Kisah Perantau Sukses dari Bugis
RUANG pertemuan besar di salah satu hotel berbintang di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (1/7) pagi itu, hampir penuh. Wajah-wajah semringah, pakaian warna-warni, bersalaman, berangkulan, dan tawa lepas memenuhi ruang. Suasana menjadi hangat.
Mereka yang berkumpul di rungan ini adalah peserta Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar (PSBM) XVII, yang sebagian besar adalah perantau yang umumnya sukses di perantauan. Panitia mencatat ada 1.000 peserta yang menyatakan hadir.
Di daerah rantau, para perantau asal Sulsel ini umumnya bergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Ide PSBM juga hadir dari KKSS sekitar 23 tahun lalu.
Walau bernama pertemuan saudagar, soal bisnis atau dagang tak mendominasi pembicaraan. Sesungguhnya pertemuan lebih banyak berisi temu kangen, silaturahim, halalbihalal. Selebihnya, berbagi cerita sukses.
”Ini bukan pertemuan bisnis atau dagang, melainkan pertemuan semangat, sinergi, dan membuat jaringan. Kenapa ini dilaksanakan setiap tahun? Ini perlu untuk saling dukung dan menyemangati. Tentu tak semua perantau sukses. Ada kegagalan, jatuh bangun, dan di sinilah perlunya saling menyemangati dan belajar bersama,” kata Jusuf Kalla, saat memberi sambutan dalam pertemuan tersebut.
Jusuf Kalla berharap pertemuan ini menjadi ajang menyebar virus dan semangat berwirausaha pada generasi muda. ”Yang penting adalah menyebar semangat wirausaha. Itulah mengapa dalam pertemuan seperti ini selalu dihadirkan pemuda dan mahasiswa. Agar mereka bisa belajar dan tergugah berwirausaha,” kata Jusuf Kalla.
Perantau sukses
Sukses menaklukkan daerah rantau agaknya jadi takdir Wagus Hidayat. Perantau asal Kabupaten Sidenreng Rappang, ini berhasil menjadi bagian dalam perkembangan usaha transportasi udara di Puncak Jaya dan wilayah pedalaman lain di Papua.
”Sebenarnya, saat tamat SMU dan tak lulus perguruan tinggi, saya sempat ikut anak-anak muda di kampung jadi buruh tanam dan panen padi. Tapi rupanya, saya tak punya bakat bertani. Saya akhirnya memutuskan merantau ke Papua. Hampir 10 tahun saya kerja serabutan, dari jualan kecil-kecilan, jual bensin eceran, jadi sopir tembak, hingga tukang ojek,” kata Wagus.
Merasa hidupnya tak lebih baik, ia memberanikan diri ke Puncak Jaya. Di sana, dia menjadi perwakilan Trigana Air. Peristiwa penembakan pilot Trigana Air, yang membuat pilot mogok terbang hingga tiga bulan, membuat Wagus menemui pemerintah setempat, meminta jaminan keamanan, dan kemudian memberanikan diri mengajukan kerjasama dengan Enggang Air Trans.
”Saat meminta ke Enggang Air Trans, saya tak punya modal banyak, hanya kepercayaan. Tapi kemudian jalan. Trigana kemudiani menawarjan kerja sama untuk mengelola penerbangan dengan menyewa pesawat. Daripada menyewa, saya akhirnya mencari uang dan pinjaman untuk membeli pesawat dengan cara mencicil,” katanya.
Kini Wagus memiliki enam pesawat, di antaranya jenis Twin Otter dan caravan yang melayani rute Puncak jaya, Tolikara, Membramo, Timika, Sentani, Oksibil, Mulia, Sinak, dan wilayah terpencil lainnya. Dengan perusahaan PT Semuwa Dirgantara miliknya dan enam pesawat, ia menjalankan usaha transportasi udara dengan memakai nama maskapai Trigana Air.
Sukses merantau juga jadi milik Zaenal Mappe yang berasal dari Soppeng. Memulai dari nol, ia sukses jadi pengusaha dan membangun mal di Gorontalo. Ia juga mengembangkan sayap bisnis ke beberapa kota. Di Makassar dia membangun hotel berbintang 21 lantai. Mempekerjakan tenaga kerja lokal di hotel miliknya adalah bagian sumbangsihnya untuk daerah asal.
