Pram, Perjalanan Hidup yang Kaya
Amnesty International, organisasi non-politik yang berpusat di London, Inggris, mendesak Pemerintah Indonesia untuk membebaskan Pramoedya Ananta Toer dari tahanan. Seruan Amnesty International itu sudah ramai diangkat surat kabar Inggris seperti Sunday Times sejak Desember 1968.
Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu pengarang Indonesia yang namanya banyak diperbincangkan di mancanegara. Dia telah menulis setidaknya 10 buku roman dan beberapa kumpulan cerita pendek. Gagasan yang tertuang dalam berbagai tulisannya membuat Pemerintah Indonesia merasa gerah. Buku-bukunya dilarang beredar. Dia ditahan karena keanggotaannya dalam sebuah organisasi kebudayaan yang diduga disusupi komunis.
Berita tersebut dimuat harian Kompas yang terbit hari Senin, 14 Juli 1969 halaman 1, atau tepat 48 tahun lalu.
Sosok Pramoedya Ananta Toer atau Pram dan karya-karyanya tak habis dikupas dan menjadi perhatian banyak orang dari lintas generasi. Karya-karyanya membuat banyak orang penasaran, adakah ini kejadian nyata atau imajinasi penulisnya belaka? Ataukah karya-karya Pram itu campuran antara fakta dan imajinasi? Kalau memang begitu, manakah yang lebih dominan?
Apakah karya-karya Pram lebih menunjukkan sejarah bangsa atau masuk dalam ranah sastra? Bagaimana proses kelahiran karya-karyanya, lingkungan dan bacaan apa saja yang memengaruhi proses kreatifnya, juga membuat banyak orang penasaran. Sebagian orang pun ingin tahu bagaimana kehidupan pribadinya.
Selama 81 tahun masa hidupnya, sekitar 18 tahun di antaranya dihabiskan Pram sebagai tahanan (Kompas, 13 Mei 2002). Tiga kali dia masuk bui dalam tiga masa pemerintahan yang berbeda. Tahun 1947-1949 dia menjadi tawanan Belanda di Bukit Duri, Jatinegara, Jakarta karena membawa pamflet perlawanan terhadap aksi militer Belanda (Kompas, 2 Maret 2005).
Tahun 1960 pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, dia masuk rumah tahanan di Jakarta karena bukunya, Hoakiau di Indonesia dinilai tak sesuai kebijakan pemerintah. Dalam bukunya itu, Pram mengritik Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 yang melarang kaum Tionghoa bergiat di pedalaman Indonesia.
Tahun 1965 pemerintahan Orde Baru dibawah Presiden Soeharto membawanya berpindah-pindah rumah tahanan, karena Pram menjadi anggota organisasi kaum komunis yang dianggap berperan dalam peristiwa G30S PKI. Dia kemudian diasingkan ke Pulau Buru pada Agustus 1969.
Diciduk dari rumahnya di bilangan Rawamangun, Jakarta, akhir tahun 1979 Pram dibebaskan di Semarang setelah menjadi tahanan Orde Baru selama 14 tahun. Pada hari itu, mengenakan baju kaos putih sastrawan ini memegang erat map warna kuning berisi surat tanda kebebasannya (Kompas, 21 Desember 1979).
Pram, tahanan G30S/PKI golongan B mengaku agak diistimewakan karena mendapat pinjaman mesin tulis. “Sehingga pribadi saya tidak mengalami krisis identitas,” kata pria yang menyebut menulis adalah kemampuan dan pekerjaan yang paling dia senangi dan hayati.
Meskipun di bui, tetapi kebebasan berpikir dan menulisnya tidak turut terpenjara. Pram menunjukkan, penguasa mampu “membungkam” wadagnya, tetapi tidak kebebasan berpikirnya. Delapan buku dia selesaikan selama di Pulau Buru, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Di Atas Lumpur, serta Arok-Dedes.
