Terdakwa Korupsi KTP Elektronik Divonis 7 dan 5 Tahun Penjara
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, yang menjadi terdakwa perkara korupsi pengadaan KTP elektronik divonis dakwaan kedua oleh majelis hakim yang diketuai John Halasan Butar Butar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (20/7). Irman dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara, sementara Sugiharto dijatuhi lima tahun penjara.
Keduanya juga dikenai denda dan pidana tambahan berupa dana pengganti. Irman dikenai denda Rp 500 juta subsider enam bulan, ditambah membayar uang pengganti 500.000 dollar AS yang sudah dikembalikan 300.000 dollar AS dan Rp 50 juta. Sementara Sugiharto dikenai denda Rp 400 juta subsider enam bulan dan dana pengganti 50.000 dollar AS yang sudah dikembalikan 30.000 dollar AS bersama satu mobil Honda Jazz seharga Rp 150 juta.
Dalam menguraikan pertimbangannya, John menyampaikan, majelis hakim menimbang dakwaan yang paling tepat adalah dakwaan kedua, yakni Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Sesuai pasal itu, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau sarana yang ada padanya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dapat dipidana maksimal seumur hidup dan denda maksimal Rp 1 miliar.
John menyampaikan unsur untuk menguntungkan orang dan korporasi, sesuai Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, memperkaya diri sendiri untuk memperoleh hadiah dan fasilitas. Dengan terpenuhinya salah satu unsur itu, hakim akan menimbang apakah Irman dan Sugiharto terlibat dalam korupsi pengadaan KTP-el.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim pun menilai korupsi pengadaan KTP-el menguntungkan sejumlah pihak, perusahaan, termasuk Irman dan Sugiharto. Disebutkan sejumlah dana mengalir ke sejumlah anggota DPR, di antaranya Miryam S Haryani sebesar 1,2 juta dollar AS dan Markus Nari sebesar 400.000 dollar AS.
Selain itu, Irman dan Sugiharto juga mendistribusikan sejumlah dana pengadaan KTP-el itu kepada Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini sebesar 500.000 dollar AS, auditor Badan Pemeriksa Keuangan Ulung sebesar Rp 80 juta, dan staf Dirjen Keuangan Asniwati sebesar Rp 60 juta.
Akibat pemberian uang kepada Ulung selaku auditor BPK, anggaran pengadaan KTP-el pun memperoleh predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Tindakan Irman dan Sugiharto juga telah menguntungkan sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Konsorsium Percetakan Negara RI sebagai konsorsium pemenang pengadaan KTP-el. Untuk itu, PNRI memperoleh keuntungan Rp 107 miliar, PT Sandipala Artha Putra Rp 145 miliar, Lan Industry Rp 3 miliar, Sucofindo Rp 8 miliar, dan PT Quadra Solution Rp 79 miliar. Keuntungan juga diperoleh PT Mega Lestari Unggul selaku holding company PT Sandipala Artha Putra sebesar Rp 10 miliar yang digunakan untuk membayar utang.
Sementara dari fakta penganggaran, Irman turut menerima aliran dana sebesar 500.000 dollar AS. Sugiharto juga memperoleh 50.000 dollar AS dan sebagian uang itu digunakan untuk membeli mobil Honda Jazz seharga Rp 150 juta. “Majelis hakim berpendapat para terdakwa memperoleh keuntungan,” kata John.
Menanggapi keputusan majelis hakim, Irman dan Sugiharto menyampaikan pikir-pikir. Demikian pula jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Irene Puteri, menyatakan pikir-pikir.