Rakaryan Sukarjaputra/ Yurnaldi/ Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
Banjir melanda Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Minggu (16/7). Itulah banjir terparah yang pernah dialami Belitung. Penyebab banjir belum diungkap secara jelas. Meski tidak sekali dua kali, ada peringatan terhadap langkah-langkah manusia yang mencederai alam Belitung dan juga alam Bangka Belitung. Berikut ini kembali ditampilkan artikel Kompas yang pernah diterbitkan di harian Kompas, Rabu, 27 Juni 2001, di halaman 1 dengan judul Timah Dicari, Timah Dibenci.
Tohari bersama kawan-kawannya asyik menggali-gali tanah, lalu memindahkannya ke dalam kotak kayu yang berfungsi sebagai pendulangan. Tanah-tanah itu setelah memenuhi kotak kayu kemudian dibilas dengan air hingga hampir semua bagian tanah ikut hanyut ke danau yang airnya berwarna hijau jernih. Lalu, dari sisa-sisa tanah itu, terlihatlah pasir halus bercampur dengan butiran hitam sangat kecil-kecil.
"Inilah pasir timahnya. Lumayan kalau kami kumpulkan. Kadang-kadang yang kami dapat lebih sedikit dari ini," ungkapnya.
Dari pasir-pasir mengandung timah itulah, Tohari dan kawan-kawan setiap harinya menghidupi keluarganya. Dia tak begitu peduli bahwa tanah yang digalinya itu adalah bantaran kolong, sebutan khas masyarakat Bangka Belitung terhadap danau yang terbentuk akibat bekas galian timah.
Dulu pun, di tempat itu, PT Tambang Timah melakukan penambangan besar-besaran sehingga terbentuklah cekungan yang sangat dalam dan kemudian menampung air hujan. Maka, jadilah cekungan itu sebuah kolong.
Penambang-penambang timah, seperti Tohari, sekarang, ribuan jumlahnya di Bangka Belitung. Sebutan untuk mereka adalah Tambang Rakyat (TR). Sedangkan mereka yang menggunakan alat penggali besar, seperti buldoser atau ekskavator, dan menggunakan tempat pendulangan yang lebih besar, biasa disebut Tambang Inkonvensional (TI). Mereka inilah yang kini melakukan kegiatan penambangan timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung, setelah PT Timah "meninggalkan" kegiatan penambangan darat dan beralih ke penambangan di laut.
Dahulu, penambangan timah yang dilakukan PT Timah mendapat kritikan pedas karena menimbulkan kerusakan lingkungan, terutama menyangkut areal-areal eks tambang yang dibiarkan saja menjadi cekungan sehingga bumi Bangka Belitung tampak bolong-bolong jika dilihat dari udara. Dulu, timah juga dibenci warga karena masyarakat tidak bisa dengan bebas mengambilinya karena hanya PT Timah dan PT Koba Tin yang diberi "kuasa" untuk menambang timah di Bangka Belitung.
Kini, sejak Indonesia memasuki masa reformasi, timah menjadi buruan di mana-mana. Di ladang, di lembah-lembah, di areal-areal eks tambang PT Timah dulu, tambang-tambang timah baru bermunculan bak jamur di musim hujan. Menambang timah menjadi tempat usaha sekaligus "pelarian" baru bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan. Dengan harga jual di tingkat penambang sekitar Rp 10.000-Rp 12.000 per kilogram, dan bisa diambil setiap hari, pasir atau konsentrat timah menjadi lebih menarik ketimbang lada yang hanya bisa dipanen setahun sekali.
Bisnis timah ini juga makin menarik orang karena banyak sekali cerita tentang orang yang menjadi cepat kaya setelah menambang timah. Dengan modal sekitar Rp 15 juta, siapa pun bisa membuka tambang timah di Bangka Belitung sekarang ini meskipun soal izin bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali.
***
Kalau sebelum reformasi kalangan LSM yang kerap meneriakkan Bangka dan Belitung bisa tenggelam karena timahnya diambili terus, barangkali sekarang pesan yang sama harus diteriakkan lebih keras. Bumi Bangka Belitung benar-benar tambah carut-marut sekarang ini karena bolong-bolong di bumi Bangka Belitung semakin menggila saja.
Ketiadaan aturan di tingkat pemerintah daerah mengenai penambangan timah, sementara otonomi sudah diberikan kepada pemerintah daerah, ditambah lagi Bangka Belitung baru saja menjadi provinsi, benar-benar membuat bisnis timah kini berjalan di luar kendali.
Selain penambangan, pemasaran timah pun yang semestinya disalurkan melalui PT Timah atau PT Koba Tin sering di-by-pass dengan menyelundupkan pasir timah ke luar Indonesia, khususnya Singapura. Harga yang lebih menarik di Singapura membuat upaya penyelundupan pasir timah cukup marak. Sayangnya, kontrol di darat, di pelabuhan, terlebih lagi di laut sangat lemah sehingga penyelundupan pasir timah mudah saja dilakukan.
"Kalau kami harus memberikan harga yang sama dengan yang ditawarkan pembeli di Singapura, jelas tidak mungkin, karena kami harus menanggung biaya reklamasi, revegetasi, juga pajak-pajak, sementara pembeli di Singapura itu, kan, tidak. Dia tahu beres saja, tapi sebagai akibatnya lingkungan eks tambang timah itu tidak diperbaiki kembali," ungkap Direktur Utama PT Tambang Timah Thobrani Alwi.
Pejabat Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Amur Muchasim menyatakan, penyelundupan timah ini sudah seperti lingkaran setan. Sulit diterima akal sehat bagaimana penyelundupan timah yang volumenya besar tidak ketahuan. Padahal, untuk mengangkutnya ke kapal saja dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, belum lagi iring-iringan truk yang mengangkut pasir timah itu.
Padahal, persoalan kita dengan tambang-tambang timah eks PT Timah maupun tambang eks PT Koba Tin belum selesai. Masih ada sejumlah eks tambang kedua perusahaan itu yang belum direklamasi dengan baik. Untunglah kedua perusahaan ini cukup berupaya untuk mereklamasi eks tambang-tambang mereka, serta memikirkan bagaimana agar kolong-kolong yang ada bisa dimanfaatkan. Akan tetapi, upaya reklamasi dan revegetasi kedua perusahaan besar penambangan timah ini pun bisa berbenturan dengan kembali dibukanya eks tambang oleh para penambang TR atau TI tersebut.
Barangkali-tetapi mudah-mudahan tidak-inilah nasib yang harus dialami Bangka Belitung. Betapa tidak? Ketika PT Timah merestrukturisasi usahanya, menutup banyak tambangnya, serta mengurangi jumlah karyawannya secara besar-besaran, sekitar tahun 1990-1992, Bangka Belitung cukup dibuat guncang. Belitung langsung sepi, dan kota-kota di sana sekarang sering digambarkan sebagai kota mati bila dibandingkan kehidupan kota-kota itu pada waktu timah masih berjaya dulu.
Bangka pun ikut guncang meski tidak separah Belitung karena PT Timah masih berkantor pusat di Bangka dan melakukan kegiatan penambangan offshore (lepas pantai) di sekitar perairan Bangka.