Arsip ”Kompas”: Dieng, Indah namun Mencemaskan
Hari Minggu (2/7), Kawah Sileri tiba-tiba meletus. Ternyata, hidup di kawasan ”cincin api” sungguh menantang. Meski demikian, bagi warga Dieng, bencana tidak hanya akan dihadirkan oleh aktivitas vulkanik, tetapi oleh degradasi lingkungan setempat. Melalui artikel di harian Kompas, Senin, 29 Mei 2000 di halaman 29, harian Kompas sudah mengingatkan hal tersebut. (RYO)
Dieng, Indah namun Mencemaskan
HAMPARAN hijau dedaunan yang luas mendominasi wajah Pegunungan Dieng dengan ketinggian 2.063 meter. Lekuk-lekuk perbukitan yang dibelah jalan yang berkelok-kelok, lereng pegunungan dengan derajat kemiringan yang tajam, udara sejuk pada pagi hari yang terus menyelimuti hamparan hijau dedaunan, dan dengan setia menyapa bangunan candi peninggalan Hindu, semuanya menyatu membentuk panorama yang indah. Di sana-sini, tampak petani dengan pakaian tebal penahan udara dingin, caping menutup kepala, memulai aktivitasnya sejak pagi-pagi, mengolah tanah atau menyiangi tanaman kentang.
Petani setempat mengenal tanaman kentang sekitar tahun 1980. Berawal dari kedatangan beberapa petani asal Bogor, Jawa Barat, yang mencoba mengembangkan budidaya tanaman kentang di dataran tinggi itu. Dalam waktu dua-tiga tahun kemudian, terjadilah alih usaha besar-besaran di sana. Warga setempat yang tadinya hanya menanam sayur-mayur, jagung, dan sesekali tembakau berpaling dan mengikuti jejak menanam kentang.
Boom kentang merangsang petani untuk memperluas komoditas ini. Hutan pun dibabat, pohon-pohon ditebangi, bekas lokasi tanaman keras diolah dan diubah menjadi lahan usaha tani. Luas areal tanaman kentang berkembang dengan pesat, Pegunungan Dieng dieksploitasi habis-habisan. Ribuan warga di Dieng terlibat dalam budidaya kentang. Dari petani yang hanya memiliki tanah seluas 0,5 hektar sampai petani juragan yang mempunyai lahan garapan sampai 25-30 hektar.
Para petani begitu antusias menanam kentang hingga memaksakan diri untuk dapat menanam tiga kali setahun, tanah seolah tak diberi kesempatan bernapas. Menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Banjarnegara, dalam tiga kali musim tanam (MT) areal tanaman kentang dapat mencapai luasan 6.000 hektar sampai 8.000 hektar, terluas terdapat di Kecamatan Batur. MT April-Juni 2.000 areal tanaman kentang di sana mencapai 2.648 hektar. Sementara di Kabupaten Wonosobo terluas terdapat di Kecamatan Kejajar yang setiap tahunnya bisa mencapai 6000 hektar hingga 7.000 hektar.
Menurut HM Muharor (51), petani warga Sumberejo, Kecamatan Batur, jika berjalan normal, cuaca mendukung, tidak ada serangan hama dengan menanam bibit satu ton bisa menghasilkan 15 ton bahkan 20 ton. Modal yang diperlukan untuk setiap hektar, termasuk untuk pembelian bibit unggul jenis granola—komponen produksi paling mahal—pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan sebagainya sekitar Rp 12 juta per hektar. Bayangkan kalau harga kentang kelas super Rp 3.500 per kilogram, hasil dari tanaman kentang bisa mencapai jutaan.
Akan tetapi, ungkap Muharor, hasil panen kentang tidak terlalu stabil. Fluktuasi harga sangat cepat, seperti terjadi sekarang. Saat ini harga kentang anjlok, dari sebelumnya Rp 3.500 per kilogram, turun menjadi Rp 1.100 per kilogram. Paling tinggi Rp 1.200 per kilogram untuk semua kualitas. Anjloknya harga kentang di pasaran karena mendapat saingan kentang impor dari Taiwan dan China. Namun, petani tak pernah jera menanam kembali.
