Kabar duka itu datang. Hari Minggu (2/7/2017), sebuah helikopter milik Badan SAR Nasional jatuh di Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Padahal, helikopter itu sedang menuju lokasi bencana gunung berapi di Dieng. Untuk mengenang kerja-kerja Basarnas, berikut ini ditampilkan kembali arsip Harian Kompas berjudul, “Kalau Sudah Malam, Tak Bisa Angkut”. Tulisan itu pernah diterbitkan di Harian Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010 di halaman 1. (RYO)
KALAU SUDAH MALAM, TAK BISA ANGKUT
Dua sukarelawan dari Basarnas Kota Padang dan dua tenaga sukarela PMI Kota Padang terpaksa berjalan kaki delapan jam dari Dusun Muntei Baru Baru hingga Sikakap. Mereka berjalan kaki sejak Rabu (27/10/2010) pukul 22.00 hingga Kamis pukul 10.00.
Rombongan yang berjalan dari Dusun Muntei Baru Baru, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, itu ingin mencapai posko induk penanggulangan bencana gempa bumi dan tsunami di Desa Sikakap di Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Dua sukarelawan Basarnas itu membawa serta 39 sukarelawan Desa Sikakap yang sebelumnya membantu korban tsunami di Dusun Muntei Baru Baru karena kapal yang sebelumnya bakal menjemput pada sore hari hingga pukul 22.00 tidak juga datang.
Hendri, salah seorang sukarelawan Basarnas Kota Padang mengatakan, sukarelawan dari Sikakap itu terus mendesak untuk segera pulang.
"Soalnya, kalau sudah malam tidak ada kapal yang berani merapat ke sini," kata Hendri menirukan pendapat salah seorangwarga Sikakap yang jadi sukarelawan itu. Hal itu karena tinggi gelombang laut pada malam hari cenderung tidak bisa diprediksi dan mengundang marabahaya.
Ketersediaan sarana transportasi dan tantangan alam adalah dua soal pokok yang relatif menghambat upaya evakuasi korban bencana tsunami di wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Ombak besar karena lokasi-lokasi yang terdampak langsung berhadapan dengan Laut Hindia dan cuaca yang tidak bisa ditebak membuat jalur transportasi laut dan udara bisa dengan mudahnya terganggu.
Itu masih ditambah dengan bentang alam sejumlah lokasi yang dipenuhi karang pada bagian pantainya sehingga kapal sulit merapat.
Hal tersebut seperti yang dialami Kompas saat mendatangi Dusun Sabeugunggung, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, pada Kamis yang pantainya dipenuhi tonjolan karang dan sangat menyulitkan nakhoda untuk merapatkan kapalnya ke tepian.
Fasilitas perhubungan udaranya pun tak kalah mengenaskan. Saat Kompas yang menggunakan pesawat milik Susi Air menyusur permukaan bumi pada ketinggian 183 meter, tampak jelas kanopi hutan menutup sebagian besar permukaan kedua pulau itu.
Ketika mendarat di Bandara Perintis Rokot, Pulau Sipora, makin nyatalah persoalan itu. Meski berada dalam satu daratan, seolah bandara itu seperti berada di pulau tersendiri. Panjang landasan pacu sebenarnya 800 meter, tetapi ruas yang dapat digunakan hanya mencapai 600 meter. Letaknya ada di pesisir timur Pulau Sipora. Ada di antara sebuah bukit yang lebat ditumbuhi pohon dengan pantai di pesisir timur pulau itu.
Untuk mencapai Rokot, warga yang tinggal di Tua Pejat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai, harus menggunakan perahu motor. Padahal, jarak antara Tua Pejat dan Rokot- keduanya ada di pesisir timur Pulau Sipora-hanya sekitar 30 kilometer. "Jalan yang sudah ada sudah ditumbuhi semak belukar karena itu jarang digunakan," kata Kepala Bandara Rokot yang berada di Pulau Sipora, Rusman Ali.
Tidak mengherankan jika kemudian warga menggunakan perahu motor sebagai alat transportasi utama. Dengan mudah, moda angkutan itu menghubungkan warga antardesa danpulau di Mentawai, apalagi hingga saat ini jaringan komunikasi pun masih sangat terbatas.
Di Pulau Sipora sendiri, hanya wilayah Tua Pejat yang mampu dilayani oleh jaringan telepon seluler dan listrik. Tidak mengherankan jika kapal atau perahu motor bak kabel tembaga yang turut berperan menyalurkan informasi dari berbagai sudut pulau. Perahu motor dan kapal pula yang menjadi andalan utama untuk mengangkut bantuan dan tim penolong ketika tsunami mengempas Kabupaten Kepulauan Mentawai, Selasa lalu.
Meski terbatas, moda itulah yang menjadi urat nadi bagi pelayanan dan membantu kelancaran operasi penanggulangan bencana. Puluhan kapal dan perahu diberangkatkan untuk membawa bantuan ke Sikakap, yang menjadi posko utama penanggulangan bencana di Mentawai.
Untuk mencapai Sikakap dibutuhkan waktu lebih kurang delapan jam menggunakan kapal perintis atau sekitar enam jam menggunakan kapal cepat. Namun, yang menjadi kendala adalah cuaca dan ketersediaan bahan bakar.