”Tarian” bagi Tanah yang Haus
”Dengar rintihan berjuta kepala. Waktu lapar menggila. Hamparan manusia tunggu mati. Nyawa tak ada arti. Kering kerontang meradang. Entah sampai kapan. Datang tikam nurani. Selaksa doa penjuru dunia. Mengapa tak robah bencana. Menjerit Afrika mengerang Etiopia...”. Lagu ”Etiopia” oleh Iwan Fals pada 1986 itu menggambarkan kengerian bencana kelaparan yang melanda Etiopia. Bencana yang mengaburkan keindahan tanah di tanduk Benua Afrika.
”Highland... highland....” Teriakan minta highland yang merujuk pada botol air minum kemasan akrab di telinga sepanjang perjalanan darat lebih kurang tujuh jam dari Arba Minch ke Turmi di belahan selatan Etiopia. Ratusan anak hingga remaja ramai menari di sepanjang jalanan berdebu. Mereka berjumpalitan mengeblok jalannya mobil hanya demi mendapat botol kosong.
Dengan botol highland itu, mereka akan membawa bekal air minum untuk ke ladang ataupun ke sekolah. Memasuki musim libur sekolah pada Juni hingga Agustus, anak-anak berhamburan di sepanjang jalan raya. Selain bertugas membantu para ibu antre mengisi jeriken air di sumur bor atau mengangkut air dari sungai-sungai yang kebanyakan masih mengering, mereka juga menggembalakan kawanan ternak sapi, kambing, dan keledai.
Jalanan juga disesaki kawanan ternak yang berarak perlahan. Karena itu, berkendara darat menjadi cara paling tepat untuk mengenal kehidupan warga Etiopia yang sempat menggemparkan dunia akibat bencana kelaparan pada era 1980-an. Perjalanan darat menjadi momen langka karena hampir seluruh kunjungan fam trip selama 12 hari atas undangan Ethiopian Tourism Organization dilakukan dengan tujuh kali penerbangan lokal menggunakan Ethiopian Airlines sejak Kamis (25/5) hingga Senin (5/6).
Punya sejarah panjang terkait bencana kekeringan dan kelaparan, warga Etiopia punya beragam cara untuk menyiasati hidup di alamnya yang keras. ”Petani sengaja menanam tumpang sari, beragam tanaman pangan. Mungkin kami akan kehilangan satu jenis tanaman yang mati karena kekeringan, tetapi masih ada harapan tanaman lain bakal hidup. Tanpa hujan tak ada panenan. Kami mengandalkan pengetahuan lokal,” kata Kashale Yohannes Sugo, warga Konso.
Kashale lantas menunjukkan beragam jenis tanaman, mulai dari jagung, sorgum, kapas, kopi, hingga biji teff, yang berdesakan dalam satu lahan. Cara hidup warga Konso pun beradaptasi dengan alamnya yang tak bersahabat. Lanskap Konso yang terdiri dari teras berdinding batu dan permukiman di dataran tinggi telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO.
Teras-teras batu di ladang bertingkat bertujuan agar tanah tidak terkikis dan lebih lama menyimpan air. Warga Konso juga membangun waduk tampungan air untuk memenuhi kebutuhan air minum komunal. ”Konso berarti orang yang hidup di perbukitan. Desa-desa kami sudah berusia lebih dari 800 tahun dan kami mengandalkan kearifan lokal untuk hidup bersahabat dengan alam,” ujar Kashale.
Stigma kelaparan
Beragam kearifan lokal ala Etiopia untuk menghadapi bencana kelaparan pun bermunculan di suku-suku asli, seperti di perdesaan Dorze, yang merupakan suku penenun. Di rumah tradisional milik keluarganya yang serupa bentuk gajah, Mekonnen Zewdie menunjukkan cara memproses makanan agar bisa bertahan hingga lebih dua tahun.
Makanan yang dinamai kocho ini sangat unik, terbuat dari batang pohon pisang tak berbuah yang mereka juluki false banana. Batang pisang diparut dengan bambu untuk memisahkan dengan seratnya. Bagian yang lembut terparut lalu dicampur dengan sedikit air sebelum ditanam di bawah tanah hingga minimal tiga bulan. ”Tanah di sekeliling rumah ini penuh dengan kocho. Setiap hari kami memakannya sebagai hidangan utama,” ujar Mekonnen.
Setelah tiga bulan terfermentasi, kocho yang bisa bertahan di dalam tanah hingga dua tahun ini lantas dipanggang seperti pancake sebelum dihidangkan dengan madu. Mencicipi kocho, rasanya ternyata sangat bisa diterima lidah dan bahkan bisa dibilang enak. Di kota besar, seperti ibu kota Addis Ababa, kocho tergolong makanan mewah karena dijual dengan harga yang mahal. ”Dari 56 suku, hanya 10 suku di Dorze yang memakan false banana,” katanya.
