Mengejar Wajib Pajak, Menangkap Sang Pegawai
Menteri Keuangan Frans Seda yang mewakili pemerintah mengatakan bahwa pajak langsung penerimaannya harus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan rakyat, rasa keadilan, dan kebutuhan pengeluaran negara. Semua penduduk, baik warga negara maupun bukan, harus dikenai wajib pajak.
Melihat jumlah penduduk, jumlah usaha, dan pendapatan nasional, jumlah wajib pajak diperkirakan meliputi satu sampai empat juta orang. Akan tetapi, jumlah wajib pajak yang ada sekarang hanya 125.000 orang.
Berita tentang minimnya jumlah wajib pajak di Tanah Air tersebut dimuat harian Kompas yang terbit tanggal 21 Juli 1967, atau tepat 50 tahun lalu.
Dalam kurun waktu setengah abad itu, berbagai upaya dilakukan pemerintah Indonesia untuk menambah jumlah wajib pajak atau WP. Penambahan jumlah WP digenjot dengan harapan penerimaan negara dari berbagai jenis pajak pun meningkat seiring dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan.
Peraturan tentang perpajakan pun berkali-kali direvisi, reformasi pajak dilakukan, juga survei atau sensus khusus pajak digelar. Berkali-kali pula pegawai pajak mengadakan seminar, diskusi, ataupun sosialisasi tentang pentingnya menjadi WP dan membayar kewajiban demi kelangsungan pembangunan.
Bahkan, pemerintah sampai memberikan kelonggaran bagi WP dengan membebaskannya dari membayar denda atau bunga karena keterlambatan membayar pajak. Terakhir, sejak 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017, pemerintah meluncurkan program pengampunan pajak atau amnesti pajak.
Lewat berbagai upaya tersebut, nominal jumlah penerimaan pajak memang meningkat. Jumlah WP yang terdaftar pun bertambah. Namun, kalau kita bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, pertambahan jumlah WP tidaklah signifikan.
Kompas yang terbit pada 4 April 2017 mencatat, dari sekitar 60 juta warga negara Indonesia dengan pendapatan layak kena pajak, baru 36 juta yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dari jumlah ini pun, yang melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) hanya 9 juta WP.
Kalau kita pukul rata, selama kurun waktu 50 tahun terakhir, pertambahan jumlah WP per tahun hanya 717.500. Perhitungannya, tahun 1967 jumlah WP 125.000 dan pada 2017 tercatat 36 juta. Jumlah pertambahan itu, 717.500 WP, sangat sedikit dibandingkan dengan pertambahan penduduk yang setiap tahun berkisar 2 juta-3 juta jiwa.
”Rasio jumlah WP dan jumlah penduduk Indonesia baru mencapai 1,41 persen. Angka ini sangat rendah apabila dibandingkan dengan Filipina 13,5 persen, apalagi Swedia 55,3 persen (Kompas, 2 Maret 1991).
Di samping itu, meskipun memiliki NPWP, belum tentu semua WP sudah membayar pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Diperkirakan tidak sedikit WP yang sudah memiliki NPWP, tetapi belum menyadari atau memang sengaja tidak membayar pajak.
Untuk WP semacam itu pun, seakan pegawai pajak ”tidak berdaya”. Dalam obrolan sehari-hari, jamak terdengar nada bangga sebagian WP yang berhasil tidak membayar pajak. Mereka bukannya malu karena tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak.
Alasan yang kerap terdengar, WP enggan membayar pajak karena tak merasakan langsung imbal balik dari uang pajak yang dia keluarkan. Misalnya, trotoar yang aman bagi pejalan kaki, moda transportasi yang nyaman, atau kebersihan lingkungan yang terjaga.
Belum lagi soal kongkalikong antara pegawai pajak dan WP yang membuat uang pajak tidak masuk ke kas negara, tetapi ke kantong pribadi sang pegawai pajak. Kondisi ini masih ditambah dengan adanya pegawai pajak yang tertangkap dan dibui karena berperilaku koruptif.
Sekadar contoh, Kompas edisi 10 Mei 2013 memberitakan dua pegawai bagian pemeriksa dan penyidik pajak Kantor Pajak Jakarta Timur, Muhammad Dian Irwan Nuqishira dan Eko Darmayanto, tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesaat setelah menerima uang suap 300.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,3 miliar di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Penggunaan uang rakyat untuk hal-hal yang ”tak masuk akal” juga muncul antara lain lewat anggaran baju dinas seorang kepala daerah sebesar Rp 40 juta per tahun dan Rp 78 juta untuk biaya kesehatannya (Kompas, 20 Mei 2001).
