Kisah di Balik Boneka Beruang
Princess Johaina (4) tersenyum bahagia. Di keremangan petang dan hujan deras, Kamis (6/7), boneka beruang warna biru itu dipeluknya erat. Tangan Alikman Ibn Nata dia pegang sebagai tanda terima kasih meski mereka belum pernah bertemu sebelumnya.
Johaina adalah pengungsi anak-anak asal Marawi. Dia dibawa keluarganya meninggalkan rumah mereka yang kini berubah menjadi ajang pertempuran. Adapun Alikman adalah aktivis sosial yang bersama istrinya, Fatima Aliah Nata (31), serta beberapa orang lain dengan sukarela menyalurkan bantuan untuk pengungsi yang dikumpulkan dari banyak pihak di Filipina.
Fatima menceritakan, boneka beruang itu milik Krishna (4), gadis kecil asal Davao, kota yang terletak ratusan kilometer dari Marawi. Krishna awalnya mengamati kegiatan kakak perempuannya yang tergabung dalam organisasi sosial, Youth. Sang kakak mengumpulkan bantuan untuk disumbangkan kepada para pengungsi di Marawi.
Krishna lalu menanyakan apa yang sedang dilakukan kakaknya. Sang kakak menjawab bahwa dia sedang mengumpulkan bantuan untuk korban perang di Marawi. "Anak itu berpikir sejenak, kemudian bertanya kembali kepada kakaknya. Apa yang bisa dia berikan untuk para korban," kata Fatima mengisahkan.
Tak disangka, Krishna pergi ke kamarnya dan mengambil boneka beruang biru miliknya. Dia lalu memberikan boneka itu kepada kakaknya dan mengatakan, "Ini boneka kesayanganku. Tolong berikan kepada anak di sana. Jangan lupa untuk difoto dan kirimkan kepadaku," ucap Fatima melanjutkan kisah tentang gadis kecil di Davao itu.
Sang kakak kemudian mengirimkan boneka itu kepada Alikman yang jadi mitra kerjanya dalam berbagai kegiatan sosial. Boneka itu dibungkus sebuah tas yang di bagian luarnya bertuliskan "Boneka Beruang Teddy, Dikirim dengan Cinta".
Setelah tiba di kota Iligan, tak jauh dari Marawi, boneka itu bersama dengan bantuan lain dibawa Alikman dan Fatima ke Barangay (setara kelurahan/desa) Tongkopan, wilayah Pantao Ragat. Di desa itu terdapat 200 pengungsi asal Marawi.
Mereka terpaksa mengungsi setelah pada 23 Mei milisi kelompok Maute menduduki Marawi. Militer Filipina kemudian mengepung kota itu, mengobarkan pertempuran yang berlanjut hingga kini.
Sehari setelah pertempuran dimulai, para pengungsi berjalan kaki menuju Tongkopan karena memiliki saudara dan kerabat yang bisa dipercaya. Johaina dan keluarganya adalah bagian dari 200 pengungsi tersebut.
Tidak mudah
Untuk mencapai desa itu dari Iligan tidak mudah. Selain harus melewati sejumlah pos pemeriksaan yang dijaga tentara, letaknya juga cukup jauh dari jalan utama yang menghubungkan Iligan dan Marawi. Desa itu dikelilingi dengan barisan pohon kelapa. Hanya terdapat beberapa rumah berdinding kayu dan beratap seng di tengah kebun.
Keluarga Johaina bersama pengungsi lain tinggal di salah satu rumah. Satu rumah setidaknya diisi 20 orang atau sekitar empat keluarga. Sejak konflik pecah di Marawi, baru kali ini ada organisasi kemanusiaan yang datang berkunjung membawa bantuan. Tak heran, bantuan petang itu, antara lain sandal, susu, popok bayi, dan obat-obatan, membungakan hati para pengungsi. Tak terkecuali Johaina.
Mamintal Mohammad Ali (50), seorang buruh tani, mengatakan, dirinya meninggalkan Marawi begitu serangan udara menyasar sekitar tempat tinggal mereka. Awalnya, mereka berdiam diri di rumah di tengah desingan peluru.
"Begitu rumah saya berguncang karena ada ledakan yang begitu dekat, saya dan keluarga bersama warga lain memutuskan mengungsi. Kami pergi ke Tongkopan karena ini kampung istri saya," ucap Mamintal.
Selain di Tongkopan, banyak lokasi pengungsian lain yang juga kekurangan bantuan, bahkan belum terjangkau sama sekali. Di Barangay Bito Buadi Itowa, pinggiran kota Marawi, misalnya, pengungsi kekurangan bantuan makanan, air bersih, keperluan bayi, dan obat-obatan.
"Saya dan anak-anak sering kelaparan, tetapi kami tidak punya uang karena suami saya tidak lagi punya penghasilan," kata Jamaica Atar (28), salah satu pengungsi, saat ditemui, Kamis.
Hari itu Jamaica sedang membawa Jasmine, bayi perempuannya yang berusia 8 bulan, ke petugas kesehatan. Anaknya demam dan batuk. Setelah Jasmine diperiksa dan diberi obat, wajah Jamaica sedikit lega.
Di Bito Buadi Itowa, keluarga Jamaica tinggal bersama 304 keluarga pengungsi lain dari Marawi. Mereka kehilangan tempat tinggal, barang berharga, dan mata pencarian. Hidup mereka bergantung pada uluran bantuan.
Violeta M Gloria, peneliti sosial dari Ecoweb (Ecosystem Work for Essential Benefits), organisasi kemanusiaan di Iligan, mengatakan, berdasarkan data Komisi Nasional Manajemen Penanggulangan Risiko Bencana Filipina, terdapat 400.432 pengungsi akibat krisis Marawi.
Jumlah itu melonjak dibandingkan dengan yang tercatat bulan Juni sebanyak 358.400 orang. "Selain pengungsi asal Marawi, ada juga warga dari 20 daerah lain yang mengungsi karena terimbas konflik. Mereka menggantungkan kebutuhan hidup dari ibu kota Provinsi Lanao del Sur itu," katanya.
Sejak konflik itu meletus, warga di sekitar Marawi mulai terimbas dan kemudian turut mengungsi. Gloria mengatakan, terdapat tiga tipe pengungsi, yakni warga Marawi dan terdampak langsung krisis tersebut; mereka yang tinggal di luar Marawi, tetapi terdampak secara ekonomi; dan mereka yang tinggal di luar Marawi, tetapi bekerja di Marawi.
Sebagian dari mereka ditampung di tempat pengungsian, sedangkan sisanya tersebar di sejumlah tempat, termasuk rumah kerabat dan kampung-kampung di sekitar Danau Lanao, Marawi. Mereka membutuhkan banyak bantuan, terutama untuk anak-anak dan perempuan.
"Kami tidak tahu apa tujuan dan penyebab perang ini, tetapi ikut menanggung akibatnya," kata Mamintal.
Para pengungsi berharap konflik di Marawi segera usai. Mereka ingin situasi kembali seperti semula. Pascakonflik di Marawi, banyak kampung yang berubah menjadi kota hantu. Rumah-rumah kosong karena ditinggal sang pemilik.
Di tengah suasana yang tidak lagi bersahabat, Johaina kini memiliki teman baru, boneka beruang biru yang dipegangnya erat hingga dia tertidur....
(B JOSIE SUSILO HARDIANTO dan HARRY SUSILO dari Balindong, Filipina)