TANAMAN kentang yang dianggap lebih menguntungkan menjadi daya tarik dan mendorong petani setempat terus memperluas areal tanaman kentang, bahkan mencetak lahan baru. Untuk mendapat sejengkal tanah, bongkahan-bongkahan batu cadas yang menempel di lereng bukit dengan kemiringan sampai 25-30 derajat disingkirkan.
Tanah sejengkal bekas tempat dudukan batu cadas ditanami bibit kentang serta tanaman lain, jagung, kubis, atau tembakau. Padahal batas toleransi lereng bukit untuk tanaman musiman hanya sampai kemiringin 15 derajat, sedangkan lereng dengan kemiringan 25 derajat seharusnya ditanami tanaman keras.
Kentang telah membawa perubahan besar terhadap kehidupan petani di Pegunungan Dieng. Tanaman kentang serta-merta memunculkan petani-petani kaya dengan gaya hidup modern. Indikasi meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran dapat dilihat dari antena parabola yang menyembul di atap rumah, pesawat televisi, mobil merek terkenal seperti Mercedes atau BMW, bangunan rumah gedung. Semuamya sudah menjadi simbol status petani kaya pada dekade tahun 1990-an.
DIENG adalah potret sebuah masyarakat yang tinggal di daerah subur. Namun, daya dukung pegunungan yang subur ini terus menurun akibat pola cocok tanam yang masih dipengaruhi oleh pola pemikiran tradisional secara turun-temurun. Pola bercocok tanam mereka kurang memedulikan asas kelestarian lingkungan.
Misalnya, perluasan lahan usaha tani yang mereka lakukan tanpa disadari menyebabkan kerusakan lingkungan. Bahkan kompleks Candi Dieng peninggalan Hindu juga mulai terancam, setelah situs candi ikut dijarah.
Aktivitas sebagian warga Dieng ini tentu saja membuat galau Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Propinsi Jateng Tri Hatmadji. Dalam suatu laporan ia menyebutkan, penjarahan situs Dieng sebenarnya sudah berlangsung cukup lama.
Sebagai contoh saja, situs kompleks Candi Arjuna dan Gatotkaca kini telah berubah menjadi lahan tanaman kentang. Situs yang luasnya 222.184 meter persegi yang terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, saat ini telah dikuasai penduduk. Mereka tidak hanya sekadar menggarap untuk lahan usaha tani, tetapi sebagian situs telah disertifikatkan menjadi hak milik.
Luas situs Candi Dieng 900.737 meter persegi. Seluas 640.871 meter persegi di antaranya terdapat di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan 259.866 meter persegi berada di wilayah Kabupaten Wonosobo. Aksi penjarahan situs, menurut Ketua Kelompok Perlindungan SPSP Jateng, Lambang Purnomo, dalam suatu kesempatan, harus segera dikendalikan. Jika tidak, seluruh situs candi akan habis. Bangunan-bangunan Candi Dieng semakin terancam. Sebab saat ini saja batu-batuan yang menjadi fondasi bangunan candi sudah banyak yang hilang.
Yang membuat cemas bukan hanya soal penjarahan situs candi, melainkan juga laju erosi yang semakin tinggi melalui sungai-sungai yang berhulu di Dieng. Supardi, Kepala Bagian Lingkungan Hidup Banjarnegara, mengaku cemas melihat laju erosi yang sulit dikendalikan. ”Pegunungan Dieng sudah kehilangan lapisan tanah subur,” ujarnya.
Keadaan ini semakin mencemaskan karena di beberapa lokasi terjadi pembabatan hutan. Laju erosi Dieng saat ini telah mencapai 6 milimeter per tahun, atau 16 ton hingga 20 ton per hektar per tahun.
Konsekuensinya adalah sungai-sungai yang mata airnya di Pegunungan Dieng kewalahan menampung sedimen sehingga terjadi pendangkalan dan muara-muara sungai tersumbat. Pendangkalan alur sungai terutama di Serayu dan anak-anak sungainya sering menyebabkan banjir di daerah hulu.
Dengan lapisan olah tanah (top soil) yang secara teoretis hanya mencapai kedalaman 30 sentimeter dan laju erosi 6 milimeter per tahun, diperkirakan dalam jangka waktu 50 tahun, lapisan tanah subur di Pegunungan Dieng akan hilang.