Ada lagi cerita tentang 13 anggota DPRD Kabupaten Tangerang yang beribadah umrah dengan dana dari APBD tahun 2000. Setiap anggota DPRD itu mendapat jatah Rp 15 juta, dua anggota DPRD lainnya bahkan mendapat jatah beribadah haji (Kompas, 7 Agustus 2002).
Hal-hal semacam itu membuat sebagian WP enggan membayar pajak. Pikir-pikir, daripada uang pajak yang kita bayarkan ditilap dan digunakan untuk membiayai hidup mewah pegawai pajak atau untuk ”keperluan tak jelas” pejabat, lebih baik uang itu digunakan untuk menolong langsung mereka yang kurang beruntung di sekeliling kita.
Kewajiban
Ada berbagai jenis pajak yang dikenakan pemerintah terhadap rakyat. Pajak-pajak itu sah karena dilandasi undang-undang atau peraturan yang pemberlakuannya sudah disetujui para wakil rakyat yang duduk sebagai anggota DPR.
Suka tidak suka, ikhlas maupun terpaksa, sebagai rakyat, kita harus memenuhi kewajiban sebagai WP. Pemerintah berhak dan memiliki instrumen untuk memaksa WP membayar pajak. Biasanya dimulai dengan imbauan, lalu peringatan berupa surat teguran dan surat paksa, tindakan penyitaan atau pelelangan, sampai hukuman badan pun bisa menimpa WP yang tidak membayar pajak yang menjadi kewajibannya (Kompas, 7 Februari 1991).
Tak main-main, sebanyak 70 WP dengan tunggakan pajak Rp 1,17 triliun pernah terancam dibui, dan 10 orang di antara WP tersebut sudah dicegah bepergian ke luar negeri (Kompas, 11 Maret 2003).
Besarnya pajak berdasarkan pada perhitungan WP sendiri karena Indonesia menganut sistem perpajakan self assessment. Di sini WP memiliki kewenangan untuk menghitung, melaporkan, dan membayar sendiri pajaknya (Kompas, 10 Juni 1977).
Mengapa kita memakai sistem self assessment? Agar WP tak merasa keberatan dengan beban pajak yang dihitungnya sendiri. Sistem ini sekaligus meringankan pekerjaan petugas pajak (Kompas, 2 Maret 1991).
Beberapa jenis pajak yang melingkupi kehidupan kita adalah pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pendapatan atau pajak penghasilan (PPh), pajak kekayaan (PKk), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Ada lagi pajak yang penggunaannya untuk pembangunan provinsi setempat, seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik nama (BBN), serta sumbangan wajib pembangunan, perbaikan, dan prasarana daerah atau SWP3D (Kompas, 18 Februari 1983). Ada lagi pajak pembangunan yang antara lain berupa pajak rumah makan, pajak hotel, pajak rumah sewa atau kontrakan (Kompas, 1 Mei 1993), juga pajak jalan dan parkir (Kompas, 24 Januari 1994).
Kalaupun kita sudah berusaha menjadi WP yang patuh, godaan bagi petugas pajak dan WP terkait uang pajak tetap terbuka. Salah satunya, restitusi atau kelebihan jumlah pajak yang dibayarkan WP. Restitusi pajak bisa menjadi salah satu obyek kongkalikong petugas pajak dan WP. Berlarut-larutnya pengembalian kelebihan pajak menjadikan WP terpaksa bersikap ”pasrah”.
Kompas pada 7 Maret 1984 menulis, Dirjen Pajak Salamun AT menegaskan, kelebihan jumlah pajak yang dibayar WP harus dikembalikan paling lambat satu bulan dari tanggal pelunasan. Jika tidak, WP berhak menuntut pemerintah membayar bunga. Ketentuan itu menjadi salah satu instrumen agar petugas dan WP tak bisa menilap uang negara. Besarnya bunga 2 persen dari jumlah restitusi (Kompas, 29 Agustus 1991).
Selalu minim
Dari arsip harian Kompas, kecilnya jumlah WP sudah berlangsung sejak sekitar 50 tahun lalu. Tahun 1970, pertambahan jumlah WP sebanyak 32.539 sudah disebut sebagai keberhasilan Ditjen Pajak (Kompas, 21 Agustus 1970).
Upaya untuk menambah jumlah WP antara lain dilakukan Ditjen Pajak bekerja sama dengan instansi lain, seperti instansi yang berhak memberi izin usaha. Tetapi, ini pun tak berjalan mulus. Sampai-sampai Komisi APBN DPR mempertanyakan mengapa WP tahun 1978 hanya 40.000? Sementara izin usaha yang dikeluarkan Departemen Perdagangan dan Koperasi tercatat 172.118 (Kompas, 18 Desember 1979).
