Tak Pernah Jemu Suarakan Kejujuran dan Keadilan
"Kalau menyangkut situasi yang tidak pas mengenai kejujuran dan keadilan, saya pasti akan menulis." (H Adi Andojo Soetjipto, 2017)
Sembari duduk di kursi roda, Adi Andojo, yang menjadi hakim agung (1981 - 1997) ini bercerita dengan runtut tentang pengalamannya menulis, sebuah aktivitas yang tetap ia lakukan di tengah keterbatasan fisik. Pada usianya yang ke-85, Adi sekarang bahkan sudah tak bisa melihat lagi.
Meski demikian, dalam kondisinya itu, mantan Ketua Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) ini tetap berusaha keras senantiasa membangun nalar waras. Ia selalu merasa terpanggil untuk menyuarakan aspirasinya lewat tulisan begitu menghadapi situasi yang, menurut dia, tidak pas, terutama terkait kejujuran dan keadilan.
"Kalau menyangkut situasi yang tidak pas mengenai kejujuran dan keadilan, saya pasti akan menulis. Misalnya, saya pernah menulis artikel mengenai pejabat yang cengkiling (suka melakukan kekerasan). Terakhir, saya menulis mengenai (fenomena) becik ketitik ala ketara (yang baik akan kelihatan dan yang buruk akan tampak) menyangkut keadilan yang saya rasa tidak pas. Ada pejabat terang-terangan disebut menerima uang, ada elite politik yang menerima uang, tetapi mereka ramai-ramai membantah tidak pernah menerima uang," ujar Adi saat menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2017 dari harian Kompas bersama Prof Sawitri Supardi Sadarjoen (74) dan J Kristiadi (71) di Gedung Kompas Gramedia, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta. Pemberian penghargaan ini berlangsung tepat pada perayaan hari ulang tahun ke-52 Kompas, Rabu (28/6). Perayaan itu juga ditandai dengan peluncuran buku berjudul Dana Kemanusiaan Kompas: Talang Peduli Indonesia, karya St Sularto dan Mohamad Nasir.
Keteguhan Adi yang tak pernah jemu menyuarakan kejujuran dan keadilan diakui banyak pihak. Pada 2008, Jaksa Agung Hendarman Supanji pernah menyerahkan piagam penghargaan dan menyematkan pin lencana kejujuran kepada Adi yang memenangi penulisan bertema "Pemberantasan Korupsi" saat puncak peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Monumen Nasional, Jakarta. Adi juga mendapatkan penghargaan Bintang Jasa Utama (1999), Man of the Year 1996-1997 dari Yayasan Penghargaan Indonesia & Studio Seven Production (1997), Bintang Karya Satya Kelas Satu (1983), dan Piagam Penghargaan Trikora (1981).
Adi aktif menulis di Kompas sejak 1996. Selama 21 tahun, 52 artikelnya dimuat di Kompas.
"Bagaimana orang yang secara fisik mempunyai keterbatasan tetap bisa menulis di harian Kompas? Saya punya tim yang kompak untuk menulis, yaitu istri dan anak saya. Caranya, istri saya menuliskan apa yang menjadi gagasan saya di kertas, lalu tulisan itu ditik dengan komputer oleh anak saya," ujar Adi.
Meski dikenal pedas dalam menyuarakan pendapat, Adi merasa puas karena tidak ada orang yang menyanggah artikelnya secara lisan atau tertulis. Ini berarti, yang ia tulis dibenarkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, Adi berkeinginan, meski dalam kondisi fisik terbatas, tetap ingin terus menulis. "Saya akan tetap menulis untuk harian Kompas sampai sampai kapanpun. Sampai saya tidak mampu lagi menulis," tuturnya.
Keinginan untuk terus-menerus "bersuara" melalui tulisan juga disampaikan Sawitri, Guru Besar Universitas Islam Bandung. Tokoh yang rutin mengisi rubrik konsultasi psikologi di Kompas ini menulis 265 artikel di Kompas. "Saya telah 20 tahun menulis di Kompas dan mudah-mudahan terus berlanjut sampai saya dipanggil Allah," ujarnya.
Oleh karena keaktifannya di bidang psikologi klinis, tahun 2004 Sawitri mendapatkan pengukuhan keahlian sebagai psikolog klinis pada Kongres IX Himpunan Psikologi Indonesia di Surabaya.
Sampaikan kegelisahan
J Kristiadi, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), juga berterima kasih mendapatkan kesempatan menulis di harian Kompas sejak 1996. Sampai kini, lebih dari 250 tulisannya diterbitkan Kompas. "Saya malu disebut tokoh atau cendekiawan. Saya sebetulnya yang harus berterima kasih sebab diberi kesempatan menulis di Kompas. (Dengan begitu) saya bisa melampiaskan segala macam kejengkelan, kegundahan, unek-unek (isi hati), dan kemarahan di sana. Ini negara, kok, begitu bobrok," ujarnya.
Oleh karena kesempatan itulah Kristiadi mengucapkan terima kasih, karena dirinya telah diberi talang (saluran) untuk melampiaskan "nafsu kemarahannya" menjadi lebih etis dan beradab.
Kristiadi tekun bekerja di lembaga penelitian CSIS sejak 1976. Pada 1992-1997, ia menjabat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ia juga menjadi dosen di FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta serta dosen tamu di Sesko TNI dan Lembaga Administrasi Nasional (LAN).
Sejak 2008, harian Kompas rutin memberikan penghargaan cendekiawan berdedikasi kepada tokoh yang tekun dalam kepakaran masing-masing, juga yang tekun menegakkan demokratisasi atas dasar analisis yang bernalar dan berpihak pada manusia dan kemanusiaan. Hingga 2017, sudah 43 penerima penghargaan yang diprakarsai Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama ini.
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Rikard Bagun mengatakan, kehadiran cendekiawan berdedikasi memberikan semangat kepada Kompas untuk menyatukan langkah mengatasi tantangan ke depan. "Apa pun tantangan yang dihadapi sekarang, Kompas harus terus berjalan karena tidak pernah ada yang tahu di mana ujungnya. Ini momen untuk bersyukur, tetapi juga menoleh ke belakang. Apa yang kita lihat di belakang akan menentukan panjangnya langkah kita ke depan. Seperti kata orang-orang Roma, setiap zaman (selalu) ada tantangan dan peluang. Akan tetapi, dengan niat baik dan dituntun oleh pikiran yang jernih, semua pasti akan bisa dilalui," ujarnya.
(ABK)