Ketimpangan Kesejahteraan Jangan Dianggap Remeh
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan kesejahteraan rakyat yang masih tajam tidak bisa dianggap remeh. Persoalan ini mudah memicu persoalan yang lebih serius seperti yang terjadi pada tahun 1998.
Pemerintah perlu mempercepat implementasi program dan kebijakan dengan memperkuat koordinasi antarkementerian untuk mempersempit jurang antara masyarakat kaya dan miskin. Berkelindan dengan persoalan ini, nasib pengembangan usaha mikro dan kecil juga patut mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah dan konglomerasi besar untuk menciptakan lapangan kerja demi meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen) pada Maret 2017. Meskipun ada perbaikan dari 28,01 juta orang (10,86 persen) pada Maret 2016, laju penurunan jumlah penduduk miskin belum sesuai harapan.
Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Ahmad Syafii Maarif, dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/7), menyampaikan agar hal itu menjadi perhatian serius pemerintah.
"Pemerintah sudah bekerja, tetapi perlu dipercepat pelaksanaannya. Jika tidak, bisa timbul prahara sosial seperti pada bulan Mei 1998," kata Syafii.
Selain berbicara kepada Presiden, Syafii juga telah menjalin komunikasi dengan sejumlah konglomerat besar untuk meyakinkan hal itu. Pengusaha besar, kata Syafii, sudah semestinya ikut turun tangan memberdayakan masyarakat berpenghasilan rendah demi mempersempit kesenjangan ekonomi.
Persoalan ketimpangan, menurut Syafii, merupakan warisan masalah masa lalu. Persoalan ini tidak ditangani serius sehingga kini mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
"Ketimpangan ini seperti \'rumput kering\' yang rentan sekali memicu berbagai macam persoalan yang menggunakan nama agama atau lainnya," ujar mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut.
Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Indonesia masih berada pada peringkat ke-4 negara paling timpang di dunia (Kompas, 5/1). Salah satu indikasinya adalah 1 persen orang terkaya di negeri ini menguasai 49,3 persen aset nasional.
Sebelumnya, di Padang, Sumatera Barat, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah menaruh perhatian serius terhadap masalah ketimpangan kesejahteraan dan menjadikannya sebagai program prioritas dengan memfasilitasi akses usaha bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Beberapa upaya itu, antara lain, menyediakan kredit usaha rakyat (KUR) bersuku bunga 9 persen per tahun sebagai modal usaha murah bagi UKM. Pemerintah juga mengalokasikan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk diusahakan oleh masyarakat di sekitarnya dengan skema perhutanan sosial dalam jangka waktu 95 tahun.
Secara terpisah, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengungkapkan, sejak reformasi dan dalam era persaingan global, tingkat konglomerasi dengan integrasi bisnis dari hulu ke hilir semakin tinggi. Dalam ekonomi yang berkembang, konsentrasi penguasaan pasar oleh beberapa kelompok usaha juga terjadi sehingga semakin memperlebar kesenjangan ekonomi.
"Kemitraan yang setara antara pelaku usaha kecil dan pelaku usaha besar menjadi salah satu kunci mengatasi ketimpangan," kata Syarkawi. Pelaku usaha kecil harus memiliki kesempatan berkembang lewat alih pengetahuan dan kemampuan dari kemitraan dengan pelaku usaha besar.
Lapangan kerja
Persoalan ketimpangan tidak semata dipengaruhi oleh konglomerasi ekonomi. Keterbatasan lapangan kerja formal juga menghambat upaya pengentasan rakyat miskin.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, masalah ketimpangan kesejahteraan sangat erat dengan penyerapan tenaga kerja. "Saat ini penyerapan tenaga kerja di sektor formal justru semakin menurun," kata Hariyadi.
Sebagai gambaran, nilai investasi Rp 208,5 triliun tahun 2010 dengan setiap Rp 1 triliun penanaman modal mampu menyerap 5.000 tenaga kerja. Pada tahun 2016 dengan investasi senilai Rp 612,8 triliun, rasio penyerapan tenaga kerja merosot drastis menjadi 2.200 orang per Rp 1 triliun investasi.
Menurut Hariyadi, gagasan mengenai redistribusi aset, seperti lahan, dari pelaku usaha besar kepada pelaku usaha kecil untuk pemanfaatan lahan dinilai cukup baik. Misalnya, penguasaan lahan di sektor properti yang berlebihan perlu dibenahi.
Dari data BPS, rasio gini, yang menjadi ukuran ketimpangan, turun dari 0,397 pada Maret 2016 menjadi 0,393 (Maret 2017). Meski relatif menunjukkan perbaikan dari 0,408 pada Maret 2015, laju penurunan tingkat ketimpangan antara tahun 2016 dan 2017 dirasakan belum sesuai harapan.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengakui, pemerataan merupakan indikator yang tidak mudah berubah. "Kalaupun terjadi, perubahannya itu kecil-kecil. Bahwa dia tidak memburuk, kita harus syukuri. Bahwa tidak membaik, itu juga betul," ujar Darmin.
Salah satu titik yang patut menjadi perhatian pemerintah untuk mempersempit ketimpangan adalah mengurangi kemiskinan di perdesaan. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, hal ini harus dilakukan dengan tetap memperhatikan kemiskinan perkotaan.
Pada Maret 2017, jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,10 juta orang (13,93 persen), sedangkan di perkotaan 10,67 juta orang (7,72 persen). "Jadi kalau ingin mengentaskan rakyat miskin, kuncinya ada di perdesaan. Karakteristik kemiskinan di perdesaan dan perkotaan berbeda sehingga sentuhannya juga berbeda," ujar Suhariyanto.
(NDY/CAS/FER)