Relief Prambanan, Inspirasi Melintas Batas
Presiden (ke-44) Amerika Serikat Barack Obama dan keluarga mengunjungi Candi Prambanan, Kamis (29/6) pukul 09.10 WIB. Candi ini merupakan candi kedua yang dikunjungi Presiden Obama setelah pada Rabu kemarin mengunjungi Candi Borobudur.
Apa yang menarik dari Candi Prambanan? Apa sejarah di balik Candi Prambanan? Apa makna dari relief di dinding Candi Prambanan? Harian Kompas pada Sabtu (6/4/2013), di halaman 24, pernah memuat artikel dengan judul ”Relief Prambanan, Inspirasi Melintas Batas”. Mari kita simak. (RYO)
Relief Prambanan, Inspirasi Melintas Batas
Banyak orang mengenal Candi Prambanan karena memang sudah mendunia. Namun, tidak banyak yang mengenal isi candi ini, khususnya detail relief yang ada di tubuh Candi Prambanan. Bahkan, candi ini merupakan candi besar yang paling kaya dengan relief dibanding candi-candi besar lainnya di Nusantara. Inspirasinya mampu menembus batas ruang dan waktu.
Yang paling spektakuler tentu saja relief Ramayana yang memuat cerita panjang kisah Ramayana. Ada tiga candi besar di kompleks Candi Prambanan yang menggambarkan tiga dewa dalam agama Hindu, yaitu Brahma, Syiwa, dan Wisnu.
Relief Ramayana, yang mengisahkan perang besar antara Kerajaan Ayodya dan Alengka itu, terpahat di dinding Candi Syiwa berjumlah 24 panel berisi 42 kisah atau adegan. Adapun Candi Brahma memiliki 21 panel dengan 30 kisah.
Barangkali hanya Kassian Cephas, seorang fotografer Indonesia, yang banyak mengabadikan Candi Prambanan dan Borobudur pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Bahkan, fotografer yang banyak mengabadikan sejarah masa silam ini berhasil memotret satu per satu dari semua relief panel Ramayana.
Diperkirakan, potret karya Cephas, yang termuat dalam buku berbahasa Jawa yang diterbitkan tahun 1920 itu, dilakukan pada saat sebelum Prambanan dipugar untuk pertama kali. Dari foto itu jelas terlihat, panel itu masih ditata berjajar, belum ditempelkan pada dinding candi.
Daya cipta
Dari foto Kassian Cephas itu kita menyaksikan betapa detail dan indah setiap relief kisah Ramayana. Hal ini menunjukkan betapa besar daya cipta dan kreasi seniman pahat pada masa abad ke-9, saat Candi Prambanan dibangun.
Untaian kalung menyerupai mote yang dikenakan para tokoh Ramayana tergambar rumit. Gelang-kelang pada lengan dan pergelangan tangan sungguh menunjukkan citra nilai pahat yang tinggi.
Relief di tubuh Candi Prambanan ini merupakan kisah Ramayana yang terlengkap. Semua relief yang berjumlah 72 adegan itu mengisahkan mulai dari kelahiran Raja Ayodya Prabu Rama. Pencurian Dewi Sinta (istri Prabu Rama) oleh Dasamuka, Raja Alengka. Pembuatan jembatan penyeberangan oleh pasukan kera sebagai persiapan peperangan antara Ayodya dan Alengka. Dilanjutkan dengan adegan peperangan besar antara pasukan Ayodya dan Alengka. Sampai pada kisah putra Rama menggantikan kedudukannya sebagai Raja Ayodya.
Hermanu dari Bentara Budaya Yogyakarta, yang beberapa kali mengelilingi Candi Prambanan untuk persiapan membuat buku sebagai pengantar pameran relief Ramayana, beberapa waktu lalu, mencatat ada beberapa kerusakan panel dari relief Ramayana ini. Misalnya, pada panel I, wajah dan tangan kanan Dewa Wisnu rusak. Panel 3, wajah tokoh Laksmana rusak. Kerusakan juga terjadi pada panel 7, 16, 17, dan panel 28.
Meski kisahnya berbeda, antara relief Prambanan sebagai candi Hindu dan Candi Borobudur yang mengisahkan cerita Karmawibangga sebagai candi Buddha memiliki gaya yang sama.
