Kombinasikan Program Infrastruktur
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah berupaya menangani ketimpangan. Program infrastruktur diyakini akan mengurangi ketimpangan meski membutuhkan waktu lama. Untuk itu, pemerintah mengombinasikan dengan beberapa program penanganan kemiskinan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di Jakarta, Selasa (18/7), menyatakan, pembangunan infrastruktur besar yang penting untuk perekonomian nasional belum memberikan dampak langsung terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan saat pembangunan berlangsung. Dampaknya baru akan terasa saat infrastruktur digunakan.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah mengimbangi pembangunan infrastruktur dengan program-program pemberantasan kemiskinan dan pemberdayaan rumah tangga miskin. Program ini terdapat di bidang pendidikan, kesehatan, dana desa, serta jaring pengaman sosial, seperti program Kartu Indonesia Sejahtera.
Namun, menyelenggarakan program pemberantasan kemiskinan, menurut Sri Mulyani, tidak saja menyangkut aspek anggaran. Hal ini mutlak membutuhkan data akurat dan persiapan matang.
"Pemerintah tidak ingin hanya membelanjakan, tetapi tidak ada dampaknya. Kementerian Sosial dan Kementerian Desa penting tugasnya dalam meyakinkan bahwa belanja-belanja ini bisa terus meningkatkan kemampuan mengurangi kemiskinan di akar rumput," tutur Sri Mulyani.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia pada Maret 2017 yang diukur oleh rasio gini sebesar 0,393. Rasio gini ini turun 0,001 poin dibandingkan September 2016 yang 0,394 dan turun 0,004 poin dibandingkan Maret 2016 yang 0,397.
BPS mendata, rasio gini di perkotaan pada Maret 2017 sebesar 0,407. Angka ini turun dibandingkan rasio gini perkotaan pada September 2016 yang 0,409 dan pada Maret 2016 yang 0,410.
Sementara itu, rasio gini di perdesaan pada Maret 2017 sebesar 0,320 atau naik dibandingkan rasio gini pada September 2016 yang 0,316 dan turun dibandingkan rasio gini perdesaan pada Maret 2016 yang 0,327.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan, BI berkomitmen menjaga inflasi agar daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, tidak melemah. Hal itu merupakan salah satu cara BI berkontribusi terhadap perbaikan ketimpangan sosial.
"Memang kebijakan BI tidak berdampak langsung terhadap pemerataan pendapatan. Namun, dengan menjaga harga pada level terendah, setidaknya masyarakat kelas menengah ke bawah tidak terbebani mengeluarkan biaya tambahan untuk kehidupan sehari-hari," tuturnya.
Tahap pemulihan
Menurut Dody, daya beli masyarakat pada semester pertama tahun ini baru pada tahap pemulihan. BI memperkirakan daya beli masyarakat bisa tumbuh 5 persen dan pada akhir tahun nanti sekitar 5,2-5,3 persen atau sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
BI melihat pendapatan kelompok kelas menengah ke bawah, terutama buruh dan petani, relatif turun. Kenaikan tarif listrik juga menyebabkan daya beli mereka menjadi terbatas.
"Hal itu berpengaruh terhadap pengeluaran dan tingkat konsumsi mereka. Adapun untuk kelompok kelas menengah ke atas, pendapatan mereka relatif meningkat. Namun, mereka menunda pengeluaran karena menunggu prospek perbaikan ekonomi," paparnya.
Kendati begitu, lanjut Dody, BI melihat daya beli masyarakat akan terus meningkat pada semester kedua. Hal itu akan dipengaruhi pertumbuhan sektor swasta, investasi, ekspor, dan penyaluran dana pemerintah.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Imam Haryono mengatakan, pengembangan kawasan industri ke sejumlah wilayah di Indonesia merupakan salah satu upaya ikut menekan ketimpangan antardaerah.
Imam mengatakan, Kemenperin menginginkan agar secara sektoral struktur industri kuat dan berdaya saing. Di sisi lain, secara perwilayahan, industri dapat menyebar dan merata.
"(Hal) Ini agar pembangunan bisa dirasakan masyarakat dan tecermin dalam rasio gini yang pada triwulan I-2017 sebesar 0,393, sementara pada 2015 masih di atas 0,4," ujar Imam.
Imam menuturkan, keberadaan satu kawasan industri di Morowali mampu menaikkan produk domestik regional bruto Kabupaten Morowali rata-rata 29 persen per tahun.
Peraturan daerah
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, sejumlah peraturan daerah dinilai kurang mendukung sektor usaha tumbuh, termasuk usaha kecil di daerah. Kondisi itu dapat memengaruhi tingkat pemerataan ekonomi. Pemerintah, terutama Kementerian Dalam Negeri, perlu mengkaji dan membatalkan rancangan perda yang bermasalah atau tidak mendukung sektor usaha sebelum rancangan perda disahkan menjadi perda.
"Dari 1.082 perda yang dikaji KPPOD ditemukan hampir 50 persen atau sebanyak 547 perda kurang mendukung sektor usaha di daerah," kata Robert.
Regulasi di daerah yang kurang mendukung sektor usaha, termasuk usaha kecil, lanjut Robert, umumnya terkait dengan perda soal pajak, retribusi, ketenagakerjaan, perizinan, serta tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Sebagai contoh, menurut Robert, ada regulasi yang memungut retribusi untuk pengurusan surat izin usaha perdagangan. Selain itu, persyaratan mengurus surat, seperti surat keterangan domisili usaha, masih banyak yang tidak mudah dipenuhi pelaku usaha, terutama pelaku usaha kecil yang kurang memiliki akses.
"Berbagai persyaratan perizinan itu mengunci akses atau kesempatan berusaha dan berkembang bagi pelaku usaha kecil," kata Robert. Kondisi itu tentu dapat memengaruhi kegiatan dan pemerataan ekonomi di daerah yang sebenarnya menjadi program pemerintah.
Apalagi, Kementerian Dalam Negeri sudah tidak lagi memiliki kewenangan membatalkan perda yang sudah diberlakukan sesuai dengan putusan oleh Mahkamah Konstitusi. (HEN/CAS/LAS/FER)