Bentuk ukuran telur burung bermacam-macam, dari telur burung elang coklat yang hampir bulat sempurna hingga bentuk telur seperti tetes air mata milik burung kecil kedidi (sandpiper). Pertanyaan yang belum terjawab selama berabad-abad dan menjadi misteri sejarah alam adalah bagaimana dan mengapa telur ini berevolusi secara beragam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sejumlah peneliti internasional dari empat negara berkolaborasi menelitinya. Para peneliti menemukan bahwa bentuk telur berkorelasi dengan kemampuan terbang, yang menunjukkan bahwa adaptasi untuk terbang mungkin merupakan pendorong variasi bentuk telur pada burung.
Sebuah tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh para periset Universitas Harvard dan Universitas Princeton, Amerika Serikat, dengan rekan-rekannya di Inggris, Israel, dan Singapura, mengambil pendekatan kuantitatif untuk menjawab pertanyaan lama ini. Hasil penelitian mereka dipublikasikan dalam jurnal Science yang dipublikasikan kembali dalam Sciencedaily.com edisi Kamis (22/6).
Dengan menggunakan metode dan gagasan dari matematika, fisika, dan biologi, mereka meneliti bentuk telur dari sekitar 1.400 spesies burung dan mengembangkan model yang menjelaskan bagaimana selaput telur menentukan bentuk telur. Para ilmuwan meneliti sekitar 50.000 telur, mewakili 14 persen spesies dari 35 ordo burung, termasuk dua ordo burung yang punah.
”Studi kami mengambil pendekatan terpadu untuk memahami bentuk telur dengan mengajukan tiga pertanyaan: bagaimana mengukur bentuk telur dan memberikan dasar untuk perbandingan bentuk lintas spesies, mekanisme biofisik apa yang menentukan bentuk telur, dan apa implikasi bentuk telurnya dalam lingkungan evolusioner dan ekologis,” tutur peneliti senior L Mahadevan, Guru Besar Biologi Organisme dan Evolusioner serta Fisika di Universitas Harvard.
Sifat selaput telur
Para peneliti menemukan, bentuk telur lebih ditentukan oleh sifat selaput telur daripada cangkangnya dan ada korelasi kuat yang menghubungkan burung yang memiliki telur yang elips dan asimetris dengan kemampuan terbang yang kuat. ”Yang terakhir ini yang mengejutkan (hubungan bentuk telur dan kemampuan terbang yang kuat-),” ujar Mahadevan.
Para peneliti menemukan bahwa bentuk telur berkisar dari telur bulat hampir sempurna sampai berbentuk kerucut. Periset sudah lama tahu, selaput telur berperan penting dalam bentuk telur. Jika kulit telur dilarutkan dalam asam ringan, seperti cuka, telur benar-benar mempertahankan bentuknya. Namun, bagaimana sifat-sifat selaput telur berkontribusi pada bentuk?
”Pikirkan sebuah balon. Jika balon tebal dan terbuat dari satu material, bola akan berbentuk bola saat digelembungkan. Tetapi, kalau tidak seragam, segala macam bentuk bisa didapat.Variasi bentuk telur berasal dari variasi ketebalan selaput dan sifat material serta rasio tekanan diferensial terhadap elastisitas selaput,” kata Mahadevan.
Para peneliti kemudian melihat korelasi antara bentuk telur dan sifat yang terkait dengan spesies burung, termasuk tipe dan lokasi sarang, ukuran kopling (jumlah telur yang diletakkan pada satu waktu), makanan, dan kemampuan terbang.
”Kami menemukan bahwa terbangnya burung dapat memengaruhi bentuk telur.”
Demikian dikatakan pemimpin peneliti Mary Caswell Stoddard, Asisten Profesor Ekologi dan Biologi Evolusioner di Universitas Princeton.
Untuk menjaga tubuh ramping agar bisa terbang lebih cepat, lanjut Mary, burung tampaknya bertelur lebih asimetris atau elips. Dengan bentuk telur ini, burung dapat memaksimalkan volume telur tanpa meningkatkan lebar telur. Hal ini adalah keuntungan pada saluran telur yang sempit pada tubuh burung. ”Jadi, mengapa telur burung albatros dan kolibri, yang merupakan dua burung berbeda, memiliki bentuk telur yang hampir sama adalah karena mereka sama-sama burung yang terbang dengan kuat,” papar Mary.
”Sudah jelas dari penelitian kami bahwa variasi ukuran dan bentuk telur burung tidak acak, tetapi justru terkait dengan perbedaan ekologi, termasuk jumlah kalsium dalam makanan, terutama sejauh mana tubuh spesies masing-masing dirancang untuk dapat terbang secara kuat,” ujar Joseph Tobias dari Imperial College, Inggris.