Melihat masa pembangunan Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Prambanan pada abad ke-9, kemungkinan besar seniman penggarap relief adalah seketurunan.
”Gaya yang menonjol adalah pada gerak tubuh yang lentur dan gemulai yang terbagi dalam tiga lekukan. Itulah indahnya relief dua candi itu, tubuh tidak lurus, tetapi sudah dibuat sarat gaya tari,” kata Hermanu.
Meskipun panel kisah Ramayana ada yang rusak, keberadaannya tetap menjadi inspirasi terhadap perkembangan seni tari dan sendratari Ramayana yang berkembang sejak abad ke-9. Bahkan, para seniman dan sastrawan modern pun tetap menggunakan kisah Ramayana sebagai inspirasi.
Sebutlah, misalnya, budayawan Sindhunata menulis novel Anak Bajang Menggiring Angin yang menjadikan kisah Ramayana dalam konteks zaman kini sehingga karya ini menjadi sebuah karya baru yang mengagumkan.
Atau sutradara film Garin Nugroho yang menggunakan kisah Ramayana ini sebagai latar karya filmnya berjudul Opera Jawa.
Seniman di seputar Candi Borobudur menafsirkan ulang tentang kisah Karmawibangga, yang kini ditarikan setiap tahun di Candi Borobudur.
Baik dan buruk
Timbul Harjono, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam makalah berjudul ”Ramayana di Indonesia Sebuah Perspektif Arkeologi dan Sejarah”, menyatakan, kisah Ramayana adalah sebuah metafora dari kemenangan kebaikan atas kejahatan. Sifat baik dipersonifikasikan pada Raja Rama. Adapun buruk dipersonifikasikan pada Rahwana. Epik Ramayana dianggap suci karena epik itu menggambarkan bahwa pahlawan kebenaran ini memiliki sifat-sifat Ilahi.
Hal itu bisa dilihat dari ajaran Astabrata yang diungkapkan oleh Prabu Rama. ”Ada delapan kekuatan Ilahiah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yang dalam agama Hindu diungkapkan bahwa seorang pemimpin harus selalu ditempati oleh delapan dewa,” katanya.
Dewa Indra adalah simbol kedermawanan. Dewa ini mengharapkan pemimpin benar-benar memberlakukan uang rakyat diperuntukkan bagi rakyat juga.
Dewa Yama adalah simbol keberanian menegur dan menghukum setiap pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Dewa Matahari (Rawi) adalah simbol bahwa pemimpin tidak diperkenankan memeras keuangan rakyat.
Dewa Sasi menggambarkan pemimpin harus punya sikap bijaksana dan tidak ragu-ragu sehingga bisa membangun keadilan dan kesejahteraan.
Pemimpin juga harus memiliki sifat seperti Dewa Angin, yakni simbol pengelolaan hukum. Hukum bukanlah permainan, melainkan seorang pemimpin harus mampu menjembatani agar para pencari keadilan bisa tersenyum.
Dewa Dhanada harus merasuk ke dalam diri seorang pemimpin agar tak berbuat memperkaya diri sendiri. Adapun Dewa Baruna merupakan simbol bahwa pemimpin harus memberikan kebebasan kepada rakyatnya.
Konteks Nusantara
Menurut Timbul, sumber kisah Ramayana berasal dari sastra India. Namun, di Indonesia, kisah Ramayana yang terpahat dalam dinding Candi Prambanan adalah kisah Ramayana yang sudah digarap dalam konteks Nusantara pada masa itu.
Artinya, kisah India itu telah dipahami dengan pendekatan budaya lokal. ”Dan Ramayana tidak hanya diintepretasi ala Indonesia, tetapi juga masyarakat Asia Tenggara, yang mengadopsi kisah ini dalam tafsir budaya mereka.”
Ya, kisah Ramayana bisa menjadi contoh kelanggengan sebuah karya budaya. Keberadaannya menjelajah di antara ruang dan waktu. Kebudayaan terus berproses, bergaul dari bangsa ke bangsa, mendamaikan, berasimilasi untuk mendidik, menawarkan untuk kemaslahatan bangsanya.
Potret-potret masa lampau yang terus diperbarui sesuai konteks zamannya pada gilirannya memperbarui hidup bangsanya. (TOP/ABK/DRA)