Kompas 11 Agustus 1983 menulis, WP untuk segala macam pajak di Indonesia sekitar 500.000 dari sekitar 150 juta penduduknya. ”Setiap kali pemerintah membutuhkan kenaikan penerimaan dari pajak, beban tambahan akan dipikul WP yang itu-itu saja.”
Tahun 1984, dengan penduduk 160 juta jiwa, jumlah WP sekitar 600.000 (Kompas, 7 Januari 1984). Pada 1 Agustus 1987, jumlah WP naik menjadi 1.328.389, tetapi angka itu bisa jadi memuat data ganda. Sebab, satu orang bisa dihitung dua kali, yakni sebagai WP penghasilan dan badan yng membayarkan pajak penghasilan karyawannya. Jadi, jumlah WP sesungguhnya sekitar 831.000 saja (Kompas, 16 September 1987).
Tahun 1988, jumlah WP menjadi 3,1 juta (Kompas, 6 Agustus 1988). Tahun 2000, dari 200 juta penduduk, yang memiliki NPWP baru 1,2 juta orang (Kompas, 22 Mei 2000) dan jumlah WP sekitar 2 juta orang pada 2001 (Kompas, 11 Mei 2001). Tahun 2004, jumlah WP pribadi naik menjadi 2,6 juta dan WP badan 1,1 juta (Kompas, 26 Agustus 2005).
Tiga tahun kemudian, jumlah pemegang NPWP meningkat menjadi 6 juta (Kompas, 19 Juni 2008), lalu naik lagi menjadi 10,68 juta WP. Tahun 2009, jumlah WP menjadi 15,91 juta (Kompas, 5 Januari 2010). Sementara Kompas 30 September 2011 mencatat jumlah pemegang NPWP sekitar 12 juta.
Rendahnya jumlah WP bisa terlihat pula di wilayah DKI Jakarta. Dari 10 juta jiwa penduduknya, diperkirakan sekitar 2,5 juta termasuk WP. Namun, WP yang tercatat ternyata hanya 245.815 orang (Kompas, 15 September 2000).
Petugas yang pasif
Untuk menambah jumlah WP, aparat pajak harus mau meninggalkan zona nyamannya. Mereka tak bisa hanya duduk manis di kantor berpendingin ruangan, berharap warga berduyun-duyun datang dan mendaftarkan diri sebagai WP.
Pegawai pajak harus lebih kreatif agar warga mau menjadi WP yang taat pajak. Misalnya, sudahkah aparat pajak mengamati para pedagang kaki lima seperti warung-warung makan, misalnya. Apakah mereka sudah bisa dikategorikan WP? Berapa omzetnya? Meski berdagang di pinggir jalan, warteg yang laris dan beroperasi nyaris 24 jam, misalnya, sangat mungkin bisa dimasukkan sebagai WP.
Jika mau sedikit berpeluh, aparat pajak juga bisa mengamati omzet pedagang yang memenuhi kios-kios di pasar tradisional. Kemungkinan adanya WP di antara para pedagang eceran di pasar tradisional tak kalah besarnya dibandingkan dengan para pedagang eceran di mal-mal.
Begitu pasifnya sebagian pegawai pajak, sampai muncul istilah ”berburu di kebun binatang” untuk menggambarkan apa yang mereka kerjakan selama ini. ”Dengan jumlah WP yang begitu sedikit, jangan diharapkan penerimaan akan bisa meningkat sesuai dengan tuntutan pembangunan,” demikian ditulis Kompas pada 11 Agustus 1983.
Bekerja sama dengan aparat kelurahan atau kecamatan setempat, misalnya, petugas pajak bisa memantau kemungkinan masuknya WP baru dari pemilik tempat indekos, rumah sewa, atau kontrakan yang umumnya berlokasi di sekitar kampus atau perkantoran.
Sebagian masyarakat pun merasa ada sebagain WP yang membayar pajak tidak sebesar seperti seharusnya. Transparansi dalam hal ini menjadi sesuatu yang penting agar rakyat tak curiga kepada aparat pajak. Transparansi juga sebaiknya dilakukan pemerintah dalam menggunakan dana penerimaan pajak (Kompas, 8 Januari 1992).
Bahkan, Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Amiruddin Saud menyatakan, ribuan importir individu yang mengimpor barang konsumsi belum membayar pajak karena tak memiliki angka pengenal impor (API), tak terdaftar di Departemen Perdagangan, dan tak punya NPWP (Kompas, 13 Maret 1996).
Memberi tanda
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menambah WP ataupun pendapatan pajak, salah satunya dengan menempelkan NPWP dalam pelat yang ditempelkan di depan rumah, tempat usaha, ataupun yayasan. Ini akan memudahkan petugas pajak mengetahui siapa warga yang belum menjadi WP. Masyarakat setempat juga bisa saling mengingatkan tetangganya untuk menjadi WP (Kompas, 11 Agustus 1983).
