. ”Saya sering membujuk anak saya, Ana (22) dan Supiyani (15), agar ikut main, tapi tidak mau. Kalau lagi main, saya ajak mereka. Tapi, ya gimana, disuruh nyanyi di panggung saja malu,” kata Tunah.
Kalau pada 1980-an grup lenong bisa naik pentas nyaris setiap malam. Bahkan, di bulan-bulan sepi, seperti bulan puasa, pun mereka bisa tampil 5-6 kali sebulan (Kompas, 23 Desember 1984), pada tahun 1991 dalam sebulan mereka hanya manggung 1-2 kali. Tahun 2000-an belum tentu dalam satu-dua bulan ada pesanan lenong naik panggung (Kompas, 7 Juli 2005).
Kembali lagi
Bagaimanapun lenong tak mau mati. Tahun 1997 grup Subur Jaya pimpinan Haji Nirin tampil di Graha Bhakti Budaya TIM selama 40 menit. Dengan pemain antara lain Mpok Nori dan Bolot, mereka berkisah tentang perjodohan sesuai keinginan orangtua yang tak lagi sesuai dengan zamannya (Kompas, 13 Agustus 1997).
Tak hanya di gedung pertunjukan, meski terseok-seok lenong tetap hadir di komunitasnya. Kelompok lenong Sinar Noray pimpinan Mpok Nori pada 2005 menghibur tamu dalam hajatan di Desa Paku Jaya, Kecamatan Serpong Utara, Tangerang Selatan (Kompas, 7 Juli 2005).
Dengan awak panggung 70 orang, Sinar Noray tampil sejak sekitar pukul 13.00, mulai dari dangdutan sampai pentas lenong di tengah malam. Pertunjukan itu tak hanya menghibur tamu hajatan, tetapi juga mengundang perhatian pencinta lenong dari daerah sekitarnya, seperti Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Jengkol, Pondok Kacang, dan Kunciran.
Seakan kembali ke masa jayanya, sejak petang sampai malam hari berduyun-duyun penjaja makanan memenuhi areal sekitar pertunjukan. Ada pedagang bakso, soto kikil, sate kambing, kacang, dan penjual gorengan.
Kali ini Mpok Nori mengajak serta keluarganya ke atas panggung. ”Anak dan mantu saya, 3 cucu dan 3 cicit saya ikut lenong. Mereka juga nyanyi dan menari,” kata Mpok Nori yang punya 6 anak, 24 cucu, dan 8 cicit ini.
Apa pun bentuk dan bagaimanapun kondisinya, lenong tetap bertahan. Di layar kaca, misalnya, ada Lenong Rumpi (1993-2000), Lenong Bocah (1993-1997 sekitar 240 episode), Lenong Bocah Gress (1998-2000), Lenong Bocah Noceng, dan Lenong Abnon (Kompas, 15 Juli 2007).
Nori menambahkan, kalau dulu ada interaksi antara seniman lenong di panggung dan penontonnya, belakangan lenong sekadar menjadi tontonan. Bagaimanapun setidaknya ada upaya untuk melestarikan lenong antara lain lewat Festival Lenong Betawi Tangerang Selatan di Jurangmangu Timur, Pondok Aren, pada 2016 (Kompas, 19 November 2016).
Lenong memang tak cuma milik warga yang tinggal di Jakarta, kota yang tengah merayakan hari ulang tahunnya ke-490 ini....