Ada pula Dasril Sahari yang juga sukses dengan bisnis di bidang pertambangan dan transportasi udara di Nabire, Papua. Pemilik 10 helikopter ini mendorong generasi muda melihat peluang usaha untuk ikut mengembangkan Papua. Baginya, peluang usaha harus diciptakan dan tak boleh sekadar berpikir tentang usaha yang mengandalkan dana APBD dan APBN.
Peran para perantau asal Sulsel membangun di daerah rantau juga diakui Gubernur Jambi Zumi Zola. ”Di daerah saya, perantau asal Sulsel punya peran penting turut membangun daerah. Mereka tidak hanya ada di kota, tapi di hampir semua kabupaten dan pelosok. Mereka punya sumbangsih besar dalam pembangunan di Jambi. Itulah mengapa saya datang ke pertemuan ini,” katanya.
Merantau adalah tradisi
Budayawan yang juga Guru Besar Universitas Hasanuddin, Prof Dr Nurhayati Rahman, mengatakan, merantau dan berdagang adalah dua hal yang nyaris tak lepas dari kultur ataupun tradisi suku Bugis. Suku Bugis mengenal istilah Sompe dan Mallekke’ Dapureng. Ada beberapa alasan orang Bugis merantau, di antaranya siri’ (harga diri), pesse (harga diri yang lebih ke empati), reso (ikhtiar), dan were (takdir).
”Kalau sompe adalah perantau yang keluar dalam waktu tertentu seperti tiga, enam bulan, hingga setahun, lalu pulang membawa hasil. Tapi mallekke dapureng biasanya merantau dan menetap atau hijrah. Ada banyak alasan orang melakukan mallekke dapureng. Bisa jadi karena siri’ dengan alasan ekonomi, sosial masyarakat, protes, atau peristiwa terkait harga diri atau malu,” katanya.
Jika banyak perantau asal Sulsel sukses, tambah Nurhayati, ini tak lepas dari pesan pendahulu dan turun-temurun bagi orang yang akan merantau, yakni aja lalo mancaji ana bua, ancaji punggawa ko (jangan menjadi anak buah tapi jadilah bos, red).
”Ini diperkuat dengan falsafah, tanah dan air tempat kita hidup, itu adalah tanah tumpah darah kedua. Itulah mengapa perantau Bugis-Makassar menghibahkan hidupnya di tempat mereka hidup. Jika sukses di perantauan, mereka tidak membawa pulang kekayaannya ke kampung halaman, tetapi berupa bantuan untuk memperbaiki rumah orangtua, membangun masjid, dan membantu keluarga yang tidak mampu,” kata Nurhayati.
Dalam buku The Bugis, Christian Pelras menulis bahwa suku Bugis memiliki ciri-ciri menusia modern. Mereka sangat agresif dan terbuka pada perubahan, agresif berkompetisi, tetapi juga teguh pada tradisi. Dengan ini, Suku Bugis disebut paling siap berkompetisi dalam era perdagangan bebas.
Banyak yang bertanya, setelah sekian tahun merantau dan setiap tahun bertemu dalam forum PSBM, apa yang sudah dilakukan para perantau untuk daerah asalnya?
”Tak lagi penting apa yang mereka lakukan untuk daderah ini, toh, mereka merantau bukan karena daerah ini miskin. Kami bangga mereka berkiprah dan berbuat di rantau. Biarlah mereka bertebaran di mana-mana, menjaga dan ikut jadi perekat Nusantara. Kami hanya ingin mereka tetap mengingat asalnya dan membawa semangat mereka kesini,” kata Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo.
Jusuf Kalla juga mengingatkan para perantau untuk tetap berkiprah di mana pun mereka berada. ”Tidak apa-apa kalau tak pulang. Tapi setidaknya ingat kampung halaman. Jika punya rezeki berlebih, bangun rumah orangtua, bantu keluarga yang tak mampu agar kesuksesan di rantau bisa dinikmati di kampung halaman,” katanya.