Penghargaan
Sejak peristiwa G30S PKI tahun 1965 buku-buku karya Pram sulit diperoleh karena pemerintah melarang peredarannya. Akan tetapi buku-buku Pram justru dialih-bahasakan setidaknya ke dalam 20 bahasa, seperti bahasa Inggris, Belanda dan Perancis (Kompas, 20 Juli 1995). Tahun 2005 karyanya diterbitkan dalam 40 bahasa, dia menjadi sastrawan Indonesia yang paling dikenal di dunia (Kompas, 2 Maret 2005). Beberapa bukunya yang dialih-bahasakan adalah Perburuan, Keluarga Gerilya, Gadis Pantai, dan Bumi Manusia.
Baru sekitar pertengahan 1990-an buku-bukunya kembali diterbitkan dan beredar di Tanah Air. Bahkan buku-buku karya Pram termasuk dalam deretan atas buku yang laris di pasaran. Meskipun ketika itu secara resmi pelarangan Pemerintah Indonesia atas sejumlah bukunya belum dicabut (Kompas, 4 Mei 2006).
Tahun 2001 Kejaksaan Agung mencabut pelarangan 6 buku karya Pram yang pernah dilarang, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Sang Pemula, Rumah Kaca, Gadis Pantai, dan Siti Mariah (Kompas, 24 April 2001). Pertimbangannya antara lain karena perubahan kondisi politik dan kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan demokrasi, serta keterbukaan dalam menyampaikan pendapat sebagai salah satu hak asasi manusia.
Dia juga memperoleh penghargaan dari mancanegara, di antaranya penghargaan Freedom to Write Award dari PEN American Center (1988), Magsaysay (1995), Wertheim (1995), UNESCO Madanjeet Singh Prize (1996), Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres dari Perancis (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize (2000), Freedom of Expression Prize dari Norwegia (2003), dan Presidential Medals of Honor for Pablo Neruda Centennial dari Cile (2004).
Sempat terjadi pro dan kontra saat Pram mendapat penghargaan Magsaysay. Tak kurang dari 26 seniman dan pengarang mempertanyakan pertimbangan pemberian penghargaan tersebut. Alasan mereka, pada masa Demokrasi Terpimpin, Pram sebagai tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) turut menindas kebebasan kreatif seniman yang berseberangan dengan mereka pada 1960-an.
Sastrawan Mochtar Lubis yang menerima penghargaan Magsaysay tahun 1958 sampai mengancam mengembalikan hadiahnya (Kompas, 5 Agustus 1995). Namun Yayasan Ramon Magsaysay menolak keinginan sejumlah seniman dan pengarang tersebut untuk membatalkan pemberian penghargaan kepada Pram (Kompas, 8 Agustus 1995).
Oleh karena Pram masih dilarang bepergian ke luar negeri, istrinya Maemunah yang menerima penghargaan Magsaysay di Manila, Filipina (Kompas, 14 Agustus 1995). Di sisi lain, Mochtar Lubis benar-benar mengembalikan penghargaan Magsaysay sebagai protes atas pemberian hadiah serupa kepada Pram di Manila (Kompas, 31 Agustus 1995).
Seiring berjalannya waktu, Pram juga menerima undangan untuk berbicara dalam berbagai kesempatan di mancanegara. Kompas, 16 Maret 1999 mencatat, dia diminta ceramah di Universitas Fordham, New York, AS. Ini merupakan perjalanan pertamanya ke luar negeri setelah bebas dari Pulau Buru. Ia terakhir pergi ke beberapa negara di Eropa tahun 1959 (Kompas, 4 April 1999).
Larangan
Tentang pelarangan buku karya Pram, Kompas, 9 Desember 1979 menulis ucapan Panglima Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Laksamana Soedomo, “Setiap tahanan sebelum dibebaskan harus menandatangani surat perjanjian bahwa mereka tidak akan ikut menerjunkan diri kepada segala bentuk kegiatan politik. Dan saya berpendapat, isi buku termasuk bisa menjurus kepada bentuk kegiatan politik. Mereka yang membaca buku tadi akan bisa terkena pengaruh, sedangkan kestabilan politik merupakan sesuatu yang saat ini tengah diusahakan dan dijaga terus-menerus oleh pemerintah.”