Jangan heran kalau pada musim hujan menyaksikan daerah wisata Dieng yang terletak di ketinggian 2.603 meter itu digenangi banjir lumpur. Ini karena saluran pembuangan tidak lagi menampung lumpur yang terbawa air. Setiap kali terjadi banjir ruas jalan di sekitar kompleks Candi Dieng selalu tertutup lumpur karena saluran air bumpet.
Penduduk sendiri sudah mulai merasakan adanya perubahan cuaca di Pegunungan Dieng sebagai dampak dari perusakan lingkungan, penebangan pohon, dan pembabatan hutan. Kesejukan angin pegunungan yang puluhan tahun silam mampu membuai-buai tubuh, belakangan ini mulai berperilaku ganas. Angin gunung, ungkap Ny Ipung (27), warga Batur, akhir-akhir ini bertiup sangat kencang mirip badai. Di siang hari penduduk juga sering merasa kegerahan.
UNTUK mengendalikan laju erosi, penataan kawasan berwawasan lingkungan di pegunungan Dieng mutlak harus dilakukan dan dijadikan prioritas. Petani harus meninggalkan cara bercocok tanam menggunakan sistem guludan lurus yang sudah dilakukan turun-temurun.
Sampai sekarang kebanyakan petani kentang di Dieng dalam mengembangkan budidaya kentang, menggunakan terassering yang memotong kontur bukit (sistem guludan lurus). Padahal sistem inilah yang menyebabkan erosi. Sebab air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah langsung mengalir ke bawah sambil membawa lapisan tanah subur.
Model yang terassering bangku atau guludan melingkar bukit-mengikuti kontur bukit, pernah ditawarkan kepada petani setempat. Akan tetapi, model ini tidak direspons karena dianggap menjadi penyebab tingginya tingkat kelembaban yang merusak tanaman. Katanya, kentang akan membusuk karena terlalu banyak air.
Usaha rehabilitasi lahan dan koservasi tanah (RLKT) sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1977-an melalui Inpres Penghijauan, ketika petani setempat belum mengenal tanaman kentang. Di wilayah Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, misalnya, yang terdiri dari 15 desa dijadikan wilayah superprioritas proyek RLKT.
Usaha RLKT yang dilakukan di daerah tersebut berupa pembuatan terassering dan penanaman rumput setaria dan king grass (perkawinan rumput gajah dengan rumput meksiko) serta penanaman pohon suren. Akan tetapi, petugas penyuluh pertanian (PPL) tampaknya tak berdaya ”menekan” petani untuk menanam rumput setaria atau jenis tanaman lain.
Alasan petani karena akar rumput mengganggu tanaman pokok (kentang) dalam persaingan memperoleh makanan. Sementara tanaman keras seperti teh atau kopi akan menaungi tanaman kentang serta mengurangi intensitas sinar matahari dan menyebabkan tanaman pokok terganggu pertumbuhannya.
Bagian Lingkungan Hidup Banjarnegara saat ini, kata Bupati Banjarnegara, Nurachmad, tengah menawarkan kepada petani sebuah konsep penataan lahan menggunakan sistem atau model ”teras saluran buntu”. Prinsip dasar konsep ini adalah pembuatan saluran-saluran buntu pada lereng-lereng pegunungan yang ditanami kentang. Panjang dan kedalaman saluran dapat bervariasi, diselaraskan dengan panjang dan derajat kemiringan lereng pegunungan.
Pada lereng yang tidak terjal, ukuran saluran itu sekitar 0,5 meter x 0,5 meter. Agar saluran tidak jebol, di bagian ujung diperkuat tanaman yang mampu menahan gelontoran air seperti kopi kate, teh, atau rumput setaria. Dari segi morfologi, pertumbuhan jenis tanaman tersebut tidak akan mengganggu tanaman kentang yang tidak menyenangi tanaman lain kalau tanaman di dekatnya menaungi dirinya.
Upaya menyelamatkan Dieng tak bisa ditunda-tunda lagi karena perusakan lingkungan di daerah pegunungan ini sudah kasatmata. Persoalannya, Pemda Banjarnegara ataupun Wonosobo tak mampu mengatasinya sendiri. (YUNI IKAWATI)