Sementara amnesti pajak sesungguhnya pernah dilakukan pemerintah tahun 1984 (Kompas, 27 Desember 1984). Hasilnya, jumlah WP yang sebelumnya tak mampu beranjak dari 600.000 bertambah menjadi lebih dari 820.000 pemegang NPWP (Kompas, 20 April 1985).
”Dengan pengampunan pajak ini, berarti WP akan memulai melaksanakan UU Perpajakan yang baru dengan lembaran yang bersih,” kata Dirjen Pajak Salamun AT (Kompas, 1 Juli 1985).
Demi menjaring WP baru, tahun 2001 Ditjen Pajak berencana menyisir rumah-rumah di kawasan elite Jakarta, seperti Pondok Indah, Kemang, Menteng, dan Kelapa Gading. Namun, penyisiran itu batal dilaksanakan karena antusiasme penduduk di kawasan tersebut untuk mendapatkan NPWP. Jumlah WP di kawasan tersebut meningkat drastis hingga 93 persen (Kompas, 11 Mei 2001).
Selain itu, pemerintah juga memberikan penghargaan kepada WP yang patuh pajak dan menjadi pembayar pajak terbesar. Penghargaan ini diberikan kepada individu ataupun badan/perusahaan. Tahun 1988, misalnya, pemerintah memberikan piagam penghargaan kepada 75 badan dan 75 pribadi pembayar pajak terbesar (Kompas, 6 Agustus 1988).
Tahun 1991, penghargaan serupa diberikan untuk 200 perusahaan pembayar pajak penghasilan (PPh) badan dan 200 WP perorangan terbesar (Kompas, 21 Januari 1991).
Teladan
Selain menjadikan pembayar pajak terbesar sebagai teladan WP yang patuh, figur publik pun diharapkan mampu menjadi teladan yang memang pantas diidolakan rakyat. Sayangnya, hal ini tak mudah ditemukan. Kompas pada 25 Maret 2000 mencatat, dari 500 anggota DPR hanya sekitar 200 orang yang sudah tercatat sebagai WP untuk PPh.
Kalau wakil rakyat yang terhormat saja tidak patuh pajak, bagaimana rakyat diharapkan mau menjadi WP yang baik? Rendahnya kesadaran pajak anggota DPR itu merupakan suatu ironi. Untuk itu, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo dan Dirjen Pajak Machfud Sidik sampai berencana mengadakan penyuluhan pajak untuk anggota DPR.
Tak hanya di lembaga legislatif, sebanyak 925 pejabat pemerintah pun belum tercatat sebagai WP untuk PPh. Mereka terdiri dari pejabat eselon I dan eselon II. Sementara mantan pejabat periode 1995-1999 yang belum menjadi WP tercatat 1.369 orang dan 2.786 sudah memiliki NPWP.
”Di antara yang belum memiliki NPWP itu, ada yang mantan menteri,” kata Machfud Sidik, seperti dikutip Kompas, 15 September 2000. Dari kalangan BUMN/BUMD, sebanyak 481 pejabat dan mantan pejabat periode 1995-1999 belum menjadi WP dan 712 orang yang menjadi WP.
Bahkan, perilaku pemeriksa pajak sendiri menjadi sorotan KPK. Sebab, dari 1.918 pemeriksa, baru 539 orang yang menyampaikan laporan harta dan kekayaannya (Kompas, 22 Agustus 2008).
Meski ke dalam, Ditjen Pajak pun berbenah diri dengan memberikan sanksi bagi petugas pajak yang melakukan pelanggaran. Tahun 2000, misalnya, 328 pegawai pajak terkena sanksi. Sebelumnya, 72 pegawai dipecat, 56 di antaranya dengan tidak hormat (Kompas, 11 Mei 2001).
Terhadap sinyalemen adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di dalam tubuh Ditjen Pajak, Ketua Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Sudirman Said berpendapat, sebaiknya dilakukan pembuktian terbalik. Artinya, aparat pajak yang memiliki kekayaan mencurigakan atau bergaya hidup mewah harus bisa membuktikan atau ditelusuri sumber pendapatannya (Kompas, 8 April 2005).
Kompas pada 15 Maret 2011 mencatat, pembuktian terbalik dilakukan pada persidangan mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bahasyim Assifie. Hakim yakin kekayaan Bahasyim dari korupsi karena terdakwa tidak bisa membuktikan asal kekayaannya sebesar Rp 61 miliar.
Kalau begitu kondisinya, bagaimana rakyat mau berduyun-duyun menjadi WP dan menghitung sendiri pajak yang harus diserahkannya demi kelangsungan pembangunan dan hidup bernegara? Ternyata untuk menemukan tokoh publik sebagai WP yang patuh itu tidak mudah.