Di tengah suara desing peluru dan dentuman bom, menikmati sepotong ikan goreng dengan sebungkus nasi adalah sebuah kemewahan. Apalagi jika melihat ke sekeliling, tak ada satu pun kios atau toko yang buka. Kemurahan hati keluarga Abdulhamid, seorang pengungsi asal Marawi yang siang itu menerima kami di sebuah ruang di kompleks Kantor Provinsi Lanao del Sur, di pinggiran Marawi, adalah oase.
Berulang kali, sejak bertemu dan mengetahui bahwa kami berasal dari Indonesia, Abdulhamid selalu mengulang kalimatnya: ”Kita adalah saudara”. Ia semakin senang ketika rekannya, Alikman, yang mempertemukan kami dengan Abdulhamid, mengatakan, ada banyak kata atau sebutan dalam bahasa Maranao—salah satu bahasa lokal di Mindanao—sama dengan bahasa Indonesia, salah satunya kata cantik.
”Dalam bahasa Maranao, cantik kerap digunakan untuk menyebut cara duduk yang elegan, rapi, dan anggun, terutama untuk perempuan,” kata Alikman, disambut anggukan Abdulhamid.
Bagi Abdulhamid dan Alikman yang asli Mindanao, Indonesia sama sekali bukan sesuatu yang asing. Selain memiliki latar
belakang sama, yaitu komunitas berpenduduk mayoritas Muslim,
Indonesia juga banyak terlibat proses perdamaian di Mindanao.
Dalam sejumlah catatan, salah satunya bersumber dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, bersama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia dipercaya memfasilitasi penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), 20 April 2010, di Tripoli, Libya.
Nota kesepahaman itu, sebagaimana dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri, pada intinya memuat tiga hal, yaitu pertama, mandat menyusun usulan bersama untuk menjadi RUU Amandemen Daerah Otonomi Muslim Mindanao; kedua, mekanisme bantuan pendanaan bagi pembangunan Bangsamoro; serta ketiga, implementasi dan pengawasan. Kesepahaman itu merupakan kemajuan dalam upaya mendorong lebih lanjut implementasi penuh Perjanjian Damai Filipina Selatan Tahun 1996 yang juga difasilitasi Pemerintah Indonesia.
Relasi militer
Jauh sebelum itu, hubungan persaudaraan bangsa serumpun antara Indonesia dan Filipina juga terjalin dalam relasi militer dua negara. Semasa Perang Kemerdekaan RI 1945-1949, warga Filipina tergabung dalam Pasukan International Volunteer Brigade (IVB), seperti tercatat dalam buku 45 Tahun Indonesia Merdeka terbitan 1990. Sejarawan Hendri F Isnaeni dalam buku Bobby Earl Freeberg & RI 002 mencatat, Pemerintah Filipina menempatkan Kapten Ignacio ”Igning” Espina dari Angkatan Darat Filipina sebagai penghubung dengan Pemerintah Republik Indonesia di Yogjakarta sejak September 1947.
Di era modern, hubungan TNI dan Angkatan Bersenjata Filipina terus berjalan baik. Pada 1973 disepakati membuka Pos Angkatan Laut bagi TNI di Bongau, Tawi-Tawi, dan Pos di Tarakan bagi AL Filipina. Indonesia semasa pemerintahan Soeharto juga mengirimkan misi khusus TNI untuk membantu pengamanan KTT ASEAN di Manila, Desember 1987. Ketika itu, pemerintahan Corazon Aquino baru saja diguncang kudeta.
Pada tahun sama, Indonesia juga mengirimkan misi militer memantau proses perdamaian Manila-MILF di Cotabato. Misi yang disebut International Monitoring Team (IMT) itu berlanjut hingga kini. Sekarang, misi IMT dipimpin Kolonel Deni Ramdani yang berkedudukan di kota General Santos. Ia membawahkan beberapa perwira TNI di sejumlah kota di Mindanao, termasuk Ilagan City.
Komandan Naval Forces Eastern Mindanao (NFEM) Angkatan Laut Filipina Kolonel Ramil Roberto Enriquez mengatakan, kerja sama antara Indonesia dan Filipina semakin terasa lebih tepat waktu. Patroli gabungan di perbatasan laut, terutama Laut Sulu dan Tawi-Tawi, menjadi sarana mengamankan perbatasan.
Penjagaan di kawasan perbatasan berhasil mempersempit ruang gerak teroris. ”Biasanya mereka melewati Laut Sulu atau Basilan. Kami juga tetap mengadakan patroli di wilayah-wilayah lain,” kata Ramil.
Dari banyak catatan kerja sama itu, upaya damai dan pendekatan kultural serta operasi kemanusiaan merupakan salah satu pendekatan terbaik yang diberikan Indonesia dalam membantu Filipina. Tak tertutup kemungkinan, Indonesia kembali terlibat misi kemanusiaan di Mindanao, khususnya Marawi.
Jerson Liardo, rohaniwan asal Cotabato, mengatakan, oleh warga Filipina—baik Muslim maupun Kristiani—Indonesia dianggap sebagai kakak.
(IWAN SANTOSA)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.