logo Kompas.id
UtamaMengubah Stigma Penderita...
Iklan

Mengubah Stigma Penderita Gangguan Jiwa

Oleh
Dionisius Reynaldo triwibowo
· 4 menit baca

Dedi Wijaya (32) duduk di belakang jendela kamarnya. "Saya enggak gila. Saya dulu sering bertemu pejabat, kami berjabatan tangan. Saya ke sini hanya main saja," katanya berteriak kepada siapa pun yang lewat di selasar depan kamarnya di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta, Rabu (19/7). Siang itu, suasana Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Soeharto Heerdjan terasa istimewa. Balon-balon menggantung di setiap lorong. Tembok-tembok kamar dicat penuh warna, termasuk ruangan Dedi. Kemarin adalah hari jadi ke-150 tahun rumah sakit yang menampung orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) itu. Rumah sakit tersebut dibangun pada 1867 oleh Pemerintah Belanda. Awalnya, pasiennya adalah pasien gangguan mental yang berasal dari rumah sakit milik Persatuan Orang Cina di Indonesia (POCI). Seiring berjalannya waktu, Pemerintah Belanda menggantinya dengan nama RSJ Grogol pada 1923. Lalu, pada 1993, rumah sakit itu diganti namanya oleh Pemerintah Indonesia menjadi RSJ Pusat Jakarta dan terakhir pada 2002 menjadi RSJ Soeharto Heerdjan.Banyak perubahan pada rumah sakit itu. Hanya lorong- lorong yang tidak diubah. Lorong-lorong itu masih menggunakan gaya lama, dengan lebar hampir 2 meter dan berkelok menuju setiap ruangan."Rumah sakit ini dibangun dengan semangat tidak hanya untuk memulihkan gangguan kejiwaan, tetapi juga mengubah stigma masyarakat tentang ODMK. Gedungnya diperbarui agar bisa menampung banyak orang karena bertahun-tahun lalu RSJ ini penuh terus," kata Direktur Utama RSJ Soeharto Heerdjan Aris Tambing.Menurut Aris, gangguan kejiwaan bukan untuk disembunyikan. Pasalnya, untuk bisa pulih dari gangguan kejiwaan, ODMK membutuhkan perhatian dan kepedulian dari orang sekitarnya. "Kalau keluarga dan masyarakat tidak bisa memahami itu, ODMK akan semakin tersudutkan. Itu yang membuat ODMK sulit normal," katanya.Saat ini, rumah sakit itu memiliki kapasitas maksimal 300 pasien dan saat ini ada 212 pasien. Rinciannya, 204 pasien dewasa dan 8 pasien remaja dan anak. Jangan disembunyikanMenteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menambahkan, untuk bisa pulih total, OMDK membutuhkan perhatian lebih, bukan hanya dari tenaga kesehatan, melainkan juga dari keluarga dan lingkungan. "Pendekatan keluarga sangat cocok dalam mengatasi dan mencegah gangguan kejiwaan. Jadi jangan takut ke RSJ. Kalau memang menemukan gejala gangguan jiwa, di bawa saja, jangan disembunyikan, apalagi dipasung," katanya.Sebelum masuk ke rumah sakit itu, pasien diberikan penilaian untuk dilihat sejauh mana gangguan kejiwaannya. Pasien dengan tingkat gangguan yang tinggi diberikan poin satu sampai dua, sedangkan poin tiga sampai empat merupakan pasien dengan tingkat gangguan paling rendah.Kepala Instalasi Rehabilitasi RSJ Soeharto Heerdjan, Savitri W Kamarudin, mengatakan, setiap penilaian akan mengacu kepada tindakan yang dibutuhkan baik dari segi rehabilitasi psikiatrik maupun rehabilitasi psikososial. Rehabilitasi psikiatrik meliputi berbagai terapi obat dan konsultasi, sedangkan psikososial meliputi akomodasi day care, terapi, dan berbagai tindakan lainnya. "Mereka yang masih gaduh-gelisah tindakannya pasti berbeda dengan yang lain. Mereka juga diisolasi selama beberapa saat," kata Savitri.Untuk pasien dengan poin tiga sampai empat, pasien sudah bisa mengikuti kelas rehabilitasi dengan mengikuti berbagai macam kelas, seperti kelas kesenian, tata boga, dan kelas musik. Tujuannya agar OMDK bisa memiliki keterampilan setelah mengikuti kelas itu. Dedi, misalnya, merupakan pasien dengan kategori gaduh-gelisah karena tidak bisa diprediksi dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Biasanya, pasien seperti ini membutuhkan waktu agak lama untuk bisa pulih.Contoh pasien lain adalah Riki Permata (35). Ia bertingkah seperti tentara ketika berbicara, tetapi masih bisa berkomunikasi dengan baik. "Saya sudah keluar masuk rumah sakit ini empat kali. Saya senang masuk di sini karena bisa diajarkan membuat kue, apalagi saya dulu kuliahnya di jurusan pariwisata," kata Riki.Riki adalah pasien yang lebih mudah berkomunikasi dan lebih mudah pulih. Namun, gangguan kejiwaannya kerap kambuh karena kondisi lingkungan dan keluarga yang tidak mendukung. "Saya ini korban sakit hati ditinggal kekasih," ucap Riki.Menurut Savitri, pasien yang sudah selesai menjalani masa rehabilitasi bisa dikatakan pulih dari gangguan kejiwaan. Namun, gangguan tersebut bisa kambuh ketika ia kembali ke lingkungannya dan tidak bisa diterima seperti orang normal. "Pendekatan keluarga sangat penting untuk membantu proses pemulihan. Kalau ia masih dianggap gila, akan sulit untuknya bisa pulih," kata Savitri.KomunitasDalam merehabilitasi pasien, mereka juga dibantu komunitas, seperti yang dilakukan Adi Chandra (27) dan dua temannya dalam komunitas Hope (Hearth of People) yang selama ini mendampingi pasien dalam menemukan potensinya."Gangguan jiwa itu, kan, masih tabu, ya. Jadi, komunitas ini membantu pasien itu untuk kembali berinteraksi dan mencari potensi," kata Adi yang juga seorang psikolog.Seperti yang dilakukan Tannya Tirmidzi (28), anggota komunitas, yang membantu OMDK untuk bisa menata rias wajah. Ia membuka sesi belajar "salon" untuk OMDK. Ternyata dengan tingkat gangguan jiwa tertentu, mereka bisa tetap melatih diri untuk terampil di bidang tertentu.Saat ini, sebagian besar penderita gangguan kejiwaan yang sudah pulih dari RSJ Soeharto Heerdjan bekerja di beberapa perusahaan dengan beragam posisi. "Mereka bisa melakukan apa saja dan tetap bisa produktif. Yang penting orang mau peduli dan menghargai mereka karena mereka bisa pulih dan setiap orang punya potensi gangguan kejiwaan," kata Savitri.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000