Pembangunan di Yogyakarta Korbankan Lahan Pertanian
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA/ HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Pesatnya pembangunan di sektor perdagangan dan jasa di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengorbankan lahan pertanian. Para petani yang menjual sawahnya kini beralih profesi ke sektor informal lain, seperti pedagang kaki lima.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman Suwandi Azis mengatakan, penyebab berkurangnya luas lahan pertanian mayoritas akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi hotel, mal, dan kawasan permukiman.
”Tanpa kompensasi apa pun, kami tidak mungkin memaksakan petani untuk mempertahankan lahan pertanian milik mereka,” ujar Aziz, Kamis (20/7).
Berdasarkan data Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman, dalam enam tahun terakhir rata-rata luas lahan pertanian di Sleman berkurang 100 hektar per tahun.
Di Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, dalam enam tahun terakhir bertambah tujuh hotel dengan luas minimal 3.000 meter persegi yang dikelola perusahaan nasional dan multinasional. Selain hotel, di sepanjang Jalan Palagan juga banyak area sawah yang berubah menjadi permukiman dan pusat kuliner.
Kepala Desa Sariharjo Sarbini mengatakan, hotel-hotel tersebut dibangun di dua jenis lahan, yakni lahan yang dibeli dari pihak perseorangan dan lahan kas desa yang dikontrak selama 20 tahun dengan peninjauan ulang per lima tahun.
”Ahli waris umumnya enggan untuk terjun ke sektor pertanian. Selain itu, naiknya harga jual tanah akibat jalan di desa-desa yang makin baik menyebabkan pemilik sawah tergiur untuk menjual tanahnya,” kata Sarbini.
Sementara, kata Sarbini, para petani yang masih aktif dan menjual lahan sawahnya kepada investor berbondong-bondong mencari mata pencarian baru. Akibat minim keahlian, petani yang kehilangan lahan ini mencari nafkah di sektor informal lain, seperti menjadi pedagang kaki lima ataupun pekerja bangunan.
”Petani yang usianya 40 tahun ke atas itu jarang ada yang dipekerjakan di hotel ataupun rumah makan. Beberapa hotel ada yang mempekerjakan penduduk desa sebagai petugas keamanan, tetapi yang usianya masih di bawah 40 tahun,” ujar Sarbini.
Ketimpangan
Ketua Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Krisdyatmiko mengatakan, tingginya ketimpangan ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain disebabkan oleh penguasaan sumber daya ekonomi oleh pemodal besar dari luar DIY.
Hal itu antara lain terlihat dari tumbuhnya banyak hotel yang dimiliki oleh orang-orang dari luar DIY.
”Fasilitas-fasilitas untuk pariwisata di DIY, misalnya hotel, kan rata-rata dikuasai oleh orang luar Yogyakarta. Mereka inilah yang menikmati uang yang masuk ke Yogyakarta,” kata Krisdyatmiko.
Dengan kondisi itu, Krisdyatmiko menilai, pertumbuhan ekonomi di DIY cenderung meminggirkan masyarakat asli provinsi itu. Apalagi, warga DIY yang dulu banyak mencari nafkah dengan bertani kini telah menjual lahannya kepada pihak lain. Para pemilik lahan pertanian itu kemudian beralih menjadi pekerja sektor informal karena tingkat pendidikan mereka membuat mereka sulit masuk ke sektor formal.
Pertumbuhan ekonomi di DIY cenderung meminggirkan masyarakat asli provinsi itu.
Krisdyatmiko mencontohkan, banyak pemilik lahan pertanian di Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, yang beralih menjadi pekerja informal setelah lahan mereka terjual. Mereka antara lain menjadi petugas keamanan, tukang parkir, dan buruh bangunan.
”Mereka tidak mampu mengelola uang hasil penjualan tanah mereka sehingga akhirnya masuk sektor informal,” tutur Krisdyatmiko yang pernah melakukan penelitian mengenai alih fungsi lahan pertanian di Desa Sariharjo untuk disertasinya.
Di sisi lain, Krisdyatmiko menambahkan, para petani di Desa Sariharjo juga tidak bisa mendapat penghasilan yang memadai karena lahan mereka kian sempit. Dia mencontohkan, petani dengan lahan seluas 1.000 meter persegi di desa itu hanya bisa mendapat penghasilan bersih sekitar Rp 800.000 dalam sekali panen. ”Padahal, musim tanam untuk padi, kan, tiga sampai empat bulan,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan juga sudah berupaya menjaga dan mempertahankan keberadaan lahan pertanian dengan menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) di Kabupaten Sleman seluas 12.200 hektar. Luas LP2B ini telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten Sleman tahun 2011-2031.