Sedangkan Kepala Pusat Penerangan Departemen Pertahanan dan Keamanan, Brigjen TNI Gunarso SF menyatakan, buku karya Pram selama di Pulau Buru tak boleh beredar karena dinilai banyak masalah yang kurang benar ikut dituangkan dalam buku itu. “Kita akan menilainya (buku-buku karya Pram) satu per satu,” katanya seperti dikutip Kompas, 18 Desember 1979.
Larangan beredar karya Pram, Bumi Manusia juga berlaku di lingkungan Departemen P & K. Kompas, 18 Oktober 1980 mencatat, dasar larangan tersebut karena buku itu dinilai tidak baik untuk kepentingan pendidikan anak-anak sekolah maupun mahasiswa. Buku itu diperkirakan dapat memberi pengaruh kurang tepat dalam pembinaan ideologi. “Oleh sebab itu seluruh anak didik dan keluarga Departemen P & K tidak diizinkan memiliki, membaca atau menggunakan buku tersebut.”
Sedangkan Jaksa Agung lewat surat keputusannya melarang peredaran buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pram. Pertimbangannya, buku-buku itu telah “menimbulkan tanggapan di berbagai kalangan masyarakat, dan telah berkembang serta mempengaruhi situasi keamanan dan ketertiban (Kamtib) umum”.
Kepala Humas Kejaksaan Agung, Anak Agung Gde Ngurah SH menyatakan, surat keputusan mengenai larangan dua buku itu “sedang dalam perjalanan” dikirim kepada penerbit (Kompas, 1 Juni 1981).
Larangan masih berlanjut saat buku ketiga dari tetralogi karya Pram, Jejak Langkah beredar. Buku karyanya yang lain, Sang Pemula juga dilarang beredar. Jaksa Agung Hari Suharto mewajibkan kepada siapa pun yang menyimpan, memperdagangkan, menyebarkan, dan mencetak kembali kedua buku itu, untuk menyerahkannya kepada kejaksaan setempat.
“Buku karangan Pramoedya tersebut merupakan karya novel sejarah yang bertitik tolak pada ‘konsep kontradiksi sosial dan perjuangan kelas berlandaskan realisme sosialis, yaitu tipe sastra yang dianut kaum komunis’. Selain itu karya tersebut dinilai mengandung ‘pengaruh yang dapat mengganggu ketertiban umum’.” (Kompas, 22 Mei 1986).
Tahun 1988 buku keempat dari tetraloginya, Rumah Kaca juga dilarang beredar. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono dan Menko Polkam Sudomo menjelaskan, “Meski tidak secara eksplisit menyebut kata-kata komunis, tetapi di sana-sini ditemukan bagian-bagian yang mengandung ajaran komunis dan marxisme yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.” (Kompas, 10 Juni 1988).
Buku karya Pram lainnya yang juga dilarang beredar adalah Gadis Pantai (Kompas, 10 Agustus 1988). Alasan Jaksa Agung sama dengan pelarangan untuk Rumah Kaca. Tahun 1995 Jaksa Agung Singgih juga melarang peredaran buku Pram, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Alasannya antara lain, isi buku tersebut dapat menimbulkan opini keliru terhadap Pemerintah Indonesia (Kompas, 14 Mei 1995).
Keluarga
Pram lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan meninggal pada 29 April 2006. Jenazahnya dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Dia meninggalkan istrinya Maemunah, 8 anak, 16 cucu dan 2 cicit (Kompas, 1 Mei 2006).
Kompas, 21 Desember 1979 mencatat, hal yang paling didambakan Pram sebebas dari Pulau Buru adalah berkumpul bersama keluarga. Dia begitu ingin memeluk anaknya Yudistira yang ketika ditinggalkan, masih bayi berumur sekitar dua bulan.
Suasana pertemuan Pram dengan keluarganya menjadi kisah yang diangkat media massa. Belasan tahun hidup terpisah, Pram tak bisa membayangkan pertumbuhan anak-anaknya. Jadilah Maemunah memperkenalkan kembali anak-anak mereka kepada sang suami. Pram lalu menggendong putrinya Astuti, dan merangkul Rita dan Yana, kedua putrinya yang lain (Kompas, 23 Desember 1979).