Di beberapa wilayah yang rawan kekeringan, Pemerintah Etiopia telah membangun dam raksasa. Dam terluas nomor tujuh di dunia pun dibangun di Etiopia, yang juga menyediakan listrik termurah di dunia. Ketika mengunjungi Gondar, koordinator fam trip, Weldegebriel Berhe, menunjukkan dam dengan air yang mulai terisi oleh hujan awal musim. ”Kekeringan tak akan memunahkan peradaban kami. Memang ada jarak yang harus ditempuh untuk ambil air, tetapi juga akan selalu ada negara donor yang membantu kami,” kata Weldegebriel.
CEO Ethiopian Tourism Organization Yohannes Tilahun menyebut telah mendedikasikan setiap hari dalam hidupnya untuk menghilangkan citra negatif tentang Etiopia sebagai negara yang menderita bencana kelaparan. ”Ini sangat sulit. Sejak usia 10 tahun, saya sering ditanya soal bencana itu. Namun, kala itu, saya masih tidak tahu apa-apa,” ujar Yohannes yang lama tinggal di Amerika Serikat sebelum pulang ke Etiopia.
Yohannes menyebut bahwa Etiopia memang banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Melongok Etiopia pada 25 tahun lalu, negara ini merupakan negara bangkrut yang tidak punya apa-apa dengan 66 persen masyarakat berada di bawah garis kemiskinan. Saat ini, Etiopia masuk sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat. Namun, defisit pendapatan Etiopia masih mencapai 10 miliar dollar AS.
Harmoni alam
Sektor pariwisata bukan tidak mungkin menjadi salah satu andalan pendapatan baru bagi Etiopia. Negara ini punya modal pariwisata yang sangat besar, mulai dari keindahan alam, sejarah, tradisi, hingga peninggalan arkeologinya. Di Gunung Simien yang dijuluki atap Afrika, wisatawan dengan mudah bisa menjumpai monyet gelada dengan bleeding-heart hingga kambing ibex. Binatang liar, seperti kuda nil, dengan mudah dijumpai di habitat aslinya, antara lain di Danau Tana dan Danau Chamo.
Danau Tana yang merupakan danau terbesar di Etiopia juga merupakan sumber mata air bagi Sungai Blue Nil. Etiopia juga menjadi rumah bagi burung-burung liar. Nelayan dengan kapal daun papirus di Danau Tana pun selalu mengandalkan bangau untuk mencari daerah yang banyak ikannya.
Atraksi sejarah yang layak dijual, antara lain, adalah peninggalan obelisk berumur 1.700 tahun di kota Aksum, Gereja Lalibela yang dipahat di bukit batu, kastil raja-raja di Gondar, dan kota Muslim Harar. Keragaman suku bangsa juga melahirkan keragaman budaya. Belum lagi temuan arkeologi yang membawa perjumpaan pada masa awal peradaban manusia.
Pembangunan infrastruktur pendukung wisata terus digenjot. Hailemelekot Mamo, Managing Director Ethiopian Express and Ancillary Services Sales Ethiopian Airlines, yang dimiliki pemerintah sejak 1946, menyebut telah menyediakan 95 penerbangan internasional dan 19 penerbangan domestik. Etiopia juga membangun transportasi laut dan 2.395 kilometer rel kereta api serta 64.500 kilometer infrastruktur jalan.
Pendidikan pun dibenahi dengan menggratiskan biaya sekolah dari tingkat taman kanak-kanak hingga kuliah. Pendidikan dan keamanan menjadi sektor prioritas bagi Etiopia. Tak heran jika pemerintah sempat mematikan internet selama sepekan di seantero negeri agar ujian nasional tak bocor.
Strategi pertama untuk pembenahan wisata, menurut Duta Besar Etiopia di Jakarta Arega Hailu Teffera, adalah mengubah imaji Etiopia sesuai slogannya sebagai ”The Land of Origin” atau tanah asal mula kehidupan. Wisatawan umumnya tidak memiliki bayangan tentang suguhan apa yang bakal mereka peroleh sebelum benar-benar menginjakkan kaki di tanah Etiopia.
”Sekitar 40 tahun lalu, kami tidak punya apa-apa selain anak-anak yang kelaparan. Sekarang, kami membangun ekonomi kami. Ini tugas berat. Salah satu sektor yang kami harapkan bisa membantu kami keluar adalah pariwisata. Jangan lihat kami sekarang, tetapi lihat akan menjadi apa kami nanti. Kami punya ambisi, kami punya talenta. Namun, jangan lupa, kami adalah negara miskin. Negara dunia ketiga,” tutur Yohannes.
Etiopia kini tak lagi berbicara tentang penderitaan, tetapi petualangan pada indahnya peradaban Afrika. Peradaban dari wajah-wajah yang mudah dibuat tersenyum. Wajah yang selalu melambaikan tangan menyambut para pendatang.