Setiap kali Hari Koperasi diperingati pada 12 Juli, yang tahun ini genap berusia 70 tahun, selalu terdengar keluhan, kenapa peran koperasi tidak kunjung membesar? Padahal, koperasi sudah disepakati sebagai salah satu soko guru perekonomian Indonesia. Di manakah letak koperasi dalam peta sektor finansial kita? Inisiatif apa yang masih perlu dilakukan?
Di sektor finansial kita terdapat dua pilar utama yang dominan. Pertama, industri perbankan yang saat ini asetnya di atas Rp 7.000 triliun. Kedua, pasar modal yang kapitalisasi pasarnya melebihi Rp 6.000 triliun. Sementara koperasi dan lembaga keuangan lain, seperti pegadaian yang diklasifikasikan sebagai industri keuangan nonbank, skalanya jauh lebih kecil.
Penyaluran dana oleh PT Pegadaian (Persero) Rp 120 triliun (2016). Jika termasuk pegadaian swasta, penyalurannya kira-kira hanya setara dengan satu bank kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) III. Sementara itu, kontribusi koperasi di Indonesia diklaim meningkat dari 1,71 persen pada 2013 menjadi 3,99 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2016. Dengan PDB Rp 12.000 triliun, kontribusi koperasi kira-kira Rp 480 triliun. Jika data ini valid, jumlah ini sangat besar, melebihi anggaran infrastruktur Rp 300 triliun dan biaya pemindahan ibu kota Rp 500 triliun.
Angka ini masih di bawah kontribusi koperasi di Perancis dan Belanda (18 persen) dan Selandia Baru (20 persen). Ketiga negara ini memang paling top di dunia untuk kriteria rasio jumlah anggota koperasi dan pekerjanya terhadap populasi serta rasio pendapatan terhadap PDB.
Namun, data kontribusi koperasi terhadap PDB itu masih perlu diuji lagi mengingat data penyaluran dana koperasi kita sejauh ini hanya Rp 1 triliun (2016) dan Rp 1,7 triliun (target 2017). Hingga Juni 2017, penyaluran dana pinjaman baru Rp 900 miliar. Ini terbilang sangat kecil, bahkan lebih rendah dibandingkan penyaluran kredit satu bank perkreditan rakyat (BPR) terbesar. Kita punya tiga BPR terbesar yang tersebar di Lampung, Bandung, dan Denpasar dengan aset masing-masing Rp 3 triliun-Rp 6 triliun.
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM), ada 212.000 koperasi di Indonesia, tetapi yang aktif hanya 150.000 unit. Tahun ini saja, Kemenkop dan UKM telah menutup 43.000 koperasi yang kondisinya kepayahan dengan manajemen buruk. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak koperasi yang berdiri tanpa dilandasi perencanaan yang baik dan melibatkan sumber daya manusia yang unggul sehingga dengan mudah mengalami kesulitan tatkala beroperasi.
Tetap relevan
Berdasarkan peta industri itu, apakah eksistensi koperasi sudah tidak layak mengingat peranannya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan industri perbankan, pasar modal, bahkan industri perbankan syariah? Saya yakin, koperasi masih dibutuhkan dan memberi kontribusi. Menurut sejarah berdirinya koperasi di Indonesia—dengan Kongres Koperasi I pada 12 Juli 1947 di Tasikmalaya—ide mendirikan koperasi adalah untuk mencegah para pegawai tidak terperosok ke lilitan para rentenir yang mengenakan bunga tinggi. Faktanya, ide ini masih tetap relevan hingga zaman berganti.
Kini, agenda terbesar sektor finansial kita masih sama, yakni bagaimana meningkatkan inklusi, literasi, dan pendalaman finansial. Indonesia adalah negara besar, PDB ada di peringkat ke-16 dunia, dengan penduduk besar dan wilayah yang luas. Untuk menjangkau semua penduduk dan wilayah, mengandalkan industri finansial modern saja tidaklah cukup. Masyarakat kita sangat beragam, baik dari segi level pendapatan, pendidikan, maupun persebaran penduduk (konfigurasi kota-desa-pulau terpencil).
Karena itu, diperlukan kontribusi semua lembaga finansial formal, baik yang besar (Bank Mandiri dan BRI asetnya masing-masing Rp 1.000 triliun), sampai yang kecil (omzet koperasi ada yang hanya puluhan juta rupiah). Yang dikatakan Presiden Joko Widodo pun sudah benar, yakni penggerak koperasi mesti rajin berinovasi dan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Namun, ini seperti terminologi ayam dan telur. Mana yang lebih dulu, koperasi menjadi besar sehingga mampu berinvestasi teknologi, atau koperasi harus memiliki teknologi dulu agar bisa cepat berkembang?
Pemerintah perlu punya kehendak politik yang besar untuk menciptakan koperasi dengan modal besar yang didukung sumber daya manusia berkualitas dan teknologi mutakhir, dikelola sebagaimana layaknya perusahaan modern, agar bisa menjadi panutan. Misalnya, Kementerian BUMN menugaskan perusahaan negara yang punya laba besar, seperti Pertamina, Bank Mandiri, BRI, dan Telkom, membantu koperasi yang memiliki omzet hingga puluhan triliun rupiah.
Inilah antitesis yang bisa didorong untuk membantu memadamkan kesan yang telanjur berkembang klasik, bahwa koperasi kebanyakan dikelola secara ketinggalan zaman dan tidak profesional. Kelak, Menteri Koperasi dan UKM pun mestinya tidak perlu keletihan karena terlampau sering menutup koperasi yang bermasalah.
A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.