Membahas buku tentang Pram karya Profesor Andries Teeuw, Daniel Dhakidae antara lain menulis, ayah Pram adalah seorang guru yang mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Rembang. Tetapi dengan alasan ideologis, sang ayah meninggalkan sekolah itu dan mengajar di Boedi Oetomo Instituut, Blora. Sang ayah mengabaikan gaji 200 gulden dan memilih bekerja dengan gaji 18 gulden (Kompas, 23 Mei 1994).
Sekolah rendah yang biasanya diselesaikan seseorang dalam 7 tahun, diselesaikan Pram selama 10 tahun karena ia mengulang di kelas 1, 2 dan 3. Pada masa revolusi Pram menjadi tentara kesatuan Banteng Taruna, cikal bakal divisi Siliwangi. Dia ditempatkan di Cikampek sebagai sersan mayor, lalu letnan dua. Ia berhenti sebagai tentara pada 1947.
P. Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati P. menulis, pada masa Orde Baru selain Pram, pamannya Moedigdo ikut ditahan, juga adiknya, Prawito Waluyadi, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer (Kompas, 2 Maret 2005). Saat Pram diciduk, Koesalah kebetulan ada di Jakarta untuk mempersiapkan disertasi program doktornya di Fakultas Sastra dan Filologi Universitas Patrice Lumumba, Moskwa. Koesalah dibebaskan sekitar tahun 1978.
Sedang Soesilo ditangkap di bandara sepulang dari Moskwa. Penyandang gelar doktor ekonomi dari Institut Plekhanov ini ditahan sejak 1973 sampai 1980. Pram merasa bersalah, karena telah menyuruh kedua adiknya itu bersekolah di Rusia. Tetapi waktu itu, biaya sekolah termasuk mahal untuk mereka, sementara Rusia menawarkan pendidikan gratis.
Bahan kajian
Selain tetap menulis, selama di Pulau Buru, Pram yang pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 SMP (Kompas, 29 Agustus 1980) menghabiskan waktunya dengan belajar bahasa Jerman. Dia menyebut bukunya Bumi Manusia adalah sebuah roman.
“Saya menulis roman bukan sejarah. Bahwa itu ada unsur sejarahnya terserah pada pembaca. Pengarang membuat kebenarannya sendiri,” kata dia tentang buku pertama dari tetralogi yang diterbitkan Hasta Mitra itu.
Buku keduanya, Anak Semua Bangsa terbit akhir 1980 (Kompas, 28 Desember 1980). Kalau dalam Bumi Manusia, apa yang dirasakan Minke, sang tokoh, adalah penderitaan pribadi, maka dalam buku keduanya, dia bertemu dengan perubahan pada abad 20 dan persoalan yang dihadapi masyarakat.
Kompas, 1 Juni 1981 mencatat, Bumi Manusia dicetak ulang lima kali, dan Anak Semua Bangsa dua kali. Sekali cetak berjumlah sekitar 5.000-10.000 eksemplar. Kedua buku itu adalah bagian dari tetralogi yang ditulis Pram di Pulau Buru. Buku ketiga dan keempatnya adalah Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Tahun 2002 lima buku karyanya diluncurkan ulang, yakni Arok-Dedes, Cerita dari Jakarta, Korupsi, Mereka yang Dilumpuhkan, dan Perburuan (Kompas, 13 Mei 2002).
Pram sudah tiada, tetapi buah karyanya berlanjut. Buku-buku karyanya dicetak ulang dan menjadi bahan kajian, diskusi, maupun bacaan lintas generasi. Kompas, 19 Februari 2007 mencatat, di Taman Ismail Marzuki Jakarta diadakan diskusi bertema “Perempuan dalam Roman karya Pramoedya Ananta Toer", juga pergelaran lakon Nyai Ontosoroh, tokoh dalam buku Bumi Manusia. Ini merupakan hasil kolaborasi organisasi-organisasi perempuan Indonesia.